Pada dasarnya pandangan politik di Indonesia dipengaruhi oleh adanya ideologi-ideologi yang berbeda. Perkembangan kesadaran politik tersebut ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, Partai Komunis Indonesia, Taman Siswa, Nahdatul Ulama, dan lain-lain (Alfian, 1971). Inilah yang sekaligus menandai bangkitnya Nasionalisme yang ditandai dengan munculnya sekelompok mahasiswa maupun cendikiawan muda yang memandang bahwa dunia modern adalah sebuah tantangan bagi masyarakat dan beranggapan bahwa mereka adalah pemimpin potensial di masa depan. Latar belakang munculnya organisasi-organisasi tersebut, antara lain dipelopori oleh berbagai tokoh-tokoh yang memiliki pandangan maupun pemikiran yang berbeda pula mengenai politik. Inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya ideologi-ideologi yang ada di Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya pemikiran ideologi di Indonesia, terdapat tiga aliran ideologi menurut Hindley (1970), yaitu santri, Kristen, dan non-santri atau sekuler. Sedangkan Feith (1970 dalam Alfian, 1971), membagi pemikiran politik tersebut menjadi tiga periode. Pertama, periode revolusi bersenjata pada tahun 1945-1949. Pada masa ini mereka melihat bahwa pemikiran politik di Indonesia masih dipengaruhi oleh sekelompok kecil atau orang yang telah mempelopori gerakan nasional seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sjahrir, Natsir, dan Tan Malaka. Pemikiran dari sekelompok kecil tersebut yang akhirnya melahirkan suatu ideologi Pancasila. Kedua, periode liberal pada tahun 1950-1959. Pada periode ini mulai muncul golongan muda yang banyak memiliki pendapat yang berbeda dengan golongan sebelumnya sehingga periode ini dikenal dengan periode pertentangan. Ketiga, yaitu demokrasi terpimpin pada tahun 1959-1965 periode ini didominasi oleh ide-ide politik dari Soekarno.
Berdasarkan tiga periode tersebut, munculah lima ideologi di Indonesia seperti tradisionalisme Jawa, Islam, Nasionalisme Radikal, Komunisme, dan Sosialisme Demokratis (Feith, 1970). Setiap ideologi-ideologi tersebut memberikan pengaruh tersendiri bagi pemikiran politik. Seperti tradisionalisme Jawa, terdapat banyak organisasi yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Terbentuknya NU dan Masyumi juga merupakan bentuk pengaruh yang kuat dari ideologi islam. Pembentukkan PNI dipengaruhi oleh nasionalisme radikal, pembentukkan PKI merupakan akibat pengaruh dari komunisme. Sedangkan sosialisme demokratis sendiri menaruh perhatian partai terhadap kebebasan individu, keterbukaan terhadap arus intelektual dunia, dan penolakan terhadap chauvinisme.
Melalui beragam pemikiran tentang ideologi yang berkembang di Indonesia pada masa tersebut, Soekarno (1964) turut menyampaikan pemikiran politiknya terhadap ideologi yang berkembang di Indonesia pada saat itu, yakni Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, yang mana ideologi-ideologi ini saling bertautan satu dengan yang lain. Nasionalisme merupakan sebuah ideologi yang mencerminkan kesetiaan dan pengabdian individu terhadap bangsanya. Sementara Islamisme merupakan suatu ideologi yang lebih mengedepankan keyakinan dan pandangan Islam sebagai poin penting dalam meraih kemerdekaan. Sedangkan Marxisme merupakan suatu ideologi yang berfokus pada ekonomi dan keadilan antara kaum borjuis dan kaum proletar.
Pada dasarnya ketiga hal yang disampaikan oleh soekarno tersebut mampu disatukan sebagai sebuah ideologi. Inilah yang kemudian dianggap sebagai hal yang dapat merepresentasikan keadaan pada saat itu, karena Nasionalisme dan Islamisme di Indonesia bekerja dengan prinsip yang sama, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga kurang tepat apabila kedua pemikiran ini saling berlawanan. Bahkan menurut Prof. T. L. Vaswani (dalam Soekarno, 1964) yang bukan seorang muslim menyatakan bahwa jika Islam menderita, maka Roh kemerdekaan Timur juga merasakan sakit, karena pada saat mereka kehilangan kemerdekaannya maka imperialisme Eropa semakin menjajah Asia. Meskipun begitu, Vaswani percaya bahwa Islam masih akan menang karena Islam adalah internasional, dan jika Islam merdeka maka Nasionalisme Indonesia akan diperkuat olehnya. Oleh karena itu, apabila terdapat kaum nasionalis yang memusuhi Nasionalisme Islam ini mereka diistilahkan dengan “sempit-budi dan sempit-pikiran” (Soekarno, 1964).
