Tren Pelihara Monyet: Bentuk Cinta atau Nestapa Baru?

Tren Pelihara Monyet: Bentuk Cinta atau Nestapa?

Framing memelihara satwa liar sebagai upaya menjaga kelestarian kini tengah menjadi ironi. Bagaimana tidak, domestifikasi satwa liar hingga tragedi bleaching monyet kini cukup lazim dilakukan. Padahal, perdagangan bebas satwa liar ini melanggar prinsip kesejahteraan satwa dan kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimulai dari pembantaian induk macaca untuk mendapatkan monpai (monyet pantai) hingga resiko munculnya terkena penyakit zoonosis.

Uniknya, tren yang diinisiasi beberapa influencer tersebut diikuti dengan penyerahan satwa liar pasca “pelihara sendiri” kepada pusat konservasi atau pusat rehabilitasi satwa oleh masyarakat. Lantas, bijakkah jika tren ini disebut-sebut sebagai upaya konservasi dan bentuk kepedulian? Atau hanya sebagai simbol status sosial penghobi dan nestapa baru bagi para satwa?

Melihat persoalan yang ada, tingginya penangkapan satwa dilindungi disebabkan karena masih maraknya pemeliharaan satwa ilegal. Padahal, dalam UU RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, apalagi “membuka lapak” dagangannya secara online. Dilansir dari hukumonline.com, penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan konservasi diduga belum memberikan efek jera mengingat hingga kini kualitas dan kuantitas kejahatan tersebut masih terus berlangsung.

Fenomena ini diperparah dengan normalisasi glorifikasi pemeliharaan satwa liar sebagai “upaya konservasi” oleh masyarakat dikarenakan framing memelihara satwa liar sebagai upaya konservasi. Padahal “seleb pecinta satwa” ini seharusnya sadar bahwa mereka memicu meningkatnya perdagangan satwa liar elegal. Langkah insensitif yang mereka lakukan akan berdampak pada eksploirasi satwa liar besar-besaran, baik diperjualbelikan maupun dipelihara semena-mena. Salah satu satwa liar yang menjadi korban framing ini adalah monyet ekor panjang.

Data dari IAR Indonesia menunjukkan bahwa hingga akhir 2020, tidak kurang dari 334 video monyet ekor panjang telah diunggah oleh 204 saluran di Youtube. Pada laporan tersebut, konten bayi monyet sebagai peliharaan oleh beberapa influencer jauh mendominasi daripada konten edukatif berbasis konservasi, bahkan 93% dari konten monyet peliharaan adalah bayi tanpa induk (Gambar 1). Hal ini tentunya akan memengaruhi persepsi publik yang akan menganggap monyet sebagai objek peliharaan yang lucu dan menggemaskan. Dengan banyaknya jumlah bayi monyet yang dijadikan sebagai konten, bukankah patut dipertanyakan darimana bayi-bayi monyet tersebut berasal?

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk agresif dan protektif dalam menjaga kedekatan dengan bayi monpai. Biasanya, induk betina lebih bertanggungjawab dalam menjaga jarak dekat dengan bayi, namun ketika bayi mulai mencari makanan sendiri, induk mulai mengurangi aktivitas menyusui dan menggendong, sehingga bayilah yang harus menjaga kedekatan dengan induk. Sajuthi (1984) menyebutkan bahwa monpai baru disapih oleh induk setelah berumur enam bulan, sehingga pada usia satu hingga enam bulan, induk monpai tidak akan meninggalkan bayinya dalam keadaan apa pun.

Dilansir dari IDN Times, satu-satunya cara untuk memisahkan bayi monpai adalah dengan membunuh indukannya. Apabila bayi monpai ini sedang bersama induk betina dan jantan, monpai jantan dewasa yang akan melindungi betina dan bayinya terlebih dahulu. Setelah monpai jantan dibunuh, induk betina akan menyerang balik dan disaat inilah “pembantaian terjadi.” Jika perburuan dilakukan tanpa pembunuhan, pengambilan bayi monpai dari induknya juga akan menimbulkan traumatis bagi monpai.

Pada kasus lainnya, kondisi monpai yang dipelihara manusia juga sangat memprihatinkan, dimulai dari fenomena bleaching (semacam semir agar terlihat seperti monpai albino), infeksi karena gigi taringnya dicabut agar tidak melukai manusia, hingga dijadikan sebagai objek seksual. Sungguh biadab! Padahal, sudah jelas bahwa kegiatan tersebut termasuk kerusakan lahir sebagaimana Allah Ta’ala firmankan dalam Q.S. Ar Ruum:41,

 

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Monpai dan satwa liar lainnya termasuk makhluk hidup yang perlu diperhatikan haknya, kebutuhannya, kesejahteraannya dan psikologisnya. Ingat, nyawa satwa bukan mainan yang disia-siakan hanya demi kesenangan semata. Katakan tidak untuk memelihara satwa liar!

Referensi:

1) https://www.mongabay.co.id/2017/08/04/opini-ada-apa-dibalik-meningkatnya-penyerahan-satwa-liar-oleh-masyarakat/ Shaniya Utamidata * di 4 August 2017

2) https://gardaanimalia.com/pelihara-satwa-liar-tidak-satwa-lebih-baik-dihutanaja/

3) https://news.detik.com/berita/d-5916236/isi-brankas-bupati-langkat-usai-kerangkeng-kini-7-hewan-langka

4) https://www.internationalanimalrescue.or.id/konten-pemelihara-monyet-di-youtube-meningkat-selama-pandemi/

5) https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-pelaku-penangkapan-satwa-yang-dilindungi-lt5451c73bd26e5