seni menggandakan diri

Seni Menggandakan Diri

Oleh : Bayu Apriliawan (Penerima Manfaat BAKTI NUSA Angkatan 7 Palembang)

Tugas dan Peran

Bumi ini dan semua mahluk yang meramaikanya adalah saksi sekaligus output  dari rantai panjang sebuah peradaban. Nabi Adam merupakan manusia pertama dimuka bumi ini yang dalam sejarahnya tidak mampu menggandakan dirinya sebelum ditakdirkan oleh Allah SWT untuk bertemu dengan Siti Hawa. Lalu pertemuan itu menjadi wasilah awal terbangunnya sebuah peradaban baru, peradaban manusia.

Bumi yang luas ini dihadiahkan Allah SWT kepada manusia sebagai tempat persinggahan yang asing. Dari keterasingan itu, ternyata manusia dalam perkembanganya sampai era milenial hari ini mampu memberi warna yang luar biasa menakjubkan. Teknologi, budaya, dan keilmuan yang menjulang bebas berakselerasi telah mencapai pada batas optimal yang sering dipadankan dengan istilah ‘canggih’.

Dalam bahasa Al Quran, manusia telah dipilih sebagai mahluk yang diembankan tugas yang teramat berat untuk mengelola bumi dan segala isinya sebagai wakil Allah SWT. Tentu ini menjadi tanggung jawab besar bagi anak cucu Adam.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “ Aku hendak menjadikan khalifah di bumi “ Mereka berkata, “ Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “ Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al-Baqarah ayat 30)

Gap Peradaban dan Degradasi Kualitas Kepemimpinan

Pengelolaan asset bumi dengan segala permasalahanya membutuhkan banyak manager dengan kapasitas kepemimpinan yang luar biasa. Dari generasi nabi Adam sampai dengan generasi manusia millennial hari ini memiliki perbedaan kualitas. Dalam sejarahnya, peradaban manusia mengalami naik turun.

Manusia pernah mengalami masa-masa primitive,  menjadi nomaden lalu mengalami masa jaya pada masa nabi Sulaiman AS kemudian menjadi jahiliah lagi mendekati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Fakta tersebut menandakan bahwa gap peradaban dan inkonsistensi kaderisasi kepemimpinan itu ada dan berdampak terhadap pengelolaan bumi itu sendiri.

Gap  peradaban itu sebuah keniscayaan, dimana kualitas kepemimpinan yang dilihat dari kualitas manusia pada masa itu memiliki trend yang menurun, dan itu sudah terprediksi oleh Nabi Muhammad SAW.

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits Shohih Bukhari  no. 3651, dan Muslim no. 2533)

Benturan Peradaban

Rasulullah SAW telah memprediksi bahwa kualitas manusia secara umum akan mangalami penurunan dari masa kemasa. Peradaban barat, timur, selatan bahkan utara saling bergantian mengisi pos-pos kekuasaan sebagai wilayah digdaya. Romawi yang dulu pernah berjaya bersama Persia nyatanya pada hari ini tidak dapat leluasa bergerak diantara himpitan Amerika dan China.

Benturan dan persaingan dalam segala hal merupakan keniscayaan yang harus dihadapi generasi dewasa ini. Semua negara bersaing untuk menancapkan pengaruhnya dinegara-negara lain yang dianggap lemah namun punya potensi alam dan sumber daya lainnya yang dapat dikuras. Pertanyaanya adalah, apakah kita sebagai pemuda harapan bangsa ini mau dan manut  saja ketika akan menjadi objek bancakan oleh kekuatan-kekuatan asing itu?

Disatu sisi kita menyadari bahwa bangsa Indonesia hari ini juga tengah mengalami krisis kepemimpinan. Sekolah – sekolah yang diharapkan menjadi kawah candradimuka utama dalam menyiapkan kader-kader penerus bangsa nyatanya belum menjawab tantangan itu. Kapasitas pemimpin yang diharapkan justru semakin jauh ketika bangsa ini dibenturkan dengan serbuan teknologi yang memporak-porandakan pertahanan budaya ketimuran dan etos belajar generasi muda kita.

Membina: Seni Menggandakan Diri

Peradaban terbaik yang pernah dan masih terus digaungkan sampai pada hari ini adalah islam. Semangat iqomatuddin yang digelorakan ribuan tahun yang lalu disebuah negara tandus dan miskin oleh seorang yatim yang tidak dapat membaca, ternyata menjadi sebuah poros peradaban yang diperhitungkan bahkan mendominasi. Fakta hari ini, negara  -negara eropa seperti Inggris, Jerman, dan Rusia hari ini sangat berwarna dengan hadirnya islam disana.

Semua orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin Muhammad SAW yang seorang diri mampu membangun peradaban islam sampai keseluruh penjuru dunia. Bagaimana ia memperpanjang nafas perjuangan ditengah-tengah keterbatasan usia dan masa jaya seorang super leader sekalipun?

Ternyata Nabi Muhammad, SAW menggandakan dirinya. Menggandakan pemahamanya, pemikirannya, semangatnya, dan konsistensi untuk mencapaii cita-cita yang ia ingin wujudkan bersamaan dengan kejayaan islam didalamnya. Menggandakan diri yang dimaksud adalah membina kader-kader penerus yang diharapkan mampu untuk mewujudkan cita-cita yang belum tercapai.

