Ditulis oleh Musfira Muslihat (PM BAKTI NUSA 9 Yogyakarta)
تَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (44
Artinya:”Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
Jelas, padat, dan singkat. Begitulah kutipan dari Al-quran surah Al Baqarah ayat 44. Setiap orang yang berpikir dan memiliki akal maka akan mempertanyakan untuk apa semua aktivitas yang dilakukannya sehari-hari. Beberapa orang yang mengikrarkan diri untuk beraktivitas dengan mengatasnamakan kebaikan, menyeru kebaikan, atau agar menjadi orang yang bermanfaat. Namun amat disayangkan jika tujuan tersebut hanya dusta.
Dihari akhir kelak akan datang seorang pejuang islam di depan Allah dan mengatakan “Ya Allah, saya sudah berjuang dijalanMu maka surgalah untukku”. Allah dengan tegas membalas ucapan orang tersebut dengan balasan “Kamu berdusta!”. Membayangkan kejadian itu pun sudah sangat menakutkan, saat Allah yang menjadi tempat kita bergantung tapi malah menghardik diri dan bahkan mengatakan diri berdusta. Menakutkan sekali. Begitulah kejadian untuk para pejuang islam yang ternyata dihatinya terdapat kemunafikan dan ketidakikhalasan. Pejuang tersebut hanya mengharapkan ketenaran, dipuji orang, dan gelar pejuang. Semua itu sudah didapatkannya didunia dan sudah tidak tersisa dihari akhir. Menyedihkan sekali.
Jalan ini sungguh panjang namun sebenarnya sangatlah singkat. Saat kita membandingkan ribuan hari didunia tidak akan sembanding dengan satu hari dihari pembalasan. Dunia yang hanya canda gurau dan hiburan menjadikan diri tertipu oleh diri sendiri. Maka jangan jadilah pemimpin yang hanya menjadi lilin. Lilin bersinar sangatlah terang namun sebenarnya ia menghancurkan diri sendiri. Dalih untuk menyeru pada kebaikan namun sebenarnya mencampuradukkan yang benar dan salah. Ketika Allah mencoba menegur dengan nasihat dari orang lain, sungguh banyak bantahan yang diberikan. Pemimpin harus menjadi cahaya yang terang di tengah kegelapan. Cahaya tersebut diperoleh dari bahan bakar yang bersumber dari ilmu dan iman. Pemimpin bukan terlahir hanya karena penokohan, harta yang dimiliki, kerabat dekat, atau orang tua yang bersahaja. Ketika pemimpin berasal dari alasan tersebut, tentulah ia akan menjadi pemimpin yang seperti lilin. Dirinya sangat rapuh dan memiliki batas waktu untuk segera mati.
Kita sepakat jika pemimpin adalah orang yang dapat kita ikuti, jika ia sholat maka kita akan mengikutinya, jika ia berhaji maka kita akan mengikutinya, jika ia menanam pohon maka kita akan mengikutinya, jika ia berkorban untuk masyarakat maka kita akan mengikutinya. Namun amat disayangkan jika kerja keras pemimpin tersebut hanyalah cerminan seorang pemimpin yang munafik, yaitu pemimpin yang tidak melakukan hal-hal yang sudah dikatakannya. Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain untuk mendekat keilmu dan iman, untuk segera bergeras, dan memohon doa hanya pada Allah agar istiqomah.