Stigma Sosial Covid-19

By Ahmad Shofwan Syaukani, PM9 BAKTINUSA Bandung

Penyebaran wabah penyakit COVID-19 sudah semakin masif terjadi Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri pada tanggal 7 April 2019 telah menyebutkan angka 2.313 kasus positif COVID-19 di 32 Provinsi se-Indonesia. Hal tersebut memunculkan satu fenomena sosial yang berpotensi untuk menambah masalah sosial lainnya, yaitu stigma sosial atau asosiasi negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang yang mengalami gejala atau menyandang penyakit tertentu. Mereka diberikan label, stereotip, didiskriminasi, diperlakukan berbeda, dan/atau mengalami pelecehan status karena terasosiasi dengan sebuah penyakit.

Manusia itu cendrung takut pada sesuatu yang belum diketahui dan lebih mudah menghubungkan rasa takut pada “kelompok berbeda/lain”. Inilah yang menyebabkan munculnya stigma sosial dan diskriminasi terhadap etnis tertentu dan juga orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan virus ini. Perasaan bingung, gelisah, cemas, dan takut yang kita rasakan dapat dipahami, tapi bukan berarti kita boleh berprasangka buruk pada penderita, perawat, keluarga, ataupun mereka yang tidak sakit tapi memiliki gejala yang mirip dengan COVID-19. Jika perasaan tersebut terus terpelihara di masyarakat, stigma sosial dapat membuat orang-orang menyembunyikan sakitnya supaya tidak terdiskriminasi, mencegah mereka mencari bantuan kesehatan dengan segera dan membuat mereka tidak menjalankan perilaku hidup yang sehat.

Kondisi tersebut sepertinya masih hadir dalam ruang-ruang masyarakat kita. Bahkan fenomenanya cendrung berkembang akibat masih adanya masyarakat yang belum banyak mengetahui penyakit COVID-19. Inilah perjuangan yang harus kita lakukan sebagai masyarakat yang mengisi waktu luang #dirumahaja. Ditengah kuatnya imbauan kepada masyarakat agar mengurangi aktivitas sosial serta berkerja dan belajar di rumah, tenaga medis justru harus bekerja lebih keras di berbagai layanan kesehatan. Bahkan tidak sedikit tenaga medis yang menjadi korban jiwa dalam upaya menangani COVID-19. Jangan sampai misalnya seorang perawat diusir dari tempat kosnya dan tidak diterima oleh tetangga karena menjalankan tugasnya. Hal ini tentunya berdampak negatif pada tenaga kesehatan karena menurunkan motivasi dan akhirnya muncul masalah psikologis serta penurunan imunitas tenaga kesehatan itu sendiri. Cukuplah kejadian seperti itu menjadi pembelajaran dan tidak terjadi lagi dikemudian hari.

Belum lagi kisah menyedihkan bagi keluarga yang ditinggalkan pasien COVID-19. Telah banyak informasi maupun berita mengenai penolakan warga terhadap pemakaman jenazah pasien COVID-19. Proses pemakaman terpaksa dihentikan bahkan masyarakat menuntut untuk dipindahkan ke tempat lain karena menolak pemakaman dekat rumah mereka dijadikan pemakaman khusus jenazah pasien COVID-19, seperti yang telah direncanakan oleh beberapa pemerintah daerah. Masyarakat menginterpretasikan bahwa ada potensi penularan virus dari jenazah. Padahal kasihan keluarga yang telah ditinggalkan, mereka butuh dukungan dan semangat dari kita. Apalagi sebagai sesama muslim dan anak bangsa, tentunya kita dapat dapat memberikan penghormatan terakhir terhadap jenazah pasien COVID-19 dengan memakamkannya dengan baik dan layak, tentunya harus sesuai dengan prosedur dan standar dari Kemenkes dan WHO sehingga jenazah ketika sudah dikuburkan tidak menularkan virus, yaitu pemakaman harus berjarak 500 meter dari pemukiman dan berjarak 50 meter dari sumber air.

Informasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat juga terbilang minim dan kurang untuk mencegah adanya tindakan stigmatisasi kepada para jenazah pasien COVID-19. Protokol yang harus dilakukan juga jangan lupa untuk ditaati secara seksama demi keselamatan bersama. Jenazah harus terbungkus seluruhnya dalam kantong jenazah yang tidak mudah tembus sebelum dipindahkan ke kamar jenazah, sehingga tidak ada kebocoran cairan tubuh yang mencemari bagian luar kantong jenazah. Jasad pasien yang meninggal dunia juga harus sesegera mungkin dimakamkan, maksimal empat jam sesuai prosedur yang telah diatur. Kemudian jenazah harus dikubur sedalam 1,5 meter lalu ditutup tanah setinggi 1 meter dan pada saat proses pemakaman, seluruh petugas penggali kuburan dilindungi dengan alat pelindung diri (ADP) untuk menghindari terinfeksi virus COVID-19. Setelah semua prosedur jenazah dilaksanakan, baru kemudian pihak keluarga dapat turut dalam proses penguburan jenazah.

