Pengungsi domestik atau yang juga disebut Internally displaced person disingkat IDPs sudah ada sejak lama terutama sejak berakhirnya era perang dingan. Pada dekade tahun 1980an-1990an jumlah pengungsi internal terus meningkat di berbagai negara secara dramatis. Banyak sekali alasan-alasan yang menyebabkan mereka harus mengungsi dari tanah kelahiran mereka seperti perang saudara dan konflik-konflik sosial lainnya. Belum diketahui percis berapa jumlah pasti mereka, tetapi bisa menyentuh angka 20-25 juta pengungsi yang tersebar di berbagai negara-negara di dunia terutama wilayah afrika.
Dalam konteks permasalahan pengungsi internal yang perlu diperhatikan ialah sebab peristiwa yang mereka anggap membahayakan serta menimbulkan rasa cemas sehingga keamanan dan keselamatan mereka terancam sehingga mereka memilih untuk meninggalkan tanah tempat tinggalnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dibedakan menjadi dua, yakni peristiwa alami seperti bencana gempa, banjir, kekeringan dan juga peristiwa yang dilakukan oleh manusia (human made disaster) seperti konflik bersenjata baik nasional atau internasional, penindasan penguasa negara terhadap kelompok tertentu atau sekolompok orang terhadap suatu golongan karena perbedaan ras, suku, warna kulit atau kepercayaan.
Pengertian pengungsi yang terdapat dalam konvensi mengenai Status Pengungsi Tahun 1951, Protokol Mengenai Status Pengungsi Tahun 1967 serta Deklarasi Cartagena 1984 yang semuanya mengartikan bahwa pengungsi ialah kegiatan yang melintasi internasional atau negara. Artinya apabila ada pengungsi yang tidak melintasi batas negara tentu perlindungan internasional masih kurang melindungi dala hal ini. Istilah pengungsi internal belum terlalu dikenal di Indonesia. Masyarakat masih rancau mengartikan mereka bahkan menyamakan mereka dengan pencari suaka atau migrant/migrasi.
Di seluruh wilayah Indonesia terhitung sejak bulan Mei 2001 ada sekitar 1.305.690 (satu juta tiga ratus lima ribu enam ratus sembilan puluh) pengungsi internal yang tersebar mulai dari wilayah Aceh hingga Papua. Hal ini mengartikan bahwa begitu banyak pengungsi internal di berbagai daerah dan hampir seluruh provinsi di Indonesia tidak ada yang steril dari permasalahan ini. Lebih memprihatinkan lagi pengungsi yang ada akibat dari konflik sosial yang terjadi dilingkungan mereka. hal ini membuat Indonesia berada dalam urutak ke-6 dari 40 negara yang memiliki pengungsi internal akibat konflik. Tentu hal ini sangat memprihatinkan terjadi di sebuah negara yang telah berkomitmen untuk melindungi warga negaranya dan memberikan kebebasan dalam konstitusinya.
Sampai hari ini belum ada konvensi khusus yang mengatur perlindungan pengungsi domestik atau internal. Oleh karenanya, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan prinsip-prinsip panduan atau yang disebut sebagai Guilding principles on internal Displacement yang disampaikan oleh Francis M. Deng Perwakilan PBB dalam urusan pengungsi domestik pada konferensi PBB mengenai Hak Asasi Manusia 1998. Prinsip yang terdapat di dalamnya dibuat berdasarkan instrumen hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia yang dapat digunakan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga internasional yang bergerak dibidang bantuan kemanusiaan dan perlindungan serta pelayanan bagi mereka pengungsi domestik.
Prinsip-Prinsip Panduan Pengungsian Internal (The Guiding Principles on Internal Displacement) bukan merupakan dokumen yang sifatnya memaksa (legally binding), namun prinsip-prinsip ini telah merefleksikan dan konsisten dengan hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter. Prinsip-prinsip ini terdiri atas 5 bagian dan 30 prinsip. Bagian bagian tersebut adalah :
- Prinsip-prinsip umum
- Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan bantuan kemanusiaan
- Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemulangan
- Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan bantuan kemanusiaan umum
- Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemulangan, pemukiman kembali dan reintegrasi.
