Oleh: Faith Silmi, PM BAKTI NUSA 9 Solo
Ayo sini, kita pergi bareng Sutan Sjahrir dan Agus Salim. Tepatnya ke Mesir. Kita bersamai mereka untuk menemui seseorang, yang darinya kita bisa belajar. Beliau adalah Hasan Al Banna, tokoh Mesir yang ditemui para diplomat Indonesia. Untuk apa? Datang di kampanye pencapresan? Bukanlah! Agus Salim datang untuk berterima kasih kepada Al Banna.
Maklum, Hasan Al Banna adalah salah satu yang awal kali menyambut gaung semangat nasionalisme Indonesia, gema kemerdekaan Indonesia. Ya, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan kita, dan beliau bersama organisasinya adalah salah satu yang banyak memprovokasi Raja Farouk, penguasa Mesir saat itu.
Apa yang dilakukan Hasan Al Banna bukan tanpa sebab. Ini dapat diruntut dari apa yang disampaikannya, bahwa nasionalisme tidak harus mempersempit dunia. Juga tidak selalu mengagungkan kepentingan negara dan bangsanya sendiri di atas apapun.
Nasionalisme seharusnya adalah kerinduan dan kecintaan pada tanah air, bukan hanya jargon “saya ini” dan “saya itu”. Nasionalime mestinya menghasilkan rasa kangen ketika jauh, cinta kepada pertiwinya. Persis, seperti Bilal, penyeru adzan pertama, yang begitu kuat agamanya, juga merupakan orang yang begitu rindu kepada Mekkah, tanah airnya, ketika beliau harus jauh di Madinah.
Nasionalisme adalah kehormatan dan kebebasan, bukan doktrin sempit penguasa yang dipaksakan ke kampus-kampus. Nasionalisme yang mengajarkan untuk berjuang meraih kebebasan dari imperialisme dan kolonialisme, juga yang “neo-neonya”. Nasionalisme yang menanamkan kehormatan bahwa bangsa sama derajatnya, tingginya, mulianya dengan mereka bangsa yang menjajah itu. Sama seperti Fatahillah, yang tak rela Sunda Kelapa dan Nusantara diinjak-injak oleh Portugis, maka diserbu dan dibebaskan Sunda Kelapa, menjadi Jaya Karta.
Nasionalisme mestinya persatuan dan kemasyarakatan, bukan saling memperolok mereka yang nampak tidak nasionalis, atau mencap orang-orang “wah, kamu tidak bhineka”. Bukan juga asas tunggal seperti Orde Baru dulu. Nasionalisme seharusnya persis seperti Samanhudi, yang menjalin kekuatan masyarakat pribumi untuk menjalankan kongsi dagang, melawan kongsi pendatang dan kompeni yang mematikan ekonomi rakyat. Juga Diponegoro, yang menggalang kekuatan bersama masyarakat untuk melawan VOC, hingga menjadi salah satu faktor kebangkrutan kompeni.
Nasionalime selayaknya adalah pembebasan. Bukan pembatasan pada geografis batas negara, atau saling acuh terhadap nasib yang terjajah nan jauh disana. Persis seperti Pati Unus, utusan Sultan Demak yang ikut membantu Aceh, menyeberangi lautan utara untuk melawan Portugis. Juga seperti Sultan Turki Utsmani, yang mengirimkan bala bantuan kapal dan meriam untuk menyerbu Belanda yang tengah menggempur ujung utara Sumatera.
Nasionalisme kerinduan, kemasyarakatan, persatuan, pembebasan dan kehormatan itulah yang mendasari Hasan Al Banna, seorang Mesir, mau bersegera ikut mendukung kemerdekaan Indonesia. Dari Mesir, lalu berduyun-duyun negara Timur Tengah dan Vatikan mengakui kemerdekaan Indonesia. Demikian Bung Hatta menyampaikan, ““Kemenangan diplomasi Indonesia dimulai dari Kairo. Karena, dengan pengakuan Mesir dan negara-negara Arab lainnya terhadap Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan tertutup bagi Belanda untuk surut kembali atau memungkiri janji, sebagai selalu dilakukannya di masa-masa yang lampau.”
Dan Hasan Al Banna pun bukan seorang omong kosong. Begitu mendapat kabar proklamasi Indonesia, beliau bersama kawan-kawan organisasi yang beliau dirikan, melakukan demonstrasi besar untuk memaksa Raja Farouk agar mengakui kemerdekaan Indonesia. Pun begitu tersiar kabar agresi militer, mereka menghalau kapal-kapal Belanda yang hendak membantu agresi ke Indonesia di terusan Suez.
Bersama banyak ulama Mesir dan Timur Tengah, beliau juga menginisiasi berdirinya Panitia Pembela Indonesia. Melalui itu, kemerdekaan Indonesia bisa dipromosikan di forum-forum internasional. Padahal sebelumnya, kemerdekaan Indonesia hanya dianggap masalah dalam negeri pemerintah kolonial Belanda, sampai Mesir mengakui pada 22 Maret 1946.
Apabila standar nasionalisme kita adalah seberapa besar kita membantu perjuangan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, maka dibanding Al Banna dan kawan-kawannya, kita ini hanya seorang Nasionalis-nasionalisan.
Kita yang hanya mengikuti jargon buatan pemerintah hanyalah seorang nasionalis-nasionalisan. Atau kita yang begitu bersemangat dengan bahasan nasionalisme dan bhineka tapi abai terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat kecil, kita juga nasionalis-nasionalisan. Bandingkan orang-orang Mesir, yang bahkan tak pernah pergi ke Indonesia, tetapi begitu getol mendukung kemerdekaan kita. Padahal, Malaysia saja bentrok dengan kita.
Selain itu, nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme sempit. Sila ketiga tidak berbunyi “ke-Indonesiaan di atas segalanya” atau “Kepentingan nasional adalah yang utama”, tetapi nasionalisme kita adalah Persatuan Indonesia! Bukan pula nasionalisme yang membuat kita antipati dan jijik terhadap sesuatu yang berasal dari luar Indonesia. Memangnya paham nasionalisme pertama kali muncul pas makrab di Tawangmangu? Bukan, tapi di Eropa.
Nasionalisme kita bukan nasionalisme kepartaian, yang membentuk golongan sendiri dan malah memecah masyarakat menjadi “nasionalis vs non-nasionalis”, “nasionalis vs konservatif” atau yang “nasionalis vs anti-bhineka”. Nasionalisme yang malah mempropagandakan standar ketat bagi warga masyarakatnya untuk berpikir dan bertindak serta beragama.
Nasionalisme kita juga bukan nasionalisme sempit. Seperti nasionalisme proyek Barat, yang memecah sebuah wilayah dan bangsa menjadi terkotak-kotak di dalam imaji batas negara saja, lalu membaginya untuk dikuasai. Nasionalisme yang membuat bangsa Kurdi harus terpecah di empat negara.
Maka, kita patut khawatir, kepada pemaknaan sempit nasionalisme. Pemaknaan yang menganggap bahwa menjadi Pancasila adalah semudah menghafal butir-butirnya saja. Apalagi yang menganggap nasionalisme diukur dari mendukung tokoh nasionalis, partai nasionalis, atau ikut organisasi nasionalis saja.
Tetapi itu semua boleh. Dilegalkan oleh hukum. Gak masalah. Hal yang menjadi masalah adalah, yang menganggap bahwa yang diluar mereka, tak ada sebesar biji zarrah pun nasionalisme di hatinya. Selamat Hari Lahir Pancasila