Panas Dingin RUU KPK

Semangat pemberantasan korupsi sedang diuji. Dinamika dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antirasuah yang terlahir melalui rahim reformasi. Semangat reformasi memang memberi KPK beberapa kewenangan khusus, hal ini memang ditujukan untuk memberi trigger lembaga lainnya agar dapat mengoptimalkan kinerja mereka. Sebagai lembaga independen, KPK diharapkan mampu menjalankan tupoksi melakukan koordinasi, supervisi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tercatat, berbagai kasus besar pernah ditangani oleh KPK pasca reformasi, bahkan ada beberapa kasus besar yang sampai saat ini masih bergulir di KPK. Para tikus berdasi mulai dari unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif, pengusaha besar hingga para bankir pernah merasakan hangatnya rompi orange KPK. Musuh KPK memang orang-orang dari kalangan extraordinary, tak heran jika posisi KPK berusaha terus digoyang dan dilemahkan agar para aktor extraordinary crime ini bisa mendapatkan celah untuk mengeruk keuntungan pribadi maupun golongannya. Salah satu upaya yang dilakukan bisa melalui UU KPK.

Pro Kontra RUU KPK

Melalui tulisan ini, saya tidak ingin menjadi pihak yang pro atau kontra terhadap Revisi UU KPK, namun kita harus bersepakat untuk pro terhadap pemberantasan korupsi. Hendaknya mungkin kita harus mengapresiasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), RUU KPK yang awalnya tidak masuk RUU prioritas dalam Prolegnas, akhirnya menjadi RUU Inisiatif dari DPR yang disahkan sekitar 15 hari semenjak wacana digulirkan, pembuatan naskah akademik sampai ketok palu dalam Rapat Paripurna DPR yang dihadiri 70 orang dari 560 anggota dewan pada 5 September 2019. Tentu tak salah jika publik mengapresiasi kinerja tergesa-gesa DPR yang akan berakhir masa jabatannya pada 30 September 2019 ini. Dalam sebuah jumpa pers (13-09-2019), pimpinan KPK mengatakan tidak dilibatkan dalam pembuatan naskah akademik bahkan tak mengerti draft Revisi UU KPK. Sebelumnya kegaduhan sempat terjadi, dilantiknya 5 pimpinan KPK yang baru pun menuai banyak kritikan tajam dari berbagai pihak. Dugaan pelanggaran kode etik salah satu pimpinan terpilih hingga peluang salah satu pimpinan terpilih tidak bisa dilantik karena terhambat dengan UU KPK yang baru semakin memanaskan ruang diskusi publik.

Setidaknya ada beberapa poin kontroversi yang diperdebatkan oleh pihak yang pro pengesahan RUU KPK dan kontra pengesahan RUU KPK. Dalam laman KPK, tercantum beberapa poin penting yang setidaknya membutuhkan waktu bahkan revisi sebelum implementasinya. Poin tersebut berusaha rangkum dalam perspektif saya pribadi.

Pertama, Pegawai KPK berstatus ASN, merupakan bagian dari eksekutif, hal ini mempengaruhi independensi pegawai KPK ketika menangani kasus yang melibatkan oknum lembaga eksekutif

Kedua, Penyadapan harus meminta ijin dewan pengawas yang dipilih oleh DPR dan dilantik oleh Presiden. Halini berpotensi memperlambat bahkan menghambat independensi dan proses pengungkapan kasus oleh KPK

Ketiga, KPK direduksi kewenangannya dalam hal mengangkat penyelidik dan penyidik independen dari proses rekrutme terbuka, karena dalam RUU KPK hanya diperkenankan berasal dari POLRI dan PNS

Keempat, Penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, hal ini berpotensi memperlambat birokrasi sehingga memberikan banyak waktu pelaku korupsi untuk menghilangkan barang bukti bahkan kongkalikong dengan Kejaksaan Agung

Kelima, Potensi penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap sebuah kasus yang tidak terselesaikan dalam jangka waktu 1 tahun. Hal ini berpotensi disalahgunakan oleh para oknum terkait yang bekerjasama dengan koruptor, untuk memperlambat proses administrasi sehingga kasus tidak dapat diselesaikan kurang dari 1 tahun sehingga harus di SP3. Selain itu dalam revisi UU yang baru, KPK sudah tidak berwenang lagi dalam mengelola dan mengawasi pelaporan LHKPN, dalam hal ini diserahkan kepada instansi terkait. Kewenangan KPK juga direduksi hanya dalam hal koordinasi dan supervisi.

Segala pro kontra di atas perlahan mulai meredup dari ruang diskusi publik akhir-akhir ini, orasi-orasi mahasiswa hingga satire-satire yang ditunjukkan mahasiswa, tak cukup menggugah niat DPR dan Pemerintah Pusat untuk menunda atau menolak pengesahan RUU KPK. Terkini, hanya ada 3 pilihan, melakukan judicial review KPK, Presiden mengeluarkan Perppu atau DPR menarik UU KPK yang telah disahkan, merevisi lalu membawanya kembali pada Rapat Paripurna berikutnya. RUU KPK saat ini telah sah menjadi undang-undang, maka dari itu jangan hanya berfokus pada narasi pro kontra terhadap RUU KPK, mari bersepakat untuk pro terhadap pemberantasan korupsi, mari terus mengawal KPK dan lembaga antirasuah lainnya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Mari menyebarkan semangat anti KKN mulai dari diri kita sendiri, mengedukasi keluarga, kerabat dan teman-teman terdekat kita. Karena sejatinya KKN dilakukan tidak hanya karena ada kesempatan namun karena ada niat. Upaya preventif hendaknya menjadi solusi terbaik untuk investasi jangka panjang memberantas korupsi di negeri tercinta.

Hidup Rakyat Indonesia !

*Ditulis dari berbagai sumber

 

Anton Agus Setiawan – BA 9 Malang