Berdasarkan pada prinsip diatas, tentunya telah jelas bahwa mereka tetap wajib memperoleh hak-kak mereka sebagai manusia. Prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh PBB menjamin mereka tetap memiliki hak untuk kembali ketanah kelahirannya dan juga dapat mengakses layanan kesehatan serta hidup layak dimana mereka ditempatkan.
Pendidikan juga termasukan dalam Prinsip-prinsip yang dibuat oleh PBB untuk tetap menjamin pemenuhan hak pendidikan anak di pengungsian. Sebagaimana telah menjadi sebuah hak bagi seluruh anak di penjuru dunia, bahwa apapun yang terjadi termasuk konflik sekalipun, hak anak untuk mendapatkan pendidikan tetap wajib dijaga dan diberikan. Dalam kenyataannya pengungsi domestik, terutama pengungsi anak-anak banyak yang tidak mendapatkan hak atas pendidikan. Hal ini dapat disebabakan karena kurang adanya fasilitas pendidikan di tempat penampungan atau bahkan oang tua mereka tidak sanggup untuk membiayai sekolah dan perlengkapan penunjang untuk bersekolah. Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter mengakui anak-anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan dasar walaupun dalam kondisi ketegangan dan kerusuhan internal ataupun kondisi sengketa bersenjata internal. Hak untuk mendapat pendidikn dijamin dalam Pasal 13 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR yang telah diratifikasi menjadi UU No. 11 Tahun 2005 dan Pasal 28-29 Konvensi Hak Anak. Pada dasarnya hak untuk mendapatkan pendidikan dapat diterima oleh pengungsi domestik dalam kondisi apapun, seperti tercantum dalam Pasal 23 The Guiding Principles on Internal Displacement atau Prinsip-prinsip panduan bagi pengungsi internal.
Jika dikaji lebih mendalam terkait perlindungan hak pendidikan bagi anak-anak pengungsi internal. Maka, pasal 23 ayat 1-4 menyebutkan secara jelas bahwa hak mereka seyogyanya telah diatur dalam Guiding Principle yang menyebutkan :
- Setiap manusia memiliki hak atas pendidikan.
- Untuk mewujudkan hak ini bagi para pengungsi internal, pihak-pihak berwenang yang terkait harus memastikan bahwa pengungsi-pengungsi internal tersebut, khususnya pengungsi anak-anak, menerima pendidikan, yang pada tingkat dasar harus gratis dan diwajibkan. Pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung identitas budaya, bahasa, dan agama.
- Harus dilakukan upaya-upaya khusus untuk memastikan peran serta penuh dan setara dari kaum perempuan dan anak-anak perempuan dalam program-program pendidikan.
- Prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan harus disediakan bagi para pengungsi internal, khususnya kaum remaja dan perempuan, yang tinggal di dalam kamp atau pun tidak, sesegera mungkin begitu keadaan mengizinkan.
Maka dari paparan ketentuan diatas, maka walaupun anak-anak berada di pengungsian hak mereka untuk mendapatkan pendidikan haruslah tetap dilaksanakan. Dan pemerintah berkewajiban untuk memastikan hal tersebut terpenuhi mulai dari ruangan, tenaga pendidik serta fasilitas lain yang mendukung berjalannya pendidikan tersebut dengan sebagaimana mestinya. Seperti apapun keadaannya hak-hak anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan sebagaimana yang telah diamanahkan oleh konstitusi harus tetap diberikan. Karena itu merupakan kewajiban pemerintah sebagai pelaksana dari Undang-Undang dan berbagai konvensi internasional yang telah disepakati oleh negara-negara dunia dimana Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan di dalamnya.
Abdul Rozak
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Bakti Nusa 9 Surabaya