Dewasa ini, banyak beberapa opini yang mengarah pada peristiwa eksploitasi anak dalam berbagai ranah bidang kehidupan. Beberapa diantaranya yang cukup memekikan telinga yaitu perihal KPAI dengan audisi beasiswa bulu tangkis, influencer yang mengunggah konten untuk “tidak menerima apapun” dari segala upaya tindak bisnis yang berkaitan dengan anaknya, para pengamen anak-anak yang terlihat lusuh dengan pakaian compang-camping agar mendapat belas kasihan, atau anak-anak yang diminta orangtuanya untuk membantu pekerjaan mereka. Dalih apapun itu sudut pandang mengenai eksploitasi anak kian marak dan merebak.
Segala sudut pandang yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebuah hak yang kemungkinan besar semua orang dapat lakukan, termasuk perihal sudut pandang eksploitasi anak. Dan menjadi sebuah hak pula bagi masyarakat untuk menanggapi sudut pandang tersebut, baik dengan tanggapan setuju dan tidak setuju atau dengan tanggapan yang tidak berada diantara kedua hal tersebut.
Tidak ada orangtua manapun yang menginginkan anaknya merasakan traumatik karena pengalaman masa kecilnya yang tidak menyenangkan. Anak adalah harapan dari penerus orangtua tentunya dengan jalan yang lebih baik. Sejauh pengalaman hidup saya, hingga berusia 22 tahun saat ini orangtua selalu mengupayakan yang terbaik untuk keberlangsungan hidup dari segi apapun.
Ada salah satu gaya mendidik orangtua Saya yang banyak diklaim oleh beberapa orang dengan istilah eksploitasi anak. Dahulu saya berpikir demikian, namun dengan realitas usia kepala dua hal yang dilakukan oleh orangtua justru akan menjadi modal bagi Saya apabila sudah menjadi seorang Ibu, dalam menjadi madrasah kelak bagi anak-anak.
Orangtua saya merupakan pedagang di salah satu ruko yang ada di pasar. Setiap bakda magrib ada ketentuan yang wajib dilakukan bagi saya dan para anaknya yang lain, yakni membantu beliau untuk berdagang. Awal menerjukan diri ke sebuah dunia baru bagi seorang pelajar amatlah sulit. Tugas sekolah begitu banyak keteteran, melayani pelanggan hingga badan capai pegal, bersih-bersih ruko menjadi agenda penutup yang cukup membuat diri kesal. Namun, semua itu hanya awal dalam perjalanan. Lama-lama kami paham bagaimana mengatur strategi untuk mengerjakan tugas sekolah di sela-sela membantu berdagang, berani berbicara di depan umum karena terbiasa melayani pelanggan, dan merasa risih apabila berada dalam suatu ruangan yang kurang terjaga dari segi kebersihan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut justru didapat bukan dari bangku sekolah, melainkan dari cara mendidik orangtua yang banyak dianggap sebagai sistem eksploitasi anak. Berjalan hingga dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi, ilmu hidup yang diberikan tersebut justru adalah modal yang sangat strategis. Modal yang digunakan dalam menghadapi arus-ruas hidup dalam tatanan merantau.
Bagi saya, merasakan pekerjaan orangtua akan menjadi dimensi tersendiri dalam keadaan berada dititik bawah kluster jalan hidup. Keadaan sedang putus asa, kehabisan finasial, akademik yang merosot, sentimentil organisasi dan berbagai hal lain yang serupa. Bagaimana mungkin merasa lelah sedangkan lelahnya orangtua jauh lebih besar meski tanpa sua dan suara. Maka bernostalgia dengan kesusah-payahan orangtua yang telah dirasakan oleh diri sendiri akan menjadi obat dari segala macam penyakit.
Banyak masyarakat hanya beranggapan tanpa turut mencoba untuk merasakan. Hal tersebut yang juga terjadi dari sudut pandang oranglain dalam menjatuhkan istilah eksploitasi anak kepada keluarga kami. Bagi diri pribadi, klaim tersebut justru menjadi sebuah strategi dalam memberikan pendidikan karakter dalam menjalani hidup jauh dari orangtua, menajemen waktu dalam segala aktivitas, dan bergaul dengan masyarakat tanpa memandang segi sosial. Memiliki pembelajaran hidup dari pengalaman diri sendiri adalah hal yang baik, namun mengambil pelajaran hidup dari pengalaman orang lain juga hal yang penting. Menjadi sebuah ironi apabila berprasangka tanpa menyelam lebih dalam dari yang terjadi.
Arum Yuliya Lestari
BA 9 Semarang