Tidak Perlu Rumit, Islam adalah Satu Brand yang Komplit

Di zaman modern yang dipenuhi dengan gemuruhnya persaingan di setiap bidang, pembahasan mengenai personal branding begitu ramai digandrungi oleh seluruh orang, terutama oleh anak-anak muda yang masih latah menghadapi kerasnya dunia. Lantas apa benar setiap dari kita butuh untuk membangun “brand” masing-masing sebagai syarat sukses dan bahagia? Apa benar jika seseorang tidak memiliki “brand” unik tentang dirinya akan otomatis gagal dan menjalani hidupnya dengan sia-sia? Tulisan ini tidak ditujukan baik untuk menguatkan urgensi personal branding maupun untuk menafikannya. Akan tetapi, tulisan ini hanya ingin menawarkan sudut pandang baru agar kita bisa memahami perjalanan aktualisasi diri secara lebih mendalam dan penuh makna.

Dalam konteks ini, menarik untuk mengaitkan konsep personal branding dengan identitas utama seorang Muslim. Menjadi Muslim itu sendiri adalah sebuah “brand” utama yang kaya akan beragam karakter positif yang sudah cukup menjadi tanda spesial seorang manusia. Islam mengajarkan nilai-nilai yang dapat menjadi fondasi kuat dalam membentuk kepribadian yang kokoh dan terhormat. Sewajarnya, empat sifat Rasulullah ﷺ yang meliputi kejujuran, amanah, tanggung jawab (menyampaikan kebenaran), dan kecerdasan sudah cukup menjadi prinsip dasar yang dapat mengantarkan setiap Muslim menuju kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.

Sayangnya, keempat sifat luar biasa tersebut telah tergerus keagungannya oleh nilai-nilai lain yang dianggap lebih konkret dalam menentukan kualitas seorang manusia. Orang yang jujur kalah dengan yang cerdik mengelabui peraturan, alibinya adalah “zaman sekarang harus realistis, ga bisa terlalu idealis.” Orang yang amanah kalah dengan yang licik menyuap para pemangku kepentingan, alibinya adalah “gapapa berbuat hal salah dan merugikan, yang penting kan cuma hubungan pertemanan.” Orang yang tanggung jawab dan berani menyuarakan kebenaran kalah dengan yang diam-diam lihai menyembunyikan/mendiamkan praktik dosa, alibinya “itu udah biasa, ngga usah terlalu kaku kali jadi manusia.” Pun demikian adanya orang yang cerdas masih sering kalah dengan orang-orang bodoh tetapi pintar luar biasa dalam membodohi umat manusia, strateginya adalah “kalau orang berilmu ngga mau tunduk kepada kita, maka kita harus buat seluruh orang menjadi bodoh dan enggan mengikuti arahan mereka.”

Miris, memang. Namun sayangnya, itu semua nyata. Bahkan marak terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia yang katanya merupakan salah satu negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Tandanya, masih banyak pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikan di negara kita. Jangan dulu pikirkan Indonesia Emas 2045, bonus demografi dengan banyaknya anak-anak muda, atau bahkan perekonomian yang meroket sekian persen setiap tahunnya. Jangan pula dipusingkan dengan beragam skill ataupun keahlian teknis untuk bersaing di dunia kerja. Sebab itu semua sifatnya hanya pemanis di permukaan sahaja. Begitu banyak orang pintar tetapi ilmunya tidak berguna akibat tersumpal oleh harta. Begitu banyak orang ahli tetapi nuraninya tertutup karena tergiur nafsu untuk berkuasa. Begitu banyak orang berlimpah karya tetapi tujuan kerjanya tidak lebih dari sekadar untuk memuaskan perut semata.

Bukan, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud melarang generasi muslim dalam membangun keterampilan dan memburu berbagai macam atribut untuk dilekatkan kepada dirinya. Akan tetapi, tulisan ini hanya mengajak semua agar bisa kembali mementingkan apa yang harus dijadikan landasan, memerhatikan apa yang tidak boleh dilewatkan, serta memperjuangkan mati-matian apa yang menjadi tonggak kebaikan suatu peradaban. Sebab, segala hal yang kokoh itu tidak pernah dibangun di atas dasar yang rapuh. Bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa bangkit dari keterpurukan apabila manusianya hanya mementingkan “brand” yang tampak dari luar tetapi mengabaikan “komposisi” dalam dirinya yang menentukan pikiran serta tindakan?

Oleh karena itu, dalam menghadapi persaingan dunia modern, alih-alih terjebak dalam upaya membangun personal branding yang mungkin hanya bersifat superfisial, seorang Muslim wajib lebih serius lagi dalam mempraktikkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam yang sudah terbukti sukses menjadi resep kesuksesan. Dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar dari kepribadian dan tindakan sehari-hari, seorang Muslim secara otomatis membentuk sebuah “brand” yang autentik dan penuh makna. Personal branding yang dibangun akhirnya benar-benar tertanam sampai inti, bersifat sejati, bukan sekadar atribut-atribut kosong yang dipaksakan atau diada-adakan.

Ingatlah, pihak pertama dan paling utama yang perlu kamu peroleh kepercayaannya untuk mendapatkan pekerjaan adalah dari Tuhan Semesta Raya. Jika Dia sudah memercayaimu, Dia pasti akan menghendaki kebaikan bagimu dan juga mempekerjakanmu.

إذا أرادَ اللَّهُ بعبدٍ خيرًا استعملَهُ