Oleh Wahyu Pratama Nur Anggara
Penerima Manfaat BAKTI NUSA 9 Surabaya
Perkembangan organisasi internasional sebagai entitas penting dalam hubungan internasional memunculkan berbagai pendekatan dan teori untuk menjawab berbagai pertanyaan dalam memahami organisasi internasional. Meskipun demikian, pendekatan-pendekatan seperti neorealisme dan neoliberalisme sejatinya belum mampu mengakomodasi aksi otonomi organisasi internasional dalam tinjauan state-centric. Studi organisasi internasional pun kemudian membutuhkan teori yang mampu menjelaskan otonomi organisasional serta reaksi terhadap permintaan anggota pemerintah. Melalui hal tersebut perlunya memahami pendekatan principal-agent (P-A) yang muncul dan menjadi pendekatan alternatif dalam menjelaskan organisasi internasional. Oleh karena itu dalam memahami pendekatan principal-agent maka perlunya terlebi dahulu dalam memahami definisi, kemudian pendekatan ini dalam menjelaskan organisasi internasional, permasalahan hubungan organisasi internasional sebagai agen dan principal hingga hal yang menjadi kelebihan dan keterbatasan OI dalam pendekatan tersebut.
Secara historis, pendekatan P-A dapat ditinjau melalui periode awal munculnya, yakni pada tahun 1980-an ketika bank dunia sempat mengalami fenomena besar yang dikarenakan kegagalan projek finansial. Kegagalan ini berujung pada adanya bencana lingkungan di Brazil dan Indonesia. Keadaan ini berdampak tidak baik juga pada anggota dari bank dunia dan menjadi sorotan politik. Memahami keadaan ini banyak dari negara khususnya Amerika Serikat turun tangan dalam menyelesaikan krisis lingkungan tersebut. Akibat dari persitiwa ini bank dunia memperlihatkan indepedensinya terhadap anggota pemerintah selama hampir satu dekade. Perilaku dari bank dunia pun kemudian berubah, merespon dari meningkatnya permintaan dari anggota pemerintah. Keadaan anomali ini tidak sanggup dijelaskan oleh teori-teori dan pendekatan Hubungan Internasional. Hal inilah yang kemudian memicu para penstudi mencoba membangun teori atau pendekatan baru mengenai otonomi organisasi internasional dan hubungannya dengan permintaan anggota pemerintah. Pendekatan ini pun dikenal dengan pendekatan principal-agent (P-A) sebagai model dari organisasi internasional yang mana ketika anggota pemerintah memberdayakan agen organisasi internasional mereka dengan kedaulatan decision-making (Nielson & Tierney, 2003: 241-2).
Lebih lanjut, hubungan principal-agent digambarkan sebagai hubungan antara anggota pemerintah sebagai aktor yang memiliki kepentingan dan sumber daya dan organisasi internasional. Organisasi internasional dalam hal ini bertugas untuk menyelenggarakan berbagai aktivitas yang menguntungkan anggota pemerintah. Sederhananya, principal menetapkan sebuah tujuan dan agen yang akan mewujudkannya. Kegiatan yang dilakukan organisasi internasional sendiri dilaksanakan atas kontrak kerjasama. Hal tersebut merupakan inti dari hubungan dalam pendekatan principal-agent. Kontrak ini ditujukan oleh principal untuk mengikat agent agar dapat bergerak atas kehendak mereka. Kontrak ini juga digunakan untuk mencegah adanya hubungan yang tidak sehat antara principal dan agent, seperti perlawanan dari pihak agent kepada principal. Selain itu, dalam menyelesaikan tugasnya, organisasi internasional tidak akan banyak di intervensi oleh principal, kecuali dalam beberapa keadaan yang mendesak. Hal ini memungkinkan organisasi internasional untuk mewujudkan tujuan dengan cara mereka sendiri (Nielson & Tierney, 2003: 245).
Adapun organisasi internasional menurut pandangan principal-agent merupakan tempat bertemunya dua pihak yaitu principal dan agent. Organisasi internasional sendiri juga merupakan bagian dari agent itu tadi yang bertujuan untuk mencapai kepentingan principal. Hal ini pun dapat dipahami bahwa organisasi internasional dalam hal ini merupakan alat yang dipergunakan oleh anggota pemerintah (negara) dalam mencapai sebuah tujuan. Anggota pemerintah sendiri memberikan otoritas khusus kepada organisasi internasional dalam mengambil setiap keputusan secara mandiri. Namun, terdapat pengecualian bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada kepentingan dari setiap anggota pemerintah. Oleh karenanya, dalam setiap langkah kebijakan yang diambil oleh organisasi internasional akan dipantau oleh para principal. Pemahaman mengenai hubungan yang terjalin dalam organisasi internasional perlu dilihat melalui dua sisi, yakni organisasi internasional sebagai agen hubungan internasional, maupun pemerintah-pemerintah negara anggota sebagai penentu prinsip organisasi internasional (Nielson & Tierney, 2003: 245).
