Post-Strukturalisme & Post-Kolonialisme: Sebuah Konstruksi dan Upaya Emansipasi Manusia dalam Hubungan Internasional

Teori dalam Hubungan Internasional semakin berkembang seiring berjalannya dinamika interaksi internasional. Sejalan dengan dinamika yang terjadi pada duia internasional, studi Hubungan Internasional pun mengembangkan kajiannya, termasuk melahirkan teori-teori baru. Salah satu teori yang muncul di era kontemporer adalah teori post-strukturalisme dan teori post-kolonialisme. Kedua perspektif tersebut merupakan salah satu dari perspektif-perspektif alternatif, yakni merupakan hasil dari teori anti-mainstream dalam Hubungan Internasional. Teori post-strukturalisme menekankan bahwa, perlunya suatu kajian yang lebih mendalam dan kritik yang berkelanjutan dalam Hubungan Internasional, sementara teori post-kolonialisme menekankan pada bagaimana Hubungan Internasional berkembang dan berubah semenjak era kolonialisme berakhir. Maka dari itu, untuk memahami lebih jauh mengenai dua teori tersebut, maka perlunya mengkaji lebih dalam mengenai asal mula, asumsi dasarnya, argument, tema utama, hingga kritik yang muncul terhadap teori ini.

Pada dasanrnya post-strukturalisme berkembang dalam ilmu Hubungan Internasional sejak tahun 1980 melalui sejumlah tokohnya, yaitu Richard Ashley, James der Derian, Michael Saphiro dan R.B.J.Walker. Posstrukturalisme merupakan teori yang lahir pada situasi ketidakadilan serta ketidakmerataan pemikiran dalam Hubungan Internasional. Post-strukturalis pada awalnya lahir sebagai hasil dari perdebatan panjang mengenai kritik kaum realis dan neorealis tentang bagaimana teori tradisional membentuk dan menyusun keadaan politik internasional sejauh ini (Campbell, 2007). Selain itu, Post-strukturalisme berfokus untuk mengkritisi hal-hal bersifat universal dan metodologis dibanding substansif. Teori ini terus mengkritisi teori tradisional yang ada dan mempertanyakannya. Posstrukturalime adalah sebuah critical attitude yang mengkritisi dan mencari alternatif perubahan terhadap teori yang telah ada dan sedang berkembang (Campbell, 2007). Tujuan utama dari teori ini menurut Campbell (2007), yakni menawarkan pengkajian ulang historikal, teoritikal, dan politikal dari fokus perspektif tradisional yang ada agar tidak terjebak dalam suatu belenggu atau penjara pemikiran dan mampu memberikan solusi alternatif dari teori tradisional yang dalam beberapa kasus telah dianggap tidak relevan lagi.

Setidaknya terdapat empat asumsi dasar post-strukturalisme. Pertama, post-strukturalisme memiliki kritik terhadap segala sesuatu; yakni terus mempertanyakan dan mengkritisi segala sesuatu dalam teori-teori yang telah ada. Kedua, posstrukturalisme memandang kritik sebagai hal positif dalam bentuk usaha mengejar alternatif. Hal yang patut diperhatikan, yakni ketika post-strukturalisme tidak menolak sepenuhnya teori yang telah ada, tetapi terus mengkritisi teori yang telah ada dan berusaha mencari perubahan dan alternatif yang ada sehingga memungkinkan untuk menjawab permasalahan yang belum dapat terjawab oleh teori tersebut. Ketiga, peran interpretasi dan representasi tidak terhindarkan dan sangat diperlukan dalam politik internasional. layaknya konstruktivisme, posstrukturalisme percaya fakta sosial yang ada bukan bersifat given, melainkan suatu hasil interpretasi dan representasi dari manusia sendiri. Keempat, post-strukturalisme membahas mengenai subjektivitas ilmu pengetahuan. Post-strukturalisme menolak hal yang muncul berdasarkan fakta dari pengetahuan dengan menolak adanya pandangan mendasar terhadap penelitian yang memisahkan subjek dan objek, layaknya post-positivisme, post-strukturalisme yang berkeyakinan bahwa percaya terhadap subjek dan objek dalam Hubungan Internasional sejatinya tidak dapat dipisahkan (Ashley, 1996).

Selain itu, kondisi dunia pada akhir era akhir perang dunia dan awal perang dingin yang juga disebut sebagai the end of colonialization membawa dampak signifikan terhadap studi Hubungan Internasional. Permasalahan liberasi negara-negara terjajah menjadi perhatian dari studi Hubungan Internasional dalam bentuk simbolisasi praktik penjajahan sebagai salah satu praktik hubungan internasional secara luas. Post-kolonialisme lalu muncul pada 1960an dengan menyajikan perspektif baru, yaitu dari negara-negara yang termarginalkan akibat efek dari kolonialisasi yang pernah terjadi di dunia ini. Menurut kaum post-kolonialis, teori-teori yang sudah ada dalam studi Hubungan Internasional terlalu western-centric. Poskolonialisme meyakini bahwa kolonialisme memunculkan pandangan bahwa negara-negara Dunia Ketiga tidak akan bisa maju dan hanya negara-negara Dunia Pertama-lah yang mampu menjadi pemimpin dunia (Wardhani, 2016).

