“Mengabdi sebulan menginspirasi seumur hidup. Bersemangatlah untuk kerja-kerja keabadian.” (Ka Wahyu, Manajer BAKTI NUSA Bogor)
Begitulah kiranya nasihat manager BAKTI NUSA regional Bogor saat kami akan berangkat ke beberapa daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Terdepan) Indonesia. Sebagai penerima manfaat beasiswa aktivis nusantara (BAKTI NUSA) kami mendapatkan berbagai bentuk pembinaan. Salah satunya adalah Marching For Boundary (MFB), dimana kami melakukan pengabdian masyarakat selama satu bulan dan dalam satu tim hanya ada 2 sampai 3 orang saja. Tak ku sangka kaki ku akan dilangkahkan hingga ke Malaka, sebuah kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Belu di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah kota kecil yang masih belajar mandiri dengan sejuta potensi alam dan kebudayaannya.
Sebelum kami berangkat kami diberikan pembekalan berupa tujuan program hingga persentasi program yang akan dibawa. Pada saat itu, salah satu pematerinya mengatakan bahwa tujuan program adalah menguatkan komitmen kepemimpinan kami selaku aktivis kampus. Tak hanya itu, beliau juga mengatakan bahwa tak jarang MFB menjadi perjalanan spiritual. Jika kata Buya Hamka, kita akan mendapatkan apa yang kita niatkan. Saat aku menulis artikel ini, perjalanan ku di Malaka pun telah selesai aku laksanakan. Benar sudah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka dan pemateri saat pembekalan, ada banyak sekali hikmah yang ku dapat selama MFB.
Pengalaman terjun ke daerah 3T dalam program MFB tentu berbeda dengan program KKN dari kampus. MFB merupan program dari Dompet Dhuafa (DD) Pendidikan yang asal dananya adalah dana zakat. Sehingga dana ummat yang telah mengantarkanku ke Malaka, NTT harus dimanfaatkan dengan mengembalikannya ke ummat lewat program-program yang kami rencanakan. Di lapangan banyak hal baru yang aku temukan, terutama kisah-kisah para muallaf di pelosok tanah Malaka dan kehidupan sebagai minoritas. Kami dihadapkan dengan potret kemiskinan, sumber daya manusia yang belum terlatih, sumber daya alam yang belum produktif, hingga kualitas generasi mudanya.
Umat muslim di Malaka menjadi minoritas di tengah-tengah masyarakat katolik dan protestan. Dari sekian banyak muslim di Malaka, kebanyakan adalah muslim yang berasal dari Sulawesi, Bima, dan Jawa. Muslim yang berasal dari suku asli Malaka kebanyakan adalah muallaf dari hasil pernikahan, dipiara, dan ada juga yang masuk Islam karena melihat kebaikan muslim disana. Jika dilihat, muslim lokal kebanyakan tinggal di pelosok Malaka dan bekerja sebagai nelayan atau petani. Hingga rasanya saat kami berkunjung ke Weoe, Metamauk, Weliman, dan Wederok kondisi pemahaman Islam mereka sangat perlu untuk dibantu. Di Wederok hanya ada 2 orang Islam saja, kakak beradik yang tinggal bersama nenek yang masih katolik dan yatim piatu. Sedangkan di Weliman, hanya ada sepasang kakek nenek yang sudah renta saja. Sang kakek tinggal di sebuah gubuk yang bertetangga dengan kandang babi dan anaknya yang masih beragama Katolik. Di Weoe dan Metamauk masing-masing ada 7 KK dan 18 KK.
Di sisi lain, kondisi pendidikan anak muda disini juga perlu untuk dibantu agar tidak jauh dari Islam. Di Malaka baru memiliki satu sekolah Islam saja, yaitu sekolah yang didirikan atas kebutuhan muslim perantau untuk pendidikan anak-anak mereka. Pernah mendengar hasil indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) dari Kemenag? Dimana Jakarta menempati posisi ke 27 dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jakarta merasa hasil surveinya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Jika katanya NTT menempati posisi kedua teratas, maka aku ingin mengatakan fakta lapangan yang aku temukan selama mengikuti MFB, nanti pembaca silahkan simpulkan sendiri.
Fakta di lapangan ini berkaitan erat urgensi didirikannya sekolah Islam di Malaka. Saya merasa sedih dan miris mendengar adik-adik yang pernah sekolah negeri ataupun katolik karena tidak pilihan sekolah lainnya. Mereka dihadapkan dengan pilihan belajar mata pelajaran agama non Islam atau tinggal kelas. Terkadang mereka juga ada latihan menyanyi yang bukan saja lagu-lagu nasional tapi juga lagu-lagu rohani mereka. Ada juga adik yang disuruh untuk gotong royong membersihkan gereja atau menjadi pagar ayu untuk menyemarakkan hari keagamaan mereka. Jika tidak dilakukan maka ada saja konsekuensi yang mereka dapatkan, misalnya berdiri dengan lutut dalam rentang waktu yang cukup melelahkan hingga ancaman nilai yang dikurangi. Adik-adik perempuan disini juga mendapatkan kalimat-kalimat diskriminasi yang berhubungan dengan kerudung. Maka tak heran juga mereka lebih hafal lagu rohani ketimbang surah Al-Fatihah. Sedihnya, mereka mendapatkan perlakuan itu seorang tenaga pengajar yang sudah pernah dididik hingga tingkat sarjana. Ahh…ternyata seorang pendidik pun tidak paham dan tidak terdidik dengan baik. Ini baru fakta yang ditemukan di kota Betun, bagaimana lagi kondisi pendidikan agama adik-adik di pelosok Malaka, ya Allah lindungi mereka.
