Kemarin, 1 Juni yang di tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila, falfasah negara. Pancasila terdiri dari 5 Sila yang hampir seluruh masyarakat pasti tahu dan hafal. Bagaimana tidak? Setiap senin dalam upacara pasti ada sesi untuk membacakannya. Pancasila merupakan dasar, acuan, dan tuntunan untuk bernegara. Seluruh produk hukum yang berlaku di Indonesia bersumber pada nilai-nilai Pancasila, sehingga tidak mungkin bertentangan dengannya.
Pada perumusannya dahulu kala, sejarah mengatakan bahwa falsafah dasar negara ini dirumuskan dengan tidak mudah dan lancar-lancar saja. Terdapat gejolak yang berpusat pada Sila ke-1 mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, sejarah mencatat bahwa Sila pertama berdasarkan Piagam Jakarta berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“, Sila tersebut memunculkan kegaduhan antar beberapa golongan. Namun, dengan bijak akhirnya golongan Islam yang kala itu ngotot mempertahankannya. Golongan Islam kala itu diwakili oleh Ki Bagus HadiKusumo dan K.H. A. Wahid Hasyim. Ki Bagus Hadikusumo kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, organisasi besar yang memiliki masa besar pula, sedangkan K.H. A. Wahid Hasyim merupakan anak dari Hadratussyaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun dengan kerendahan hati beliau akhirnya 7 (tujuh) kata tersebut dihapus.
Tapi tulisan ini tidak akan mengulas mengenai sejarah perumusan Pancasila, namun lebih berfokus pada Pancasila yang kini hanya berada pada level dihafalkan dan tidak diamalkan. Falsafah Pancasila memang luar biasa bagus, bahkan pada saat penulis berada di bangku kuliah salah satu dosen penulis mengatakan Pancasila merupakan ideologi terbaik di dunia, akan tetapi pada kenyataannya Indonesia masihlah “hanya” seperti ini. Seperti ini yang dimaksud penulis adalah tidak pernah bangkit untuk mencoba berpikir lebih maju mengembangkan segala potensi yang ada. Harusnya dengan memahami dan mengamalkan Pancasila, tidak akan ada korupsi yang terjadi di banyak tempat, tidak akan ada praktik pungli di banyak sektor, tidak akan ada kasus kejahatan yang diabaikan, tidak akan ada perpecahan hanya karena terdapat perbedaan, serta masih banyak lainnya.
Pancasila kini hanya dimaknai sebagai tulisan mengenai falsafah negara yang akhirnya berhenti pada level dihafalkan saja. Tahun lalu, Almarhum Buya Syafii menuliskan kritik tajam mengenai Lumpuhnya Pancasila. Beliau menyatakan bahwa Pancasila hanya digunakan sebagai etalase politik bagi mereka yang memiliki kepentingan. Kenyataannya memang seperti itu, bahkan dibeberapa kondisi Pancasila digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan yang lain dengan embel-embel “tidak pancasila”. Lantas sampai kapan Indonesia akan seperti ini terus? Padahal para founding father negara ini begitu hebat dan serius dalam merumuskan falsafah negara ini.
Penerapan Pancasila harusnya mampu mengatasi adanya perpecahan antar golongan karena pada hakikatnya Pancasila mengajarkan nilai persatuan, tidak akan ada yang berteriak mengolok satu sama lain. Pancasila juga mengajarkan bahwa keadilan sosial merupakan hal yang harusnya diterima oleh seluruh masyarakat, bukan untuk beberapa golongan saja atau dengan syarat khusus. Pada Pancasila pula kita mengerti bahwa harus ada kebijaksanaan dalam memimpin atau mewakili raykat. Memang pada beberapa sektor nilai-nilai Pancasila sudah diamalkan. Namun, menurut hemat penulis mayoritas nilai Pancasila hanya sebagai pajangan yang pada kenyataannya sangat kontras dengan teori.
Maka, pada peringatan yang ke sekian ini marilah untuk merefleksikan kembali mengenai falsafah ini. Sebagai warga negara yang baik tentu mengamalkan Pancasila akan mampu menolong untuk meminimalisir adanya ketimpangan, kejahatan, serta hal negatif lainnya. Karena jika Pancasila hanya dihafalkan dan dipajang saja, jangan harap muncul keadilan, jangan harap muncul persamaan, jangan harap muncul kebijaksanaan, dan Indonesia hanya akan menjadi “seperti ini” terus tanpa ada perkembangan.
Saya Indonesia, Saya berani mengamalkan Pancasila.