Oleh: Muhamad Ariz Pratama (PM Bakti Nusa 10 Regional Malang)
Berbagai problematika umat muslim saat ini muncul sebagai isyarat fitnah akhir zaman yang telah di-nubuwwah-kan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, termasuk kondisi yang ada pada negara kita Indonesia tercinta, berbagai krisis yang menjadi miris melihat krisis moral anak bangsa yang kian hari semakin menjadi tantangan akhir zaman untuk untuk terus melakukan upaya perbaikan. Seorang pemikir Islam kontemporer Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyebut faktor kemunduran peradaban umat Islam hari ini karena hilangnya adab (Loss of Adab) dan kemunduran ilmu pengetahuan[1] yang pada ujungnya berimplikasi pada hancurnya moral umat yang jauh dari tuntunan Allah ﷻ, berbagai macam paham yang bersifat merusak tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-moral banyak bermunculan lalu menghegemoni pemikiran umat Islam ditambah dengan para intelektual liberal-sekuler yang semakin jauh dari agamanya karena memisahkan ilmu dengan keimanan.
Padahal Allah ﷻ telah berfirman dalam QS. Al-Alaq: 1-5 yang mana menjadi wahyu pertama diturunkan kepada manusia yang paling mulia di muka bumi Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam yang didalamnya terdapat perintah membaca (iqra’) dan menulis yang diisyaratkan dengan “pena” (qolam). Wahyu yang dengannya juga sudah membicarakan tentang proses penciptaan manusia yang berasal dari “al-alaq” (sesuatu yang melekat). Artinya sejak penciptaan awal kita Allah ﷻ sudah memperingatkan kita akan sebuah proses belajar dan membaca tidak boleh dipisahkan dengan inti dasarnya yaitu keimanan. Semua proses itu harus dilakukan dengan nama Allah ﷻ (Iqra’ bismirabbikallaadzii khalaq), dengan itulah tradisi ilmu dalam Islam sejak awal sudah bersifat “tauhidiy” tidak sekuler, karena hakikat ilmu itu sendiri adalah dalam rangka satu tujuan yang sama yaitu ma’rifatullah “mengenal Allah ﷻ”[2]
Atas dasar itu jika kita kembali menilik lini masa sejarah telah banyak perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan bangsa Indonesia dalam membentuk generasi bangsa pada domain pendidikan, kesadaran akan agenda pentingnya pendidikan sebagai upaya pembentuk generasi menjadi satu kebutuhan dalam membangun peradaban di masa depan. Sebagaimana upaya yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan yang tampil gagah menjadi pembebas Kauman dengan semangat purifikasi dan pembaharuan dari khurafat, syirik, bid’ah juga focus pembebasan masyarakat saat itu dari keterbelakangan akan ilmu sehingga menjadikan organisasi yang dibentuknya yaitu Muhammadiyah menjadi salah satu pelopor integrasi pendidikan Islam dan umum. Kita juga mengenal sosok M. Natsir sebagai salah satu tokoh ulama sekaligus negarawan yang juga memiliki pemikiran akan konsep pendidikan yang intergral, yang menurutnya menjadi hamba Allah ﷻ adalah tujuan hidup manusia di atas dunia ini, oleh karenat itu tujuan pendidikan tidak lain adalah pencapaian kualitas hamba Allah ﷻ. Untuk itu, tauhid harus menjadi dasar pendidikan Islam dan menjadi hamba Allah ﷻ adalah cita-cita yang harus dicapai dari sebuah proses pendidikan.
Tentang pentingnya peran seorang guru dalam sebuah proses pendidikan dan kemajuan suatu bangsa, Natsir mengutip pendapat Dr. G.J Nieuwenhuis yang menyatakan,
“Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada diantara bangs aitu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”[3]
Konsep serupa juga ditawarakan oleh salah seorang pejuang ulama pada masanya yaitu Buya Hamka yang memiliki konsep pendidikan berbasis adab walaupun tidak secara eksplisit dijelaskan secara sistematis dalam karya-karya tulis yang beliau miliki. Dari hal tersebut kita mengetahui bahwasannya fokus yang telah disampaikan sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, lalu dilanjutkan pada masa tabi’in hingga zaman kontemporer hari ini Islam kita telah paripurna sebagai sebuah manhaj dalam mengatur sistem tatanan peradaban.
