(Oleh: Aditya Nurullahi Purnama, PM BA 8 Semarang)
Ramadhan adalah bulan perjuangan. Pada bulan ini kita dididik untuk belajar berjuang dalam menahan segala wujud kesenangan duniawi. Tidak hanya sekadar menahan makan dan minum tetapi puasa turut mengatur aktivitas sosial kita sehari-hari, dimana kita dilatih untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam bertutur maupun berlaku.
Sungguh bagi penulis pribadi, hal tersebut adalah hal yang sulit. Begitupun bagi sebagian umat muslim yang lain yang sedang dan akan terus belajar tentang keimanannya. Namun, tantangan-tantangan yang kita hadapi tersebut perlu kiranya kita maknai bukan sebagai kekangan, tetapi sebagai sarana yang Allah anugerahkan bagi kita untuk meningkatkan derajat keimanan kita di hadapan-Nya. Jika kita sebagai umat muslim tidak mampu bertahan dalam melalui berbagai ujian kesulitan selama Ramadhan, maka sulit bagi kita bisa mencicipi manisnya kemenangan pada penghujung Ramadhan nanti.
Dalam panorama sejarah umat Islam, Kemenangan dan bulan Ramadhan adalah dua hal yang saling bertaut satu sama lain. Tepatnya pada permulaan tahun ke-2 Hijriyah ketika perintah puasa pertama kali diturunkan. Bertempat di sekitar 155 km arah barat daya Kota Madinah, sebuah padang gersang yang dikelilingi gunung-gunung tinggi menjadi saksi perjumpaan dua pasukan yang membawa misi yang haq dan misi yang batil. Bahkan dalam As Sirah An Nabawiyah dijelaskan bahwa kedua pasukan tersebut terdiri dari pasukan musyrikin Mekkah dengan kekuatan tempur sejumlah 1.000 pasukan berhadapan dengan pasukan muslimin Madinah dengan kekuatan tempur sejumlah 319 pasukan. Jika kita menggunakan logika manusia yang sederhana, adalah hal mustahil bagi pasukan muslim kala itu untuk bertahan, apalagi memenangkan pertempuran yang tidak imbang tersebut. Dengan perbandingan 3:1 adalah musykil bagi pasukan kecil mengalahkan pasukan besar.
Namun logika Tuhan nyatanya tidak bekerja seperti itu.
Pertempuran pun berkecamuk. Pekik takbir dan hunus pedang berkelebat meluluhlantahkan barisan kaum musyrikin. Di dalam tendanya Muhammad tidak hentinya memanjatkan doa hingga akhirnya pertolongan Allah datang dari arah yang tidak disangka-disangka. Sebagaimana tercatat dalam Q.S. Al Anfaal ayat 9, seribu malaikat terjun dari langit secara berturut memberikan bantuan kepada kaum muslimin dalam menghabisi barisan kaum musyrikin,
“Nasrumminallahu wa Fathun Qarib..”
(Pertolongan datang dari Allah dan kemenangan itu dekat, Q.S. Ash-Shaff 10-12).
Pertempuran pun berhasil dimenangkan oleh kaum muslimin dengan gemilang. Dan sejarah mencatat pertempuran yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan ini sebagai Perang Badar. Dan sejarah pun mencatat bahwa kemenangan umat muslim pada perang badar di bulan Ramadhan tersebut sebagai titik awal tersebarnya Islam ke seantero bumi.
Selesai dengan peristiwa di Jazirah Arab, mari kita bergerak maju dalam lintasan waktu sejarah. Kali ini penulis mengajak pembaca sekalian untuk tiba pada tanggal 9 Ramadhan 1364 H atau 17 Agutus tahun 1945. Bertempat di rumah seorang saudagar dari Yaman, Syekh Faradj Bin Martak yang mewakafkan kediamannya sebagai tempat untuk dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Indonesia atau Nusantara kala itu telah melalui pertarungan yang hebat selama 300 tahun dalam upayanya merebut takdir baik sebagai sebuah bangsa merdeka. Hingga tibalah mereka pada satu momentum yang tepat, 9 Ramadhan 1364 H atau 17 Agustus 1945, sebuah momentum dimana mereka berani melantangkan kehendak untuk MERDEKA.
Sesungguhnya proklamasi kala itu tidak bisa sebatas dimaknai sebagai sebuah pernyataan merdeka dalam kerangka formil semata. Ada spirit yang hidup di dalamnya;
Adalah pancaran semangat bangsa Indonesia kala itu untuk bersikap berani melawan segala bentuk penjajahan.
Adalah pancaran semangat bangsa Indonesia kala itu, bersumber dari sanubari rakyat, yang menghendaki kebebasan sebuah bangsa dari penindasan.
Dan pertama serta utama bagi umat muslim Indonesia kala itu, spirit proklamasi dimaknai sebagai kemerdekaan seorang manusia dari penghambaan kepada manusia lain menuju penghambaan manusia kepada Allah semata.
Jika kita tadaburi dua peristiwa sejarah di atas bisa kita peroleh bahwa Ramadhan menjadi titik balik yang mengubah situasi sejarah kala itu. Ramadhan menjadi energi yang membawa manusia yang hidup pada zaman itu untuk melakukan loncatan perubahan. Mereka tidak melihat Ramadhan sebagai hambatan yang membuat mereka lesu bahkan mengendurkan perjuangan. Ramadhan sejatinya menjadi sumber kekuatan bagi manusia kala itu untuk meningkatkan kerja keras, keberanian, dan kepasrahan yang mutlak pada Allah. Berbekal dengan kerja keras yang tiada putus dan keyakinan yang lurus akhirnya Allah ridho terhadap mereka untuk menjemput kemenangan yang lama dinantikan.
Sebagai penutup, Allah telah menganugerahkan banyak kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri maupun amal baik selama bulan Ramadhan ini. Mari kita menjemput kemenangan dengan versi kita masing-masing. Kemenangan dalam hal ibadah, kemenangan dalam hal akademik, dan hal lain. Mari jadikan Ramadhan tahun ini sebagai momentum kemenangan diri kita dalam mengalahkan sisi buruk kita di masa lalu dengan konsisten melakukan introspeksi diri dan menambah catatan amal baik dengan ilmu dan iman yang mendalam.
Sangat disayangkan ketika Ramadhan tahun ini berlalu tanpa ada banyak perbaikan maupun kemajuan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mari tengok sejenak, mereka yang tahun lalu masih bersama kita, selalu mengharapkan bisa terulangnya kesempatan yang sama. Namun hal itu mustahil dilakukan.
“Sesungguhnya sejarah adalah cara kita melihat masa depan agar tidak mengulang kesalahan di masa lalu”