Secara umum, peran yang dimiliki pemerintah sebagai principal model dapat dilihat dari perannya dalam menentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai suatu organisasi internasional. Sedangkan peran yang dimiliki organisasi internasional sebagai agent model adalah sebagai pencapai tujuan, dengan adanya sedikit campur tangan di berbagai hubungan yang dijalin. Peran dari pemerintah negara sebagai agen dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dimiliki. Namun, peran dari masing-masing pihak, yakni principal model maupun agent model terkadang sangat jauh berbeda apabila dilihat dari hasil yang ada sehingga mekanisme dan perilaku institusi-institusi organisasi internasional perlu mendapat perhatian khusus.Hubungan atau relasi yang dijalin berdasarkan principal-agent model ini dapat dikatakan cukup sederhana, dimana satu pihak berperan sebagai principal model, atau penentu prinsip organisasi internasional, dan pihak lain berperan sebagai agen yang berusaha mencapai tujuan (Nielson & Tierney, 2003: 245).
Namun, permasalahan muncul disaat delegasi dengan pola tersebut menimbulkan adanya kompleksitas dalam menjalankan organisasi internasional (Nielson & Tierney, 2003: 247). Permasalahan yang muncul dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, permasalahan terkait agen-agen umum. Permasalahan ini seringkali berkaitan dengan prinsip yang dimiliki organisasi internasional, baik prinsip secara kolektif, maupun lebih dari satu prinsip yang terkandung didalamnya. Kedua, permasalahan terkait rantai atau rangkaian delegasi atau perwakilan masing-masing pihak. Adanya prinsip-prinsip yang mendekati tujuan utama seringkali membingungkan teori-teori terkait agen dalam organisasi internasional. Seiring berjalannya interaksi, hubungan antara prinsip yang dimiliki dan agen dalam organisasi internasional lantas semakin menjauh, dimana hal tersebut dapat berdampak pada biaya keanggotaan organisasi internasional yang tidak mendapat timbal balik dari kebijakan-kebijakan yang dibentuk (Nielson & Tierney, 2003: 249).
Selanjutnya, organisasi internasional menurut principal-agent seharusnya dibentuk sebagai agen independen yang memerankan peran aktif dan strategis. Kondisi yang independen dengan tingkat otoritas tertentu tergantung pada tujuan organisasinya dan bertindak bukan atas pengaruh politik lainnya. Organisasi internasional menurut principal-agent juga memiliki sifat independensi dalam pendelegasiannya karena bebas dari pengaruh politik internasional. Misalnya dalam prosedur pengambilan keputusan melalui voting dari beberapa negara atau badan yang membuat keputusan seperti mahkamah konstitusi. Hal tersebut sangat mempengaruhi kebijakan dan kepentingan organisasi internasional. Pendekatan pricipal-agent pun memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan. Kelemahannya ialah agen bisa saja menyembunyikan informasi karena bisa saja merugikan agen tapi dapat pula membantu principal. Kedua, agen bisa mengambil tindakan tanpa sepengetahuan principal, jika principal mengetahuinya akan menjatuhi sanksi kepada agen. Ketiga adanya Madison’s Dilemma yakni principal memiliki ketakutan akan otoritas yang diberikan kepada agen justru digunakan untuk melawan principal (Nielson & Tierney, 2003: 249).
Meskipun demikian, pendekatan principal–agent memiliki kelebihan sehingga organisasi internasional digunakan sebagai alat untuk mempertemukan negara-negara sebagai principal dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang mana dikerjakan oleh organisasi sebagai agen. Lebih lanjut, dalam menjalankan tujuan dan fungsi-fungsi akan memberikan keuntungan kepada negara anggotanya. Berdasarkan pada kelebihan ini, kelompok pemerintah (principal) kemudian akan memberikan wewenang kepada kelompok agen internasional dalam mengambil keputusan. Hubungan daripada principal–agent juga dapat melakukan observasi langsung terhadap kebijakan pemerintah untuk mengawasi terjadinya tindak kecurangan yang menyimpang dari mandat yang telah diberikan sebelumnya oleh principal. Adapun hal ini didasari oleh alasan bahwa pendekatan ini bersifat independen, oleh karena itu segala kemungkinan seperti kepentingan yang tersembunyi antara agen dan principal masih ada (Nielson & Tierney, 2003: 249).
Referensi :
Nielson, Daniel L., dan Tierney, Michael, 2003. Delegation to International Organizations: Agency Theory and World Bank Environmental Reform, dalam International Organization, Vol. 57, pp. 241-276.