Perang dan Perdamaian Internasional Dalam Perspektif Liberalisme

Dalam studi Hubungan Internasional, menghentikan perang adalah alasan awal mengapa kerjasama antar negara terbentuk. Salah satu perspektif yang populer dalam menjelaskan perang dan kerjasama dalam studi Hubungan Internasional adalah Liberalisme. Menurut Liberalisme, untuk mewujudkan perdamaian internasional, manusia harus bekerja sama satu sama lain. Namun menarik untuk dicatat, liberalisme muncul sebagai sebuah perspektif hubungan internasional pasca perang klasik (mulai dari perang dari zaman kerajaan hingga perang dunia 1). Ini berarti, Liberal mengakui dan menyadari eksistensi perang, konflik, dan kecurigaan antar negera di dunia. Namun demikian, liberal tetap memiliki asumsi dasar bahwa dalam politik internasional, kerjasama masih mungkin terjadi. Bagaimana bisa?  berikut penjelasan penulis

Liberal Menganalis Konflik Lebih Dalam Dari Hanya Sekedar Apa yang Terlihat

Bagi pemikir liberal, perang memang suatu realitas (kenyataan) yang terjadi di dunia. Namun alih-alih menyimpulkan perang sebagai keniscayaan dari sifat manusia yang cenderung berkonflik, yang lebih penting untuk dianalisis adalah “mengapa perang bisa terjadi?”. Liberal menganalisis perang dilakukan manusia karena tidak ada pilihan lain. Dahulu, semua kerajaan dan negara hidup dengan mengandalkan sumber daya daerah teritorialnya sendiri. Ada yang hidup dengan keunggulan yaitu pertanian, ada kerajaan yang hidup mengandalkan sistem peternakan, dll. Namun, seiring berkembangnya kebutuhan, maka kerajaan perlu mengekspansi daerah lain untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan yang tidak tersedia di daerahnya. Sehingga di dunia terjadi penjelajahan besar-besaran dan kolonialisme (penjajahan) seperti yang dilakukan Eropa ke Indonesia dengan motif awal yaitu mencari hasil bumi yang sulit mereka dapatkan di Eropa. Kolonialisme kemudian menjadi satu-satunya solusi pada masa itu karena masing-masing kerajaan ataupun negara belum saling percaya dan melakukan perdagangan internasional.

Lebih lanjut, liberal menganalisis bahwa tujuan dari semua kolonialisme sebenarnya adalah “baik”. Karena pada intinya, kololinalisme dilakukan berlandaskan pada keinginan kerajaan atau negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan kata lain, kolonialisme dimaksudkan untuk “membantu” manusia, namun dengan cara yang tidak tepat akibat belum adanya kepercayaan atau kerjasama global. Akibatnya, kolonialisme mendapat perlawanan dari daerah yang dijajah, sehingga menciptakan konflik atau peperangan. Berangkat dari analisis diatas, liberal kemudian membuat asumsi  bahwa pada dasarnya sifat manusia adalah baik. Bagi liberal, walaupun perang dan konflik nyata terjadi, menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk egois dan cenderung berkonflik merupakan suatu kekeliruan. Karena latar belakang kolonialisme dan perang sebenarnya “relatif baik” yaitu melindungi  kepentingan rakyat yang juga adalah  manusia. Suatu poin yang tidak dilihat oleh mazhab rivalnya yaitu realisme dimana perang yang terus menerus terjadi dianggap sebagai suatu keniscayaan atau sifat dasar manusia yang tidak mungkin berubah.

Liberal Optimis Dengan Sifat Manusia yang Pada dasarnya baik

Jika manusia berkonflik karena ketidaan pilihan untuk saling percaya dan kerjasama, maka solusi untuk menyelesaikan konflik dan perang adalah membentuk suatu wadah kerjasama internasional. Melalui wadah ini, kerajaan (atau pada masa itu telah berkembang menjadi negara) dapat melakukan perdagangan internasional satu sama lain. Sehingga negara tidak perlu menjajah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Adanya perbedaan sumber daya antara satu negara dengan negara lain dapat diperdagangan secara damai. Dari sini dapat juga simpulkan asumsi dasar kedua dari liberal yaitu setiap negara membutuhkan negara lain.

Dengan 2 asumsi yaitu manusia pada dasarnya baik dan setiap negara pasti membutuhkan negara lain, maka liberal menolak saran realisme yang menekankan kemandirian atau self help (pertolongan yang datang dari negara sendiri) untuk bertahan di dunia internasional. Ringkasnya bagi realisme, jika ingin mengamankan  negara dari ancaman, maka negara harus bisa mandiri dan kuat khususnya dalam hal ekonomi dan militer. Kerena dalam dunia yang sedari dulu berperang, tidak akan ada negara lain yang bisa dipercaya sebagai “teman” untuk berkerjasama. Sebaliknya, bagi liberal, dunia internasional sangat mungkin menjadi koperatif. Melalui wadah internasional misalnya PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), negara dapat berkomunikasi dan menciptakan kerjasama internasional sehingga tidak perlu berperang. Kerjasama ini dapat meliputi seluruh aspek kehidupan negara yang dianggap perlu.

Kemudian, dengan adanya kerjasama internasional yang didasari oleh dua asumsi dasar tersebut, pada akhirnya di dunia internasional akan terbentuk suatu interaksi interdependency atau saling ketergantungan. Ketika suatu negara memiliki ketergantungan terhadap negara lain, maka negara tersebut akan memiliki pertimbangan khusus apabila ingin memulai perang. Hal ini dikarenakan apabila perang terjadi, tentu akan berakibat pada kerjasama dengan dengan negara terkait. Misalnya, apabila negara A (penghasil gandum) dengan Negara B (pengahasil gula) berperang sedangkan sebelumnya kedua belah pihak berdagang satu sama lain, tentu ketersediaan roti (yang dibuat dari gandum dan gula) akan terganggu. Padahal, kedua negara sangat membutuhkan roti. Berangkat dari keadaan saling bergantung diatas, maka negara akan cenderung menghindari konflik dan akan lebih fokus pada kerjasama. Karena, memulai perang dianggap tidak menguntungkan pihak manapun. Dari sini, liberal mengklaim ketika semua negara telah terikat satu sama lain melalui interdependency, maka suatu dunia tanpa perang (damai) dapat diwujudkan.

 

Kesimpulan

Liberal berpandangan sistem internasional dapat dibuat koperatif karena asumsi dasar liberal yang melihat manusia yaitu baik dan dapat bekerjasama karena saling membutuhkan. Walupun negara memiliki kecurigaan dan fakta sejarah menunjukkan bahwa manusia melewati banyak peperangan, sejatinya solusi yang ditawakan reaslime yaitu meningkatkan kekuatan ekonomi dan militer tidak begitu relevan dengan akar masalalah yang dianalisis liberal. Bagi liberal, akar konflik perang terjadi adalah ketiadaan kepercayaan dan perdagangan internasional. Sebagaimana yang tulis oleh Federich Bastiat (pemikir liberal) “when goods doesn’t across borders of countries, soldier will”. Artinya, ketika barang-barang (kebutuhan) tidak melintasi batas suatu negara, maka prajurit yang akan melintasinya.  Oleh karena itu, solusi yang tepat yakni mengelola suatu wadah kerjasama internasional yang dapat mengurangi kecurigaan dan mendorong perdagangan internasional sehingga perang tidak lagi diperlukan.

 

Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Andalas sekaligus founder ADS (Andalas Debating Society)