Pemimpin Adalah Pembelajar

Pemimpin Adalah Pembelajar

Oleh: Muhammad Awaldi Rahman, Learning Designer BAKTI NUSA

Pemimpin dan pembelajar adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, menjadi seorang pemimpin tentu bukan sebuah peran yang mudah. Pemimpin tidak hanya sekadar memimpin, lebih daripada itu membutuhkan kesenian dan kecakapan. Pemimpin bukan merupakan bakat dari lahir, melainkan satu keterampilan yang bisa dibentuk dengan pengalaman.

Mengamati kondisi hari ini, orang dewasa dihadapkan dengan kondisi yang menantang –belajar bukan lagi menjadi prioritas utama melainkan nomor dua bahkan prioritas kesekian. Padahal, semasa bangku sekolah dulu, belajar menjadi prioritas paling atas. Dalam kuadran prioritas, belajar menempati bagan penting namun tidak mendesak untuk dilakukan dalam jangka pendek. Bagan penting dan mendesak sudah lebih dulu terisi oleh rentetan tugas-tugas pekerja (saya lebih suka menyebutnya pekarya). Maka, seringkali penyebab tidak belajar bukan kemalasan, namun kesibukan.

Di samping itu, perubahan atau disrupsi dalam pelbagai sektor kehidupan adalah sebuah keniscayaan. Disrupsi membawa volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, hingga ambiguitas. Akibatnya, kemampuan individu untuk bisa tetap bertahan bahkan berkembang tergantung pada kapasitas serta kapabilitasnya menjawab tantangan-tantangan tersebut.

 

Hakikat Pemimpin Pembelajar

Dikutip dari Harvard Business Review, penelitian Lauren Keating, Peter Heslin, dan Susan Ashford (2017) tentang pengembangan kepemimpinan, memaparkan bahwa para pemimpin yang berada dalam ‘learning mode’ berpeluang lebih besar mengembangkan kapasitas, kapabilitas, dan keterampilan kepemimpinan mereka daripada rekan-rekannya. Artinya, dampak dari belajar bisa dikatakan signifikan terhadap peningkatan kompetensi seseorang, terlebih bagi seorang pemimpin.

Bass di dalam bukunya, Bass and Stogdill’s Handbook of Leadership (1990), menyebutkan bahwa pemimpin adalah agen perubahan atau seseorang yang bertindak mempengaruhi orang lain lebih dari tindakan orang lain mempengaruhi dirinya.  Adapun menurut Thursan Hakim dalam bukunya, Belajar secara Efektif (2005), definisi belajar merupakan suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti daya pikir, pengetahuan, hingga keterampilan.

Jadi, setiap pemimpin hendaknya tidak malu belajar dan harus terus mau belajar. Selain itu, pemimpin tidak boleh merasa matang. Sebab, apabila sudah merasa matang maka hanya tinggal menunggu waktu hingga pada akhirnya busuk. Oleh karenanya, belajar merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi setiap pemimpin di mana pun dan kapan pun.

 

Pemimpin ‘Mode Belajar’

Menurut Susan Ashford dan Scott DeRue dalam jurnalnya, Developing as a Leader: The Power of Mindful Engagement, ada tiga fase siklus pembelajaran untuk para pemimpin di antaranya: Pertama, penting bagi para pemimpin dalam menetapkan tujuan pembelajaran seperti, ‘Saya butuh belajar bagaimana caranya…” Tujuannya, agar para pemimpin mampu mengidentifikasi peluang untuk membuat kemajuan ke arah yang lebih baik.

Kabar baiknya, ilmu itu bertebaran setiap harinya sehingga tugas seorang pemimpin yang pembelajar adalah memastikan ada hal-hal baru yang dipelajari. Tidak harus banyak dalam satu waktu, melainkan dimulai dari apa yang sedang menjadi kebutuhan paling relevan saat itu. Memulai dari hal sederhana dan targetan terkecil, hingga lambat laun bisa berkembang menyesuaikan.

Selanjutnya, para pemimpin perlu menciptakan dan memanfaatkan kesempatan belajar sebaik mungkin dengan aksi konkrit. Hal tersebut bisa didukung dengan bereksperimen aktif akan gagasan atau narasinya, serta meminta umpan balik (feedback) dari tim maupun orang-orang yang terlibat di sekitarnya.

Akhirnya, para pemimpin perlu melakukan refleksi serta menangkap pelajaran dari pengalaman-pengalamannya. Karena sangat mungkin, pemimpin tidak suka melakukan refleksi. Padahal, refleksi merupakan satu langkah aktif menyelidiki sebuah sebab-akibat dan menggali hikmah dari yang telah terjadi. Merefleksikan apa yang sudah berjalan dengan baik, apa yang tidak berjalan dengan baik, dan memungkinkan menjadi fokus untuk dibuat lebih baik di kemudian hari.

Poin pendukung lainnya, para pemimpin perlu mengondisikan lingkungan sekitarnya agar menjadi tempat yang kondusif untuk belajar, berkarya, dan berbagi. Dengan begitu, satu dengan yang lainnya memiliki rasa tanggung jawab dan belajar dari pengalaman tiap individu lainnya. Tidak hanya itu, agar menciptakan iklim saling mengingatkan bahkan mendorong untuk terus belajar dan melakukan continuous improvement.

Intinya, seorang pemimpin pembelajar menjadi kebutuhan dan tuntutan untuk menjawab era penuh dengan perubahan yang begitu cepat dan pesat. Sebab, seorang pemimpin harus mampu mengambil peran dalam situasi yang kerap berubah-ubah. Keterampilan dan pengalamannya yang membuatnya mampu mengelola perubahan tersebut. Meminjam perkataan Warren Bennis, kepemimpinan tidak bisa diajarkan, namun bisa dipelajari melalui pengalaman.