Ciptaan Allah pasti berharga, namun semua sudah diatur sesuai letaknya, sesuai posisinya, sesuai perannya. Tak sedikit lisan yang bersyukur atas indahnya takdir yang ia rasakan, namun tak sedikit pula yang menggerutu atas pedihnya takdir yang ia rasakan. Penentunya satu, bagaimana ia menyikapi takdir yang diberikan. Padahal Allah sudah menciptakan sebaik-baik setiap hal. Hal yang kita anggap menyedihkan, mungkin saja menjadi hal yang sangat orang lain harapkan. Ya, walau rasa syukur diciptakan, tak banyak yang bisa benar-benar menanamkan dalam hatinya, seringkali menjadi buaian dalam lisan.
Tak sedikit orang mencari alasan untuk menjadi istimewa, segala cara mungkin dilakukan, tapi kegagalan adalah hal yang seringkali didapatkan. Hingga berujung kekecewaan, hingga berakhir penghentian jalan. Masalahnya mungkin pada pangkalnya, kita belum benar-benar mengenal diri sendiri hingga belum mengerti pilihan mana yang seharusnya dipilih. Padahal terlalu banyak melakukan berbagai hal tanpa tau tujuan, bisa membantu melepas berbagai peluang yang sebenarnya sudah dalam genggaman. Siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya. Mengenal diri sendiri membantu kita meluruskan jalan hidup, hingga kita bisa mensyukuri berbagai kekurangan dan melecitkan berbagai kelebihan. Karena setiap orang istimewa, tapi indikator istimewa ditentukan oleh diri dengan kesyukuran dan semangat memperjuangkan cita sesuai potensi dirinya.
Setiap orang berhak bahagia setiap orang berhak jadi istimewa karena walaupun takdir adalah ketetapan, Allah tetap memberi kita pilihan. Ada banyak cerita, orang yang selama hidupnya baik, dermawan, dicintai semua orang tapi berakhir tidak bahagia, su’ul khatimah. Ada pula orang yang selama hidupnya telah menebar kebencian tapi ketika Allah berikan hidayah dia berhasil mengambilnya maka akhir hidupnya adalah ketentraman, khusnul khatimah, bahkan ditangisi banyak orang. Seringkali kita membohongi diri sendiri karena berusaha menjadi baik tapi dengan cara orang lain atau dengan cara yang salah, berusaha dianggap dan disanjung oleh orang lain tapi dengan kebenaran yang pahit. Sebut saja Fulan, yang mungkin ingin terlihat dermawan, tapi ternyata kekayaan yang dipertontonkan adalah hasil curian, apakah dia merasakan kebahagiaan? Tidak, dia akan menanggung kesengsaraan batin yang bahkan tidak diketahui semua orang, hingga dia harus berakhir dalam penderitaannya sendiri, bahkan tak ada yang tau untuk sekadar menyadarkannya. Sebut saja Fulanah, mungkin dia hidup dalam takdir (saat itu) mengalami kekurangan ekonomi tapi kebahagiaan terus ditumbuhkan di hati, dia mencoba menjadi istimewa dengan apa yang dia miliki, hingga dia terus berbagi sekalipun harus menekan segala kesenangan diri karena apa yang dia miliki walau sedikit selalu tersisihkan untuk diberi kepada yang dia rasa juga membutuhkan. Kemudian Fulanah berpulang dengan kedamaian, karena dia juga tak perlu mempertanggungjawabkan harta yang malah disalahgunakan, dia mungkin hanya punya sedikit, tapi sudah aman karena penyaluran yang tepat, karena investasinya yang tak terlihat tapi tercatat oleh malaikat.
Kebahagian itu di hati, bukan di mana bijakan berdiri. Baik akan selaras dengan bahagia dan ketengangan hati bila kita bisa membangunnya di atas apa yang kita miliki. Memulai hari dengan bangun pagi misalnya, saat ada pilihan lain yaitu tetap tertidur menghabiskan hari. Itu istimewa karena kita bisa melawan nafsu pribadi. Memberi kebermanfaatan misalnya, dengan tulisan yang dibaca orang lain, atau mungkin dengan senyum kebahagiaan yang akhirnya membahagiakan semua orang di sekitarnya. Mungkin tidak semewah harta bermilyar kelihatannya, tapi itulah istimewanya ketika kita bisa memberi apa saja yang dmiliki. Begitu pula dengan berbagai hal dihidup ini, setiap hal yang kita lakukan atas pilihan sendiri akan menjadi hal besar yang akan kita bertanggungjawabkan. Memilih atas kehandak diri mendorong hati untuk bertanggungjawab atas setiap risikonya. Coba bandingkan jika kita memiliki laptop antara yang diberi orang tua atau dibeli dengan hasil tabungan kita, manusiawinya kita akan lebih merawat apa yang kita usahakan sendiri ketimbang diberi.
Semua analogi ini bermaksud saya hubungkan dengan karakter kita, kehendak kita, dan pilihan kita, yaitu menjadi baik dan istimewa dengan versi kita sendiri. Terus membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menghabiskan waktu apalagi jika tidak ada gerak yang kemudian dilakukan untuk mencapai hal serupa. Setiap orang punya perjuangannya, punya gagal berhasilnya. Mungkin orang sukses yang kemudian kita sanjung hanya tidak memperlihatkan masa gagalnya, masa terbawahnya, hingga kita melihat ‘kok hidup dia sangat bahagia, tak ada duri yang menghadang tak ada petir yang menyambar. Selalu pelangi yang ia saksikan selalu berlian yang ia dapatkan’. Coba pejamkan mata, bayangkan satu persatu kenikmatan yang pernah kita rasakan, bayangkan juga orang-orang yang mungkin sedang tidak lebih beruntung daripada kita, rasakan betapa banyak kebahagian yang kita rasakan dan mungkin malah kita lewatkan tanpa ada kesyukuran. Hal ini mungkin sederhana, akan lewat begitu saja jika tidak dimaknai sedalam-dalamnya. Tapi Ketika kita bisa membuka mata lebih lebar, memaknai lebih dalam, akan ada energi positif yang membangkitkan. Menarik kita untuk selalu menebar kebaikan, minimal agar bukan hanya kita yang merasa kebahagiaan serupa, tapi bisa menularkan setiap energi positif yang dirasakan dan menyimpan sedalam-dalamnya kepedihan agar tidak ikut tertularkan.
Karena kita bisa menjadi istimewa, asal kita mau melawan ego kita, asal kita mau melawan kesenangan sesaat, untuk menebar kesenangan yang berkepanjangan dengan banyak orang. Menjadi istimewa ala diri sendiri berarti mensyukuri apa yang dimiliki dan berusaha memaksimalkan semua potensi agar kebermanfaatan dapat abadi. Allah menilai setiap yang kita lakukan, dan membahagiakan orang lain adalah salah satu parameter yang disebut-Nya sebagai sebaik-baik takwa, yang menjadi alasan kenapa kamu dilahirkan.