Quater Life Crisis dan Seni Masa Bodoh
Krisis paruh hidup atau dikenal dengan istilah quater life crisis adalah suatu fase hidup (usia 20-30 tahun) dimana pada fase ini, seseorang akan merasa dipersimpangan jalan yang membuatnya dilema dalam menentukan arah karena dihadapkan dengan berbagai tuntutan. Hal ini menyebabkan sering kali individu bersangkutan merasa tertekan dan stress dengan berbagai pilihan yang memiliki konsekuensi tersendiri seperti dari bangku perguruan tinggi menuju masyarakat, mencari pekerjaan, melanjutkan studi, atau rencana lainnya. Kondisi ini pada akhirnya membuat banyak penulis menjelaskan saran untuk menghadapi tekanan dan stress yang semakin hari semakin tinggi, salah satunya Mark Manson.
Dalam buku international best seller berjudul Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (terjemahan indonesia), Mark Manson menjelaskan bagaimana seni untuk mengabaikan tekanan dan tuntutan dewasa ini. Berdasarkan uraiannya, Manson berpandangan bahwa hidup terkadang memang menyebalkan. Banyak keinginan yang tidak tercapai, seperti kita bukanlah seorang yang populer di kampus, belum memiliki pasangan, tidak terlalu kaya, dll. “Namun, apa yang salah dengan itu?” “Bukankah hal tersebut tidak mempengaruhi apapun?” Maksud Manson, kita tentu masih tetap bisa berkarya dan hidup seperti biasa. Perasaan inferior yang didapat dari tekanan tren media sosial atau masyarakat sering kali membuat kita menciptakan parameter palsu dimana hidup bahagia adalah seperti hidup orang lain, meskipun pada faktanya, hidup orang lain tidak sesempurna yang kita kira. Oleh karena itu menurut Manson, “peduli amat dengan semua hal-hal keren versi masyarakat?”.“Kita sejatinya dapat hidup dengan parameter dan kebahagiaan kita sendiri”.“Jadi, masa bodo sajalah!”
Meskipun menarik dan solutif, permasalahan yang diajukan oleh Manson dengan quater life crisis sangat berbeda. Manson dengan seni bersikap masa bodoh versinya, menyorot tekanan tren di masa kini sebagai masalah. Sehingga, solusi yang diajukan yakni menyadari kepalsuan dari tren dan mulai menerima hidup yang lebih realistis guna mencapai kebahagian. Namun, dalam krisis paruh hidup, yang membuat individu merasa tertekan bukan tren dimasa kini, melainkan tekanan dari kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan. Rasa khawatir tentang pekerjaan, pendidikan, atau bahkan pasangan hidup, tentu saja tidak dapat diabaikan dengan masa bodoh. Maksud penulis, “bagaimana mungkin bersikap masa bodoh tentang masa depan?” Oleh sebab itu, pada tulisan ini, penulis mencoba menguraikan bagaimana seni untuk bertindak masa pintar (sebagai anti-thesis masa bodoh) versi filsafat stoisisme, khusus bagi siapa saja yang sedang menghadapi quater life crisis.
Filsafat Stoisisme ; Sebuah Pengantar
Filsafat Stoisisme adalah aliran filsafat Yunani-Romawi yang pada awalnya dikembangkan oleh masyarakat Stoa melalui kombinasi filsafat Plato dan Aristoteles dengan etika versi Stoa. Inti dari dasar pemikiran stoisisme yaitu bagaimana mengendalikan afeksi manusia dan alam serta bagaimana menanggung penderitaan dengan tenang dan hidup bahagia dengan melakukan kebajikan. Berbeda dengan filsafat Plato dan Aristoteles yang lebih menekankan rasionalisme dan empirisme, stoisisme justru menekankan metafisisme (ketuhanan). Filsafat Stosisme dimulai dari 3 abad sebelum masehi dan terus berkembang hingga 3 abad setelah masehi. Adapun tokoh-tokoh Stosisme yakni Zeno (generasi awal), Saneca (generasi tengah), hingga generasi akhir (Marcus Aurelius).
Dari pekembangannya selama ratusan tahun, Stosisme waktu demi waktu membentuk asumsi-asumsi dasar. Setidaknya, terdapat 3 asumsi dasar Stosisme yang relevan dengan konteks krisis paruh hidup. Asumsi dasar pertama yaitu dunia berjalan dengan pola-pola tertentu, walaupun dalam praktiknya tidak selalu sama. Di setiap pola ini, selalu ada Tuhan yang meliputi. Dalam bahasa sehari-hari, kita menyebutnya hukum alam atau Sunnatullah. Pola-pola yang sudah ditetapkan ini, membuat setiap makhluk, termasuk manusia memiliki perannya sendiri. Asumsi kedua, karena dunia berjalan berdasarkan hukum yang ditetapkan Tuhan, maka tidak semua keadaan yang terjadi dapat ditentukan manusia. Terakhir, untuk dapat hidup dengan tentang, manusia harus berdamai dengan alam dan dirinya sendiri.
Seni Untuk Bertindak Pintar Amat
Berangkat dari asumsi dasar diatas, maka untuk menghadapi quater life crisis terdapat 2 saran dari stosisme yakni;
1. Tenanglah, manusia selalu adaptif sesuai waktunya
Masih segar di dalam pikiran, ketika penulis tengah menghadapi masa kelulusan dan menuju perguruan tinggi. Masa itu memberikat efek khawatir yang tidak tergambarkan. Perasaan takut apakah dapat lulus pada PTN yang diinginkan, apakah dapat memperoleh beasiswa, apakah dapat menjalani studi dengan nilai yang memuaskan, dan lainnya selalu berkecamuk di pikiran. Namun, seiring berjalan waktu, semua kekhawatiran dan ketakutan hilang. Kini, penulis mendapati bahwa empat tahun sudah berlalu dan penulis telah lulus dari perguruan tinggi. Memang, terdapat kekhawatiran yang benar-benar terjadi. Akan tetapi, dalam prosesnya terdapat skenario yang juga tidak terduga sehingga dapat masa sulit dapat dilalui. Ini berarti, setiap kekhawatiran dan ketakutan yang kita alami hari ini, sebetulnya adalah hasil dari olah pikiran yang tidak pada tempatnya. Masa depan adalah sesuatu yang ada diluar jangkauan manusia. Namun, ketika masa itu datang, manusia akan selalu beradaptasi dengan sendirinya, sebagaimana penulis dan pembaca beradaptasi dengan segala hal yang ada pada hari ini. Dalam mengahadapi quater life crisis,individu harus menyadari bahwa segala kekhawatiran dimasa depan akan terselesaikan di tempatnya yaitu di masa depan. Setiap hari, memiliki penyelesaian tersendiri. Jadi, tenanglah..