Saat ini sekolah Islam di kota Betun dibawah naungan yayasan Al-Qadr dengan tiga tingkatan sekolah, RA, MI, dan MTs. Kondisi infrastruktur sekolah tahap demi tahap telah diperbaiki agar para siswa/i nyaman menuntut ilmu. Gedung dan tenaga pengajar di RA dan MI sudah lebih baik dibandingkan MTs yang baru saja dirintis. Tenaga Pengajar MTs masih sangat perlu dibantu karena masih kurang. Gaji guru juga rasanya tidak sebanding dengan usaha dan pengorbanan yang mereka perjuangkan. Total guru MTs sekitar 5 orang saja dengan jumlah siswa/i 42 orang. Siswa/i di sekolah ini kebanyakan dari kota Betun dan sekitarnya, sebagian lagi ada siswa/i yang rumahnya jauh dari sekolah. Mereka akan ditampung di asrama sekolah, dimana asrama putra berada di lantai 2 masjid dan asrama putri berada di belakang gedung MI. Kondisinya asramanya kurang memadai dan belum adanya pembina asrama. Padahal di umur seperti mereka masih dibutuhkan adanya binaan dari orangtua. Jika ingin bertanya lebih terkait asramanya, boleh hubungi saya. Karena sejujurnya, kondisi asrama masih sangat perlu dibantu dan diperhatikan.
Tak hanya itu, persoalan ekonomi dan kemiskinan masyarakat juga terpampang jelas. Kondisi pendidikan yang lost of adab kalau kata syeikh Al-attas, pemahaman agama yang masih rendah, kondisi ekonomi yang juga dibawah, kualitas SDM yang belum terasah, konflik internal dalam jamaah, semua ada di masyarakat. Terpampang jelas sudah ruang kontribusi dan pengabdian wahai kita para mahasiswa yang katanya suka mengabdi. Mari berangkat dari kampus, segera tinggalkan kampus dengan predikat kelulusan yang baik. Kemudian masuklah ke masyarakat dengan segudang ruang kontribusi untukmu wahai sarjana. Semua permasalahan ummat di atas adalah tanggung jawab bersama, rasanya geram dengan diri sendiri, apa yang telah ku lakukan untuk ummat ini? Semoga ku bukan mahasiswa yang jagonya hanya di kampus tapi apatis di masyarakat.
Sungguh masyarakat membutuhkan kita, para sarjana yang mau bergerak. Bukan hanya lulus menerima ijazah kemudian mengejar hidup enak sendiri. Para sarjana yang mau bergerak bukan hanya berharap gaji fresh graduate 8 juta, bukan. Mana lulusan IPB, UI, UGM, UNPAD, ITB, dll? Mana? Yang katanya hebat dan prestatif? Andaikan saja setiap mereka kembali ke daerah dan berjuang di ruang kontribusi masing-masing untuk kebaikan ummat. Mari bergerak untuk masyarakat bukan hanya sekedar mengejar karir dunia. Orang muda adalah pemeran penting bagi berdirinya sebuah bangsa. Pemuda harus dibangkitkan semangatnya untuk menjadi relawan sosial, untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan dengan program-program pemberdayaan dan sekaligus membongkar tuntas penyebab kemiskin (Guru Agung, 2018). Pesan beberapa pembicara pada saat Strategic Leadership Training untuk BAKTI NUSA angkatan 9,
“Hidup kamu mau diisi dengan apa? temukan passion anda untuk kebermanfaatan ummat.”
– Ibu Maya
“Saya sangat merindukan anak-anak muda yang tidak tidur terlelap karena memikirkan ummat. Tidak cukup dengan gelisah, tapi ada action juga. Setelah itu akan ada resiko yang hadir, maka hadapilah. Bahkan seekor burung pun mengemban amanah dakwah, burung hud-hud.”
– pak Syafiie
“Kepemimpinan Dompet Dhuafa adalah misi untuk melayani kemanusiaan yang adil, beradab, dan berperadaban.”
– Guru Agung
Tulisan ini pun saya tulis sebagai pengingat saya kelak pada saat memasuki dunia paska kampus. Pertanyaan dan pernyataan diatas saya peruntukkan untuk saya pribadi dan pembaca jika berkenan. Semoga kita menjadi pemuda yang bermanfaat untuk ummat serta mau bergerak bersama dalam kebaikan. Berikut cuplikan kisah kami (Fira dan Farida) saat MFB di Malaka, NTT:
FARIDA UTAMI RITONGA
PM BAKTI NUSA 9 BOGOR
#beasiswa #beasiswaaktivis #beasiswaaktivisnusantara #baktinusa #ddpendidikan #pemimpin #leaders #indonesia
#marchingforboundary #mfb #merawatindonesia