Maka dari itu, muncul post-kolonialisme yang lahir pasca era kolonialisme pada tahun 1960an, munculnya teori ini bersamaan dengan terbitnya buku karya Frantz Fanon, yang merupakan tokoh anti-kolonial terhadap Algerian yang dijajah Perancis. Buku tersebut berjudul The Wretched of the Earth yang menolak kolonialisme serta menginspirasi lahirnya gerakan anti-kolonialisme (Grovogui, 2007). Sama seperti pos-strukturalisme, perspektif ini mengkritik perspektif tradisional yang cenderung mengarah pada kolonialisme dengan asumsi-asumsinya yang berfokus pada power, negara, dan politik. Beberapa tokoh post-kolonialisme yang cukup berpengaruh adalah Judith Butler, Siba N. Grovohui, Toni Morrison, dan Alice Walker. Melalui pendektannya, post-kolonialisme juga menolak modernitas yang lahir setelah masa Renaissance. Era pencerahan tersebut memang telah memberikan banyak manfaat bagi perkembangan kehidupan, pola pikir manusia menjadi semakin modern. Namun di sisi lain pola pikir yang semakin berkembang tersebut disalahgunakan untuk mengeksploitasi daerah-daerah yang pola pikirnya belum terlalu maju, atau dengan kata lain semakin banyak penjajahan yang terjadi (Grovogui, 2007).

Berbagai gap mulai terbentuk antara negara yang pola pikirnya lebih maju dan negara-negara yang belum berkembang yang cenderung menjadi negara jajahan. Maka dari itu, muncul istilah the man dan the natives. The man dianalogikan sebagai bangsa barat yang dengan berbagai kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki mampu menjajah dan menduduki negara-negara yang lebih lemah. Bangsa barat memposisikan dirinya sendiri sebagai bangsa besar yang berhak melakukan kolonialisasi terhadap the natives. Kedua istilah tersebut tidak lain adalah sebutan lain bangsa penjajah dan bangsa yang terjajah. The man merujuk pada golongan barat yang notabene adalah ras kaukasoid. Ras tersebut dianggap ciptaan terbaik yang memiliki talenta dan kekuasaan sehingga hal itu membuat mereka seolah berhak untuk melakukan ekspansi dan kolonisasi terhadap bangsa lain yang mereka anggap sebagai the natives. (Grovogui, 2007).

Melalui hal tersebut dapat dilihat bahwa, asumsi dari post-kolonialisme adalah adanya identitiy, power, dan struggle. Pos-kolonialisme melihat bahwa power cenderung dimiliki oleh negara dunia pertama atau disebut juga dengan negara maju, dengan penggunaan teknologinya untuk menginvansi negara dunia ketiga. Sementara, identity menurut post-kolonialisme sendiri berfokus pada adanya kelas-kelas negara di dunia, antara penjajah dan negara terjajah, yang kemudian menghasilkan negara dunia pertama, kedua, maupun ketiga. Selain itu, struggle merupakan usaha yang disuarakan penstudi post-kolonialisme dengan berfokus pada self-determination dan dekolonisasi guna meruntuhkan penjajahan atau kolonialisme yang dengan demikian post-kolonialisme bersifat emansipatoris. Beberapa kritikan muncul terhadap kaum pos-kolonialisme karena tidak ada kontribusi yang begitu jelas terhadap asumsi dasar yang diacungkan kaum post-kolonialisme terhadap studi Hubungan Internasional. Kritik lainnya yang dihadapi pos-kolonialisme adalah kenyataan bahwa pos-kolonialisme adalah produk dari barat, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam post-kolonialisme tentu akan bersinggungan dengan budaya barat (Grovogui, 2007).

 

Referensi:

Ashley, Richard, 1996. The achievements of post-structuralism, in; Steve Smith, Ken Booth & Marysia Zalewski (eds.) International Theory: Positivism and Beyond, Cambridge University Press, pp. 240-253.

Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 203-228.

Grovogui, SIba N, 2007. Postcolonialism, dalam: Tim Dunne, Mila Kurki & Steve Smith (eds.) ” International Relations Theories” Oxford University Press, pp. 229-246.

Wardhani, Baiq. 2016. Postcolonialism. Disampaikan pada kuliah Teori Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga. 2 Juni 2016.