Seberapa efektifkah proses pembinaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW? Sangat efektif. Terbukti, kader binaannya kelak menjadi penerus tonggak kepemimpinan yang kesemuanya memiliki catatan prestisius. Abu Bakar adalah khalifah penerus setelah Rasulullah yang mampu mewujudkan cita-cita ekspansi dakwah islam yang diimpikan nabi. Lalu ada Umar yang dibawah kepemimpinanya ditaklukanya Palestina. Usman dan Ali Bin Abi Thlib sampai sahabat-sahabat lainya merupakan produk pembinaan berkala yang dilakukan oleh Nabi Muhhamad SAW.

 Baktinusa dan Akselerasi Perluasan Nilai

Dompet Dhuafa melalui Beasiswa Aktivis Nusantara-nya mencoba menyebarkan gen-gen kepemimpinan positif dengan 4 nilai dasar : integritas, cendekia, transformatif, dan melayani. Gen kepemimpinan ini harus terus disebarluaskan secara massif. Membina adik asuh merupakan salah satu sistem konkritnya.

Membina adik asuh secara tidak langsung merupakan bentuk implementasi metode Rasulullah menggandakan dirinya dalam bentuk orang lain yang memiliki pemahaman, kapasitas dan cita-cita yang sama dengan dirinya.

Seorang aktivis, diharapkan menjadi sosok tauladan yang ideal untuk menularkan nilai kepemipinan positif yang ada pada dirinya kepada orang-orang disekitarnya, terutama adik asuhnya. Untuk tujuan tersebut, dibutuhkan sebuah taktik agar selama proses transfer pemahaman dan penggandaan diri tersebut berjalan dengan baik dan memenuhi targetan :

  1. Pendekatan personal

Ada sebuah istilah dalam politik, ‘Semua bisa diselesaikan dimeja makan’ . Sebuah strategi yang mengarah pada pendekatan personal dimulai dengan memenuhi kebutuhan perutnya. Pendekatan personal menjadi satu langkah pertama yang harus tuntas sebelum tahap-tahap lainya.

Sebuah pesan yang disampaikan oleh orang yang kita anggap sudah dekat dengan kita, penerimaanya akan beda dengan pesan yang disampaikan oleh orang yang baru kita kenal. Ada subjektifitas yang bermain diatas rasionalitas pemikiran kita. Itulah kata-kata ayah atau ibu kita akan sulit untuk dibantah karena adanya kedekatan personal dalam bentuk ikatan waktu dan kebersamaan.

Seorang mentor yang baik akan mengenal adik asuhnya dengan baik. Tidak hanya sekedar nama dan usia saja, tapi bagaimana aktifitas ia dirumah, siapa sahabat terbaiknya disekolah, makanan kesukaanya bahkan sampai detil permasalahanya dari waktu kewaktu.

Kedekatan personal akan memperceat penerimaan terhadap semua doktrin nilai – nilai positif yang kita sampaikan. Mulailah dengan mengenal kepribadian adik asuh kita, hafalkan nama mereka dan buat ia nyaman ditengah kebersamaan.

  1. Keteladanan

Materi yang menggelegar disandingkan dengan orasi yang berapi api hanya akan membekas beberapa menit saja diingatan, selebihnya objek akan melihat bagaimana aplikasi materi-materi tersebut pada orang yang menyampaikanya.

Berapa puluh public figure  yang harus menerima kehilangan banyak fans, jamaah, pengikut dan penggemar hanya karena ia gagal menunjukan ketauladanan. Masyarakat dan objek dakwah (termasuk adik asuh) merupakan komunitas yang dinamis. Terus mengalami perkembangan pemikiran yang semakin hari semakin kritis saja.

Ketauladanan mutlak dibutuhkan dalam proses pembinaan adik asuh. Generasi milenial adalah generasi yang secara identitas masih sangat lemah karena mudah sekali ikut-ikutan dan terbawa arus. Menjadi sangat berbahaya jika yang dianut dan diikuti justru gagal dalam menunjukan sosok aktivis teladan.

  1. Metode dan Muatan

Metode adalah alat. Semakin canggih alat yang kita miliki untuk mengerjakan sesuatu maka pekerjaan akan selesai lebih cepat dengan hasil yang lebih maksimal. Pembinaan yang effektif dan efisien harus menggunakan metode yang nyaman diterima oleh adik asuh dan adaptif.

Muatan dari pesan-pesan yang akan ditransfer juga harus dirancang dengan rapid an sistematis. Ini akan memudahkan bagi kakak asuh sendiri dalam proses penyampainya juga akan memudahkan adik asuh saat proses pemahaman. Singkatnya kurikulum dalam proses membina adik asuh harus diterapkan secara sistematis, on the track  dan berorientasi pada output.

Muatan – muatan pesan yang akan disampaikan harus disampaikan dalam kondisi yang dinamis dan tidak monoton. Diskusi sambil jalan-jalan misalnya, atau pemahaman materi dengan games-games ringan.

Membina adalah salah satu cara untuk menyebarluaskan aspek-aspek positif yang ada pada diri kita. Hampir tidak mungkin seorang kakak akan mengajarkan hal yang negative kepada adiknya. Sehingga membina adik asuh adalah cara yang cukup efektif dan murah untuk membangun Sumber daya manusia bangsa ini secara nyata, dari sedikit dan jangka panjang.

Benih pembinaan tidak akan dipanen dengan segera. Tapi usaha itu akan menghasilkan orang-orang luar biasa dimasa yang akan datang, umat ini yang akan memanennya !