Seteru antara Murid dengan Guru:
Sebuah Catatan Penting Pendidikan Saat Ini
Oleh : Fajar Subhi
“Menjadi Guru lebih baik daripada tidak ngapa-ngapain, tapi kok malah dirundung pilu?”
Semua sudah sepakat bahwa pendidikan adalah hal utama dalam berkehidupan di suatu negara. Ihwal yang terkandung di dalam substansi pendidikan perlu diperhatikan dengan seksama. Tanggung jawab ada di tangan negara, namun bukan berarti orang-orang di sekitar tidak memedulikannya—turut bertanggung jawab bersama. Negara secara struktur memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan ruang terhadap masyarakatnya untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Pendidikan adalah alat dan cara untuk berkehidupan sosial. Ki Hadjar Dewantara memaknai pendidikan sebagai upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak. Pendidikan tidak sekadar ketika seorang murid mendapatkan suatu ajar dari seorang guru. Menyampaikan poin-poin ajar yang wajib disampaikan oleh seorang guru dari kurikulum pelajaran yang ada. Namun lebih dari itu, bahwa hubungan, komunikasi, kontak sosial, interaksi dan sebagainya, antara guru dengan murid adalah hal yang penting. Apa yang tengah terjadi di Indonesia saat ini? Khususnya dalam kasus interaksional guru dengan murid.
Kehadiran guru di kelas menjadi sentral daripada murid dalam pembelajaran kesehariannya—pun tergantung dari tingkat jenjang pendidikannya. Namun berbagai masalah seperti kekerasan dan sejenisnya, terjadi saat di dalam kelas maupun di luar kelas. Baik itu yang dilakukan oleh guru, bahkan sebaliknya. Hal yang menjadi tren saat ini ketika murid dapat melakukan sesuatu hal yang buruk terhadap guru.
Jika kita kilas balik ke awal tahun 2019, beredar video siswa sedang melakukan hal yang tidak pantas terhadap gurunya. Seorang siswa di Gresik, Jawa Timur, mencekik gurunya yang menjadi viral di media sosial.[1] Menurut Novi (Psikolog Universitas Gadjah Mada), berbagai kasus tersebut ialah akibat minimnya pendidikan di Indonesia melatih regulasi pikir dan kendali emosi, serta kurang mendapat apresiasi. Sistem juga banyak memengaruhi perilaku anak. Yakni ada keluarga, sekolah dan saat ini ialah media sosial.[2] Ini adalah satu dari banyaknya kasus murid terhadap gurunya di Indonesia. Riset American Psychological Association (2013) menyatakan bahwa sejumlah 80% guru sekolah pernah menjadi korban perundungan siswa [3]. Guru kian menjadi korban perundungan oleh para siswa yang ada dan jumlahnya yang tidak sedikit.
Sebaliknya, tidak sedikit anak-anak yang mengalami kekerasan di sekolah. Bahkan di DKI Jakarta adalah daerah tertinggi kasus tentang pendidikan. Sejumlah 58% yang meliputi kasus anak pelaku dan korban kekerasan baik fisik dan psikis, dan anak korban kebijakan sekolah[4]. Permasalahan ini harus segera diselesaikan oleh berbagai pihak. Negara harus bekerja sama dengan berbagai elemen di masyarakat. Guru memiliki andil, namun seakan-akan juga bertanggung jawab yang sangat besar. Padahal dalam aspek sosiologis, keluarga adalah tempat pertama anak dalam mengembangkan karakternya—sosialisasi primer.
Sosialisasi primer menjadi hal penting dalam tumbuh kembang si anak. Keluarga berperan sangat sentral dan menjadi tempat pertama dalam mengembangkan pola pikir anak sebelum ke zona selanjutnya, karena rumah menjadi interaksi awal dan bersifat intensif yang menjadikan bekal sang anak dalam bersosialisasi. Setelah itu menghadapi dunia luar seperti teman sebaya dan lingkungan masyarakat hingga sekolah. Seorang anak akan siap ketika memiliki bekal awal untuk berinteraksi dengan dunia luar. Dalam hal ini adalah sekolah, bagaimana seorang anak—berstatus sebagai murid di sekolah—siap menghadapi dan berinteraksi kepada guru.