Menekankan prinsip bahwa setiap orang berpotensi terpapar virus corona merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengubah pola pikir (mindset) masyarakat agar lebih bijak dalam berperilaku antar sesama. Karena pada suatu kondisi bisa saja masing-masing dari kita yang menjadi pasien atau bahkan jenazah COVID-19 itu sendiri. Sensitivitas agama, adat istiadat dan budaya harus diperhatikan dalam mengubah mindset tersebut supaya dapat menyentuh prinsip dan nilai masing-masing individu yang berada pada suatu masyarakat tertentu. Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, serta hindari istilah klinis yang sulit dipahami oleh masyarakat itu sendiri.

Hal tersebut menjadi tugas bersama bagi siapapun yang sudah mengetahui ilmu tersebut. Jangan sampai  kita hanya cerdas secara personal dan melupakan cerdas sosial. Dari pada meunjukan stigma sosial, lebiih baik jika kita berkontribusi secara sosial. Kolaborasi antara influencer, tokoh masyarakat, pejabat publik (pemerintah), dan media sosial memiliki peran penting dalam mencegah dan menghentikan stigma di masyarakat. Jangan sampai niat kita baik untuk mengedukasi orang lain, tanpa harus bersikap menggurui. Kita semua harus berhati-hati dan bijaksana ketika berkomunikasi di media sosial dan wadah komunikasi lainnya. Beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai individu yang bermasyarakat diantaranya, yaitu :

  1. Pakai nama yang benar, yakni : Penyakit COVID-19 dikarenakan virus SARS-CoV-2. Nama COVID-19 diambil dari kata Co(rona) Vi(rus) D(isease) 20(19), karena muncul tahun 2019. Bukan virus Wuhan, Virus Cina atau Flu Asia.
  2. Tidak menyebut orang yang terjangkit COVID-19 sebagai korban atau penderita, tetapi sebagai pasien.
  3. Menghindari melabel orang, kelompok, etnis atau daerah tertentu sebagai “penyebab” atau “penyebar” COVID-19.
  4. Memberikan dukungan bagi mereka yang terdampak, baik pasien, keluarga pasien, atau masyarakat sekitar.
  5. Memberikan penghargaan kepada petugas kesehatan yang merawat pasien COVID-19. Mereka adalah pahlawan dalam perang melawan wabah ini.
  6. Tidak mengulang atau membagikan gosip yang tidak jelas, kabar bohong (hoax), apalagi narasi yang bersifat siaran kebencian terhadap satu orang, kelompok, etnis, atau daerah tertentu terkait COVID-19.
  7. Stigma muncul dari ketakutan. Ketakutan muncul dari ketidaktahuan. Jadi lawan dengan mencari informasi yang tepat dari sumber yang benar.
  8. Sebarkan berita yang baik, misalnya kesembuhan pasien, cara pencegahan yang praktis dan tepat, cara mengamankan diri dan keluarga dari transmisi, atau kisah perjuangan para petugas medis dalam menangani wabah ini.
  9. Ajakan untuk hidup sehat dan produktif selama menjalani aktifitas #dirumahaja
  10. Melakukan donasi bagi yang mampu dan berkecekupan kepada mereka yang membutuhkan melalui gerakan, komunitas maupun lembaga yang terpercaya dalam memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan.

Musuh kita itu virus, bukan manusianya. Jangan sampai sebagai sesama manusia, kita turut menghilangkan rasa kemanusiaan kita dengan memberikan stigma negatif kepada sesama manusia. Jangan lupa untuk terus berusaha sambil berdoa supaya kita semua diberikan kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini bersama-sama. Stay safe semuanya. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Sumber :

  1. https://www.unicef.org/media/65931/file/Social%20stigma%20associated%20with%20the%20coronavirus%20disease%202019%20(COVID-19).pdf
  2. https://kawalcovid19.id/content/698/mencegah-dan-menangani-stigma-sosial-seputar-covid-19
  3. https://www.vivanews.com/berita/nasional/43698-cerita-pilu-pemakaman-jenazah-corona-tak-ada-pelayat-ditolak-warga?medium=autonext
  4. https://tirto.id/mengapa-warga-tak-seharusnya-menolak-jenazah-pasien-covid-19-eKsj
  5. www.pixabay.com