“Ngapain ngaji?” merupakan pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh orang awam, jangankan orang awam, dulu, akupun akan menanyakan hal yang sama. Ngaji, membaca Alquran, menelaah Alquran, atau hal berbau Islami lainnya bukankah tidak diwajibkan secara turun-temurun? Kebanyakan orang dewasa hanya menekankan pada salat dan puasa, maka agama Islam yang dianut hanya seputar “Yang penting salat dan puasa” padahal, mengkaji Alquran dan Islam tidak sesempit itu.
Sebuah hadis berkata, “Apabila telah kamu taklukkan akhirat, maka dunia akan merunduk”. Hal ini yang sering tidak disadari oleh seseorang, khususnya umat muslim sendiri. Banyak muslim dan muslimah yang memandang sebelah mata tentang agamanya sendiri, menoleh tidak acuh pada fitnah yang terjadi pada umat ini, men-judge penampilan takwa seperti jenggot, celana cingkrang, dan jilbab lebar, menganggap hal tersebut adalah hal yang aneh dan merupakan gerakan islam radikal yang membahayakan (Syukri, 2019).
Padahal, mereka hanya belum merasakan manisnya Islam, iman, dan apa efeknya yang terjadi pada diri mereka. Hal ini akan lebih mudah diterima apabila mereka merasakannya pada perubahan di dunia nyata.
Islam sebagai rahmatan lil a’lamin, agama yang memudahkan umatnya, yang setiap prosesnya dihitung sebagai pahala, akan mudah dipelajari bagi siapapun, bahkan umat non islam sekalipun. Jangan sampai karena minder kepada seseorang, teman, hingga sahabat yang pemahaman dan ilmu agamanya lebih baik, kita enggan mempelajari islam. Sebaliknya, seseorang yang pemahaman agamanya merasa sudah di atas rata-rata pun bukan jaminan akan masuk surga. Selama napas ini masih berhembus, masih ada kemungkinan untuk berbelok kearah kemaksiatan maupun kebaikan. Oleh karena itu, dakwah hadir untuk menjawab itu semua, menjaga seluruh umat islam tetap berada di jalan kebaikan dengan cara hubungan dua arah, baik pendakwah maupun yang didakwahinya akan mendapatkan efek penjagaan yang sama.
Namun karena cara yang dianggap kuno, kurang kekinian, terlalu mengikat sehingga membuat seseorang yang baru mau berhijrah sulit untuk mempertahankan keistiqomahannya. Pertanyaan “Ngapain ngaji?” adalah maksud dari tulisan ini untuk membedah alasan-alasan, kenapa? Why? Ketika seseorang sudah mengetahui strong why-nya, maka ia akan kembali pada track-nya saat godaan lalai muncul (Siauw, 2013). Yang pertama adalah alasan menuntut ilmu, dalam bahasa formalnya, aspek pendidikan. Yang kedua adalah meningkatkan rasa persaudaraan antar muslim dan muslimah.
Alasan menuntut ilmu
Seperti yang ada di dalam buku Fiqih Prioritas karya Dr. Yusuf Al-Qardawy, ilmu merupakan prioritas dibandingkan dengan amal. Contohnya, seseorang yang tidak mengetahui bacaan salat dan langsung mengkuti gerakan salat tidak akan diterima salatnya. Hal ini dapat dianalogikan ketika manusia hidup di dunia, ilmu tentang dunia telah lengkap dipaparkan islam melalui Alquran dan sunnahnya. Lemahnya ilmu dalam paparan Fathi Yakan di buku Robohnya Dakwah di Tangan Dai dapat menimbulkan penyakit hati sehingga menurunkan kualitas ketakwaan atau ketakutan dalam melakukan dosa.
Meningkatkan rasa persaudaraan
Dalam analogi setan ibarat serigala dan domba adalah manusia, maka serigala akan lebih mudah menerkam domba sendiri dengan domba yang selalu bersama kawan-kawannya. Hal ini dapat dipahami, bawha seseorang yang senantiasa berjalan bersama-sama, mengaji, menuntut ilmu akan lebih sulit digoyahkan dibandingkan seseorang yang hanya beribadah, wirid, dan sholat sendiri. Seperti di dalam hadis. “Seorang mukim bagi mukmin yang lain laksana bangunan yang saling mengukuhkan antara sesamanya.” (HR. Bukhari) (Yakan, 2009).
Memang, dalam berukhuwah, semua tidak akan lezat, kadang terasa pahit, asam, namun juga manis dan gurih. Rasa pahit dan asam akan selalu muncul jika kita tidak bisa menetralisirnya sendiri. Berjalan bersama-sama berarti harus menerima kekurangan antar kawan, memaklumi kelalaian yang terjadi, kekhilafan yang terungkap, karena bangunan dakwah bukanlah bangunan para malaikat. Benar, bahwa mayoritas pendakwah adalah orang yang sudah memahami agama atau dalam proses tersebut, namun manusia tetaplah manusia yang tabiatnya adalah pelupa sehingga selalu ada celah ketidaksempurnaan. Tetapi hal ini pun bukan pembenaran bahwa kelalaian tersebut bisa dilakukan berulang-ulang. Salah satu nikmatnya berukhuwah adalah seseorang bisa saling mengingatkan satu sama lain tanpa merasa disakiti ataupun menyakiti karena hal tersebut adalah untuk kebaikan masing-masing.
Allah sendiri yang menjamin bahwa Ia lebih menyukai orang-orang yang berjalan bersama seperti barisan rapi yang diabadikan dalam Quran surah As- Saff ayat 4 yang bunyinya,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Ketika ditanya “Ngapain ngaji?” atau menanyakan kembali kepada diri sendiri ditengah goncangan godaan setan, selain jawaban mutlak “Ingin masuk surga” kita bisa menambahkan alasan menuntut ilmu dan rasa persaudaraan ini di dalam jawaban “Ngapain ngaji?” ini.
Daftar pustaka :
Qardhawi Y. 2004. Fiqh Prioritas. Surakarta: Era Inter Media.
Quran Tajwid dan Terjemah. 2006. Jakarta: Maghfirah Pustaka
Siauw F. 2013. How to Master Your Habits. Jakarta: Al Fatih Press.
Syukri M, Karimah S. 2019. Nota Kontan untuk Tuhan. Jakarta: Elex Media.
Yakan F. 2009. Robohnya Dakwah di Tangan Dai. Surakarta: Era Inter Media.