Begitu juga dengan Marxisme, Soekarno percaya bahwa paham ini dapat disandingkan dengan Nasionalisme. Jika terdapat kaum nasionalis yang segan berdekatan dan bekerjasama dengan kaum marxis maka mereka dianggap tidak memiliki pengetahuan akan roda politik dunia dan sejarahnya. Soekarno menyatakan bahwa sedikit banyak Nasionalisme dan Marxisme memiliki persamaan, yakni sama-sama suatu asas yang berasal dari rasa ingin hidup menjadi satu, bahwa rakyat merupakan satu golongan dan satu bangsa maupun sebagai satu persatuan perangai. Hal ini yang menandakan bahwa Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme menurut Soekarno dapat disandingkan satu sama lain (Soekarno, 1964).
Sehingga, para kaum nasionalis dan marxis yang menganggap bahwa negara Islam lebih rendah derajatnya dari negara Barat adalah suatu kesalahpahaman. Negara-negara Islam menjadi seperti itu bukan karena apa yang mereka anut tetapi karena pemeluk-pemeluknya yang kurang memiliki budi pekerti. Menurut Soekarno, apabila dilihat dari sisi pendirian sosialistis dan nasional, Islam hampir tidak memiliki tandingan jika diimplementasikan secara sesuai. Islam sesungguhnya tidak mengandung unsur-unsur anti-nasionalis dan anti-sosialis. Soekarno beranggapan bahwa Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional bukanlah Islamisme sejati (Soekarno, 1964).
Soekarno (1964) berpendapat bahwa di dalam Islam sendiri terdapat nilai-nilai sosialisme meskipun tidak mencapai tahap Marxisme. Sosialisme dalam Islam memiliki asas spiritualisme, sedangkan sosialisme dalam Marxisme memiliki asas materialisme. Sehingga, kemudian asas materialisme inilah yang dianggap menjadi pedoman bagi persoalan ekonomi dan politik dunia dengan metode Historis-Materialisme. Islamisme dan Marxisme memiliki musuh yang sama, yaitu kapitalisme yang memiliki teori meerwaarde. Meerwaarde adalah riba, yaitu mengambil keuntungan dari kaum buruh yang telah bekerja keras mendapatkan keuntungan bagi tuannya.
Islamisme yang disebarkan dari jazirah Arab dan mempengaruhi Indonesia saat itu didorong oleh faktor mayoritas penduduk negara ini memeluk agama Islam. Tokoh pertama penyebar paham ini adalah Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah tinggi-Azhar dan Seyid Djamluddin El Afghani-Panglima Pan-Islamisme yang menyebarkan islam di daratan Asia. Mereka yang kemudian menanamkan pola pikir keislaman tentang politik. Keduanya mengobarkan semangat memerangi imperialisme dan kapitalisme bangsa Barat. Adapun prinsip utama Islamisme cenderung menitik beratkan pada keselamatan atau kemaslahatan umat (masyarakat) (Soekarno, 1964).
Sehingga, pada dasarnya tujuan Islamisme maupun Marxisme adalah sama, yakni ingin menghapuskan perbedaan kelas akibat dari penjajahan seperti kolonial Belanda di Indonesia. Selanjutnya, yang membuat keduanya berbeda adalah bahwa Marxisme memandang permasalahan dari segi ekonomi sedangkan Islamisme memakai sudut pandang spritualitas sebagai bentuk pertanggung jawaban manusia terhadap sesamanya. Meskipun begitu, masih banyak rakyat Indonesia pada masa pra kemerdekaan memandang negatif Marxisme sebagai paham dari Barat. Padahal faktanya tujuan keduanya tidak ada bedanya. Sama seperti Nasionalisme yang tumbuh sebagai akibat dari rasa ingin bebas dari kolonialisme Belanda. Kaum nasionalis juga bekerja sama dengan Marxis. Nasionalis memanfaatkan kritik kaum Marxis tentang perbedaan kelas antara borjuis dan proletar untuk mengembangkan dan menyebarkan semangat persatuan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Ir.Soekarno (1964), Nasionalisme itu baik sebagai suatu asas yang timbulnya dari rasa ingin hidup bersama, sebagai keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu merupakan satu golongan, satu bangsa maupun sebagai suatu persatuan yang terjadi dan dialami oleh rakyat itu sendiri.
