Awal tahun 2020, petani kembali mengalami kondisi yang tidak baik, hingga berpengaruh terhadap kegiatan budidaya pertanian. Isu itu ialah isu kelangkaan pupuk non subisidi, yang tentunya sangat dikeluhkan terutama oleh petani kecil, yang sangat mengandalkan pupuk subsidi dalam kegiatan pertanian. Solusi instan dalam permasalahan ini ialah membeli pupuk non subsidi yang harganya bisa 25-30% lebih mahal dari pupuk subsidi. Tapi, tentu sebagai petani yang sangat memperhitungkan segala input, solusi ini tak menjadi pilihan, justru solusi yang dilakukan ialah mengurangi masukan pupuk sehingga akan berdampang kepada hasil panen yang menurun.
Kelangkaan pupuk ini terjadi pada masa yang tidak tepat, dikarenakan di bulan januari ini, mayoritas petani sedang memulai musim tanam pertanama, yang sebenarnya sudah telat dikarenakan keterlambatan hadirnya masa musim penghujan. Kondisi ini akan berdampak banyak, bahkan juga dapat berdampak signifikan terhadap kondisi ketahanan pangan Indonesia.
Sebagai Mahasiswa pertanian yang saat ini sedang melakukan penelitian terhadap pertanain organik di Kabupaten Karanganyar, isu kelangkaan pupuk tak menjadi masalah penting bagi petani beras organik, dikarenakan input petani beras organik, menggunakan pupuk organik buatan dari kotoran sapi sebagai input utamanya, tentunya hal ini menjadikan petani lebih ‘merdeka’ dalam mengatasi kondisi kelangkaan pupuk ini. Lebih lanjut, saya juga diceritakan, bagaimana akhirnya petani bisa ketergantungan terhadap pupuk kimia. Hal ini disebabkan karena adanya peralihan menggunakan input bahan kimia sejak adanya kebijakan revolusi hijau di tahun 1970an. Sejak saat itu, petani tak lagi mementingkan ternak sebagai sarana produksi pupuk alami, namun lebih memilih untuk membeli pupuk kimia di toko pertanian. Setelah diteliti, dampak negative dari pupuk kimia ialah, tanah menjadi keras, dan semakin adiktif terhadap kebutuhan unsur kimia instant. Kondisi ketergantungan dan rusaknya tanah ini, justrus ditanggapi oleh inisiator petani organik di Kecamatan Mojogedang bernama Mbah Paiman untuk beralih ke pertanian ‘nenek moyang’ yang semua mengacu kembali kepada alam.
Pemerintah sejak tahun 2014 mulai kembali serius untuk menjadikan pertanian organik sebagai sistem pertanian semestinya. Hingga mulai saat itu, dibuatlah kawasan-kawasan pertanian organik termasuk di Kabupaten Karanganyar. Setelah kebijakan ini diterapkan dan dilakukan dalam beberapa projek di Kabupaten karanganyar, petani justrus merasakan dampak positif, terutama kaitannya dengan efisiensi produksi dan keramahan lingkungan. Tentunya keberhasilan ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk terus serius dalam menerapkan kebijakan pertanian organik, agar petani tak terlalu bergantung tehadap pupuk subsidi pemerintah.