Permasalahan yang pelik terjadi memiliki relevansi dengan kemajuan teknologi—media sosial saat ini. Selain itu pula, berbagai elemen di Indonesia harus saling bekerja sama untuk menghadirkan secercah harapan bagi pendidikan di negeri ini, khususnya bagaimana menciptakan interaksi yang harmonis dan produktif antara guru dengan murid. Bukan lagi guru yang heroik menyampaikan ceramah secara penuh dalam kegiatan pembelajaran. Namun merangkul murid yang ada di kelas untuk tampil menjadi seorang pemimpin dan menampilkan kreatifitas, bukan menjadi pendengar saja.
Guru perlu meningkatkan wawasan tentang pengetahuan terbaru, bukan sekadar pelajaran baku yang ada di kelas. Karena saat ini, anak-anak dijamah teknologi yang tiada habisnya. Negara bekerja sama dengan berbagai LSM bidang pemberdayaan dan pendidikan untuk melatih guru yang siap menghadirkan jiwanya terhadap murid. Berbagai upaya seperti perpustakaan keliling, permainan tradisional, serta penanaman kepekaan sosial perlu dilakukan oleh muda-mudi yang sadar akan urgensi pendidikan di masyarakat, bukan malah diberi anak ayam sebagai sanksi. Negeri ini sudah kaya dengan budaya, yang perlu diangkat kembali dan mengolaborasikannya dengan gerakan-gerakan sosial kini.
Seorang anak, ataupun murid, sudah memiliki konsep awal dalam memikirkan sesuatu. Dan itupun berbeda dan kaya warna. Guru tidak dapat memaksa seorang murid untuk memberikan makanan yang sudah disajikan olehnya. Namun bagaimana seorang guru dapat memfasilitasi dan mengarahkan langkah-langkah apa saja untuk menjadikan murid tersebut dapat menghasilkan makanan sesuai apa yang ia inginkan.
Bagi Frobel, anak-anak akan selalu bergerak. Bergeraknya anak-anak adalah akibat dari bergeraknya jiwa, karena hal tersebut merupakan satu kesatuan. Dengan mempengaruhi jiwa anak-anak, itu berarti juga mempengaruhi gerak-gerik dari badannya. Karena kodratnya anak-anak ialah berfantasi dan bergerak. Sedang guru ialah mengarahkan kepada cahaya-cahaya yang tertuju untuk generasi bangsa yang akan memerdekakan kembali republik ini. Wibawa seorang guru akan tetap ada, serta moralitas seorang murid akan terjaga ketika terjadi harmonisasi di ruang kelas.
“Di pelosok nusantara, guru digaji seperak saja
Siswa-siswa kota semena-mena tidak merasa
Guru dengan siswa bukan wayang negara
Namun perlu kasih sayang dari orang yang merasa manusia”
Fajar Subhi, UNJ, BA Jakarta 9
[1] Fernan Rahadi, 2019, ‘Kasus Kekerasan Terhadap Guru Kesalahan Sistemis’ diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/19/02/13/pmuwyp291-kasus-kekerasan-terhadap-guru-kesalahan-sistemis pada 2 Desember 2019.
[2] Novi juga menyampaikan hal tersebut kepada Republika. Menurut dia, mengutip sebuah teori ekologi Bronfenbrenner, perilaku anak-anak seperti itu dipengaruhi oleh banyak sistem. “Sistem terdekat bagi siswa yaitu ekosistem sekolah dan keluarga, kemudian lebih luas sistem masyarakat, kebijakan, media sosial, dan budaya. Jadi tidak hanya faktor guru,” tuturnya.
[3] Edward, 2018, ‘Ketika Guru Dirundung Murid, Bagaimana Mencegahnya?’ diakses melalui https://tirto.id/ketika-guru-dirundung-murid-bagaimana-mencegahnya-c9Tc pada 2 Desember 2019. Selain itu, Riset Canadian Teachers Federation terhadap guru (2005) menyatakan bahwa sejumlah 35% melihat guru lain diserang/diintimidasi oleh siswa. Persentase lainnya juga menyatakan bahwa sejumlah 60% melihat guru lain dihina secara verbal oleh siswa. Jumlah tersebut terbilang tidak sedikit. Semakin banyaknya guru yang menjadi korban perundungan oleh para siswa yang dibuktikan ditahun 2013 tersebut.
[4] Diakses melalui https://www.idntimes.com/news/indonesia/linda/kekerasan-fisik-dan-seksual-marak-terjadi-di-sekolah-mayoritas-korban-anak-laki-laki-1/full pada 2 Desember 2019.