Apabila dikaitkan kembali pada tahun 1950-an, konfigurasi ideologi di Indonesia saat itu dapat dibuat menjadi bentuk segitiga, yang terdiri dari Nasionalis, Islam, dan Marxisme. Sementara dalam penggolongan yang dilakukan oleh Feith (1970), dapat dibuat konfigurasi dengan bentuk menyerupai peta Indonesia. Tradisionalisme Jawa dan Islam berada di bawah yang dimaksudkan berakar dari tradisi bangsa Indonesia sendiri. Selanjutnya, nasionalisme radikal, komunisme, dan sosialisme demokrat yang berada di konfigurasi bagian atas yang berarti berasal dari pengaruh Barat. Masing-masing ideologi ini saling beririsan, misalnya Masyumi yang berideologi Islam namun juga berlandaskan pada ideologi sosialis demokratis. Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Hindley (1970) dapat dibuat konfigurasi dan variasi dengan didasarkan pada tiga unsur, yaitu agama, tradisionalitas, dan modernitas. Agama terdiri dari tiga unsur yaitu santri, Kristen, dan non-santri atau sekuler. Variasi yang tercipta, antara lain santri yang tradisionalis adalah NU, sementara santri yang modernis adalah Masyumi. Variasi berikutnya adalah ketika Kristen bertemu modernitas membentuk partai politik Parkindo dan Partai Katolik. Untuk Kristen yang tradisional tidak ada partai berdiri berdasar ideologi ini di Indonesia. Variasi berikutnya adalah non-santri atau sekuler yang tradisionalis adalah PNI, sementara non-santri atau sekuler yang modernis adalah PKI dan PSI.
Maka dari itu, dalam mengkaji prospek dan perkembangan kontemporer ideologi-ideologi yang berkembang di masa lampau tesebut, menurut Feith (1970), ada sebuah alternatif perspektif, yaitu optimisme yang terbagi menjadi dua yaitu perspektif-voluntarisme dan progresivisme yang mana optimisme dalam pemikiran politik kontemporer dapat ditafsirkan sebagai pencerminan dari pandangan Indonesia lama bahwa manusia menyesuaikan diri seiring dengan perkembangan zaman serta perubahan keadaan sosial dan politik modern.
Perkembangan ideologi-ideologi partai politik inilah yang kemudian berkembang memunculkan dinamika. Perkembangan ideologi pada mulanya diawali oleh mereka yang memiliki keterikatan dengan ideologi tertentu. Berbeda dengan cendekiawan yang hanya sedikit yang mengikatkan diri pada ideologi, sekelompok masyarakat memilih mengikatkan pada ideologi-ideologi tertentu yang mayoritas dianut oleh organisasi massa, yang kemudian menjadi partai politik (Feith, 1970). Masyarakat yang memilih bergabung dan mengikatkan diri pada ideologi tertentu bertujuan untuk mencari sebuah komunitas yang memiliki kesamaan pandangan dan komunitas tersebut menyediakan solusi terhadap permasalahan yang muncul di era perjuangan saat itu (Feith, 1970).
Pada mulanya pembentukan partai dilarang oleh Belanda. Hal ini disebabkan karena organisasi massa telah berlandaskan pada ideologi tertentu. Nasionalisme adalah ideologi yang melekat pada banyak organisasi massa saat itu. Salah satunya adalah PNI (Partai Nasional Indonesia). Ada organisasi massa yang berlandaskan pada ideologi Islam, misalnya Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Sarekat Dagang Islam, dan sebagainya. Lalu, lahir Partai Komunis Indonesia yang berlandaskan pada ideologi komunis. Lahir dari Sarikat Islam golongan merah, PKI kemudian menjalankan aktivitasnya dengan berlandaskan nilai-nilai komunisme. Selain itu, di masa penjajahan Belanda, pemikiran-pemikiran politis saat itu banyak dipengaruhi oleh usaha-usaha mencapai kemerdekaan (Feith, 1970).