Setelah kita mengetahui bagaimana para pendahulu mengerti konsep pendidikan sebenarnya maka tugas kita pun hari ini perlu mengetahui bagaimana pondasi pendidikan itu dibangun dengan adab, sebagaimana dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas beliau mendefinisikan adab secara akademis, adapun adab menurutnya adalah “Apabila jiwa mengenali hakikat bahwa ilmu dan wujud itu tertata menurut berbagai peringkat dan derajatnya, kemudian apabila sikap dan perilaku dipatuhi (diakui) dengan tindakan apa yang telah dikenal oleh jiwanya, maka keserasian antara pengakuan (pematuhan) dan pengenalan ini, yang dengannya diri itu mengambil kedudukannya yang sepatutnya yang terjadi bersamaan dengan tindakan pengakuan itu, ini tidak lain adalah adab”[4].
Indonesia Emas 2045 menjadi impian besar untuk menciptakan Indonesia yang mampu bersaing dengan bangsa lain dan dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan, mulai dari korupsi, kesenjangan, hingga kemiskinan. Namun ada persoalan mendasar yang disampaikan oleh para pakar dalam dunia pendidikan sebagaimana Dr. Adian Husaini mengutip pernyataan Prof. Satryo Soemantri B. bahwa beliau mempertanyakan cetak biru pendidikan Indonesia beliau menulis dalam sebuah makalahnya yang memuat kritik terkait proses pendidikan tinggi di Indonesia, beliau katakan
“PTN hanya menjalankan tugas pemerintah berdasarkan segala ketentuan yang berlaku. Adapun PTS hanya menjalankan usaha yang mendatangakan keuntungan bagi Yayasan atau badan wakaf, memang terkesan PTN dan PTS menyelenggarakan pendidikan tinggi, teteapi sejujurnya mereka belum melakukan pendidikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan PTN hanyalah formalitas persekolahan tingkat tinggi (maksudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah persekolahan tingkat tinggi dengan memperlakukan mahasiswa sebagai komoditas”.
Itulah potret mirisnya pendidikan kita hari ini, tak lebih penyelenggaran pendidikan tinggi seperti disebutkan diatas hanyalah dalam rangka formalitas, tidak mengherankan akhirnya jika kita melihat berbagai macam persoalan moral-karakter anak bangsa kian memperihatinkan ditengah tantangan melesatnya perkembangan globalisasi. Inilah pekerjaan besar kita ke depan, bagaimana bangsa ini dapat memastikan proses pendidikan secara integral, pembangunan menuju masa depan yang cemerlang dibangun dengan mengembalikan dan memfokuskan sistem pendidikan kita berbasis adab. Sebagaimana tawaran usulan yang diberikan oleh Adian Husaini melakukan reformasi pemikiran pendidikan dan reformasi manajemen pendidikan nasional, setidaknya beliau mengusulkan memerlukan lima hal penting.
Pertama, reformasi worldview, yakni berlandasan pada pandangan Islam mengenai konsep-konsep pendidikan, ilmu, kebahagiaan, tujuan hidup, dan seterusnya. Kedua, redefinisi istilah, ialah meletakkan definisi secara tepat mengenai istilah pendidikan, ilmu, kebahagiaan, kesuksesan, dan lainnya. Ketiga, reformasi kurikulum yakni kurikulum takwa, yang mengacu pada model konsep ilmu dan adab. Keempat, reformasi kelembagaan, yaitu memberikan otonomi yang luas kepada lembaga pendidikan dan pemberdayaan keluarga[5].
Catatan kaki:
[1] Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC
[2] Adian Husaini, dkk. (2013). Filsafat Ilmu Perspektif Barat & Islam, Hal. 28, Depok: Gema Insasni
[3] Said Tahuleley, “Catatan Lepas tentang Pendidikan Islam: Interpretasi Bebas Ide-ide Pendidikan Mohammad Natsir”, dalam buku Pak Natsir 80 Tahun—editor Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais—(Jakarta: Media Dakwah, 1988).
[4] Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, hal. 19
[5] Artikel Reformasi Pendidikan Indonesia Memerlukan Lima Hal Penting –Catatan INSISTS Saturday Forum (INSAF)