Aku menghentikan langkahku, deburan ombak serta ramahnya sentuhan angin seolah memaksaku untuk berhenti. Aku mendongakkan kepala, pandanganku tertuju pada apa yang ada di tengah sana. Di bawah hamburan teriknya sinar matahari bulan januari, di atas lembaran-lembaran ombak lautan selat malaka. Berdiri kokoh sebuah kepingan kecil dari peradaban Pulau Sumatera. Memisahkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan di daratan. Tak tergoyahkan oleh dinginnya angin malam yang berhembus dari semenanjung Malaya. Aku benar-benar dibuat takjub dengan apa yang sedang kulihat ini.
Aku tau seharusnya ini adalah tulisan opini, dan benar, tulisan ini adalah opiniku, tapi kubungkus dengan kalimat-kalimat non formal dan semenyenangkan mungkin. Dari tulisan ini, aku akan menceritakan pada dunia tentang apa yang kulihat, apa yang kudengar, dan apa yang sudah kujalani.
Aku ingin dunia tahu, bahwa di teluk selat malaka, berdiri sepotong kecil peradaban manusia yang mengasingkan diri dari kerasnya persaingan hidup di daratan. Di sini mereka lebih memilih untuk menyelam ke dasar laut, berdamai dengan alam, menjala beberapa ekor ikan, atau menangkap satu dua ekor kepiting bakau, hanya demi untuk menyelesaikan rasa lapar hari ini.
Dan, kalian tahu siapa yang melakukan itu? Bukan orang dewasa yang sudah mahir berenang dan pandai menjaga diri, aku mungkin tidak akan membuat tulisan ini hanya karena itu. Tapi mirisnya, yang melakukannya adalah bocah-bocah yang seharusnya masih menikmati masa kanak-kanak mereka.
Bagaimana mungkin aku tidak menuliskannya, melihat anak-anak usia 5 sampai 10 tahun sudah harus menghadapi kerasnya kenyataan hidup, harus bertaruh nyawa demi untuk satu kilo beras dan dua butir telur. Dan kalian tahu? Yang membuat hatiku semakin ter iris, melihat mereka tertawa lepas ketika sudah berhasil mendapatkan semua itu, satu kilo beras dan dua butir telur, bahagia mereka sesederhana itu.
Aku sudah menjejakkan kakiku di kampung ini ketika melihat semua pemandangan itu. Panasnya matahari sudah tidak lagi kuhiraukan, pemandangan seperti ini sudah cukup memberikan keteduhan bagiku.
Ohh ya, mengapa aku memberikan judul tulisan ini dengan judul “Rakyat Kecil”. Kondisi geografis kampung ini bisa terbilang tidak biasa, untuk sampai ke sini, kita harus menyebrang ke tengah laut dengan menaiki kapal motor dan memakan waktu sekitar 15 menit dari bibir pantai.
Di belakang kampung itu, mengakar dengan rimbun ekosistem hutan mangrove dan seolah melindugi kampung itu dari beringasnya hantaman ombak di malam hari. Bila kita menolehkan pandangan ke kiri, kita akan melihat gedung-gedung berdiri kokoh, tidak hanya itu, kau juga akan melihat kapal-kapal besar dan megah berlalu lalang, yang bila saat melaju, gelombang laut yang ditimbulkannya akan memberikan efek tsunami kecil ke area di sekitarnya.
Tapi walaupun begitu, walaupun kampung ini dikelilingi lautan yang mengandung sumber daya alam yang melimpah, tidak hanya itu, kapal-kapal besar nan megah juga tak luput berlalu lalang, masyarakat kampung ini masih jauh dari kata sejahtera. Seperti yang kubilang sebelumnya, kebahagiaan mereka sederhana, hanya untuk menyelesaikan rasa lapar hari ini.
Sang Ayah akan sangat bahagia bila pulang membawa sekantung kecil beras dan beberapa butir telur dengan beberapa ekor ikan asin. Lalu sang Ibu dengan lapang hati menerima semua itu lalu menyulapnya menjadi makanan selezat mungkin di dapur, dan anak-anaknya akan melahap makanan itu dengan riang gembira tanpa keluh dan kesah, tanpa bertanya kenapa lauk hari ini sama dengan lauk kemarin, dan tidak menuntut pada apa yang akan dimakan esok hari.
Mengenal kampung ini membuatku memiliki rasa syukur yang teramat sangat, teringat akan keluh dan kesah yang mungkin aku ucapkan tiap hari baik secara sadar maupun tidak, tentang jalanan yang macat, kipas angin yang mati, kamar kos yang sumpek, mengantri saat membeli nasi padang, kang parkir yang tiba-tiba muncul, serta toilet umum yang tidak bersih namun aku harus membayar 2000.
Cerita ini belum selesai teman-teman, Insya Allah ke depannya, aku akan sering menjejakkan kaki di kampung ini, aku berjanji akan membawa dan menggerakkan ratusan mahasiswa untuk mengabdikan diri mereka di kampung ini. Sepulang dari sini, aku akan menceritakan ini kepada teman-teman yang satu visi denganku, aku akan membawa kabar ini hingga sampai ke telinga orang-orang hebat di kampusku. Aku berjanji…
Ditulis di bulan januari di tahun 2022 Oleh seorang mahasiswa biasa…