Memasuki zaman penjajahan Jepang, organisasi massa dan partai politik mulai berkembang pesat. Hal ini disebabkan karena pemerintah kolonial Jepang mengizinkan pendirian organisasi massa dan partai politik tersebut. Salah satu partai politik yang lahir dan dikenal adalah Masyumi. Masyumi berlandaskan ideologi Islam, namun perbedaannya, Masyumi lebih mengarah pada ideologi Islam reformis (Feith, 1970).
Berbeda dengan apa yang disampaikan soekarno mengenai pemikiran-pemikiran ideologi yang berkembang di Indonesia, Feith (1970) membaginya menjadi lima jenis ideologi yang berkembang saat itu, tradisionalisme Jawa, nasional radikal, sosialis demokratis, Islam, dan komunis. Era tahun 1955 adalah era yang menjadi momen pertama pelaksanaan pemilu di Indonesia. Empat partai memenangkan pemilu ini, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Empat partai ini mendominasi pemerintahan Indonesia saat itu. Hingga memasuki tahun 1959 saat Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, dinyatakan akan disatukannya ideologi-ideologi partai politik Indonesia saat itu yang berbasis Nasionalis, Agama, dan Komunis. Penyatuan ini kemudian dikenal sebagai Nasakom.
Tidak hanya berhenti pada terbentuknya Nasakom saja. Pada tahun 1965 muncul pemberontakan yang dikenal sebagai G30S/PKI. Pemberontakan ini dianggap sebagai bukti bahwa Nasakom sulit untuk dilaksanakan di Indonesia. Ini pula yang menjadi alat doktrin era pemerintahan Soeharto bahwa PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan segala ideologi yang berhubungan dengan komunis, termasuk marxisme, dilarang muncul dan dikembangkan di Indonesia. Selama era pemerintahan Soeharto, tidak banyak partai politik yang eksis. Partai Golkar mendominasi di setiap pemilu yang diselenggarakan, termasuk mendominasi dalam kursi DPR maupun MPR. Ideologi partai saat itu hanya ada nasionalis dan agama. Sementara ideologi komunis dilarang di Indonesia, era pemerintahan Soeharto, kalangan TNI dan Golkar adalah dominator dalam pemerintahan (Feith, 1970).
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat beragam perkembangan ideologi yang pernah memasuki negara ini. Islamisme, Marxisme, Komunisme, Liberalisme atau Nasionalisme turut memberikan warna khususnya dalam dinamika perpolitikan Indonesia baik pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Bermacam ideologi tersebut menjelaskan mengenai variatif ideologi di Indonesia didominasi oleh dorongan untuk terbebas dari kolonialisme Belanda. Membahas mengenai Islamisme dan Marxisme serta kaitannya dengan Nasionalisme. Ketiganya membawa gambaran atas perkembangna ideologi-ideologi tersebut di masa kontemporer seperti sekarang ini. Setelah Indonesia merdeka dan secara otomatis memiliki ideologinya sendiri yang sesuai dengan nilai filosofi bangsa. Islamisme dipandang sebagai sekelompok masyarkat beragama Islam dengan prinsipnya masing-masing. Paham ini bahkan dalam kondisi sekarang ini sudah mengalami perpecahan ke berbagai macam jenis aliran. Sementara Marxisme, di era kontemporer tidak dijadikan sebagai ideologi utama oleh karena Indonesia cenderung ke arah Nasionalis.
Referensi:
Alfian. 1971. Indonesia Political Thinking: a Review, dalam Indonesia, vol. 9, pp.193-200
Feith, Herbert, 1970. Pengantar. Dalam: L. Castles, 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES, pp.xil-lxvii
Hindley, Donald, 1970. Alirans and the Fall of the Old Order, dalam Indonesia, 9, pp. 23-66.
Soekarno, 1964. Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dalam Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta: Departemen Penerangan, pp. 1-23