Kasus penyerangan air keras yang dialami oleh penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan telah melewati sidang pembacaan tuntutan pada 11/06. Dalam pembacaan tuntutan, Jaksa Penuntut Umum hanya melayangkan tuntutan 1 tahun penjara bagi dua terdakwa penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan. Jaksa menuntut terdakwa dengan dakwaan subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan biasa. Sedangkan dalam dakwaan Primair Jaksa menyatakan kedua terdakwa tidak terbukti melanggar unsur Pasal 355 ayat (1) jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan berat berencana, yang harusnya yakni ancaman pidana maksimum 12 tahun penjara.
Begitu riuh publik menyesalkan atas tuntutan pidana rendah oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini. Jaksa yang seyogyanya menjadi representasi negara dalam perlindungan korban kejahatan malah bertindak sebaliknya seolah sebagai pembela dari terdakwa. Tuntutan rendah dalam kasus ini sangat melukai rasa keadilan bukan hanya bagi Novel dan keluarganya tetapi juga bagi masyarakat secara luas. Fakta ini telah menciptakan preseden yang kontradiktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum khususnya aparat yang berjibaku dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sebagaimana yang tertuang pada Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan hukum, Hakim diberi kebebasan untuk menilai fakta dan hukum yang disajikan dari persidangan berdasarkan dakwaan yang diberikan, sebagaimana yang ditegaskan dalam putusan MA Nomor 510 K/Pid.Sus/2014, Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013, Nomor 68 K/Kr//1973 dan Nomor 47 K/Kr/1956.
Secara normatif tidak ada satu pasal pun dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengharuskan Hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hakim Memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan fakta persidangan yang ditemukan sehingga Hakim bersifat bebas dan merdeka untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan hukum dan nuraninya yang dirasa adil dan rasional, karena pada dasarnya Hakim bukan hanya sekedar corong undang-undang (la bouche de la loi). Hakim dapat menjadi pemberi makna melalui konstruksi hukum. Dalam menegakkan hukum dimana Hakim harus berusaha membuat keputusan yang adil dan berkeadilan.
Dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat maka dengan wewenang dan kebebasan majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman (judex factie) dengan fakta yang tersaji di pengadilan maka Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut hemat penulis sudah sepatutnya Majelis Hakim menjatuhkan vonis yang seaadil-adilnya, yakni dengan menjatuhkan putusan Ultra Petita (melebihi dari yang dituntut Jaksa Penuntut Umum) dan menghukum pelaku penyerangan air keras sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya dengan dasar Pasal 355 ayat (1) jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan berat berencana ancaman pidana maksimum 12 tahun penjara sebagaimana yang tercantum dalam surat dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum.
Hal itu tidaklah berlebihan sebab jika dilacak dalam beberapa contoh kasus serupa yang pernah terjadi, para pelaku tindak pidana kasus penyiraman air keras bahkan pernah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum melalui surat dakwaannya dengan tuntutan hukuman pidana hingga 15 Tahun Penjara. Maka untuk mengembalikan rasa kepercayaan publik atas proses peradilan hakim mesti mengambil keputusan yang adil. Serta yang tidak kalah penting menanti sikap profesional intitusi Polri dan Kejaksaan untuk mengungkap kasus ini hingga tuntas bukan hanya sebatas eksekutor lapangan namun juga aktor intelektual dibalik penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan guna mengembalikan rasa keadilan di tengah-tengah publik.