Narasi yang Terulang

Oleh Mutia Aristawidya Paramesti (PM BAKTI NUSA 9 Bandung)

Meskipun pancasila tidak pernah menuntut demokrasi, nyatanya sejarah mengantarkan Indonesia sampai pada sistem pemerintahan seperti ini. Meski entah apakah demokrasi hanya dijadikan prasyarat dan retorika politik belaka.

Bisa saja semua kenyamanan ini berubah, baik melalui cara yang resmi maupun pemberontakan. Semua kalang kabut untuk memastikan urusan dan rencananya berjalan baik-baik saja. Hanya yang perlu diingat, bila tidak siap dengan perubahan, siapapun dapat tergilas oleh yang memiliki kepentingan.

Mungkin waktunya Indonesia membuka mata untuk tidak hanya melihat dari sisi yang paling disenangi, tapi dengan cara yang paling baik dan benar. Tetapi, mau memakai aturan yang mana? Silahkan memilih, selama masih diberi kebebasan untuk berlaku sesuka hati.


Indonesia dihebohkan dengan kontestasi politik pemilihan umum hingga terpecah menjadi dua kutub. Perpecahan menyisakan luka bagi sebagian orang, bahkan mungkin saja menyebabkan kerenggangan di tengah keluarga kita. Tahun lalu, masyarakat dihebohkan dengan isu radikalisme. Tulisan di atas adalah buah dari kegelisahan saya seusai mewawancarai salah seorang anggota unit kegiatan mahasiswa di kampus saya pada Juli 2018, yang dibekukan karena dicurigai terafiliasi radikalisme. Satu hal yang saya soroti adalah adanya ketidaksamaan persepsi tentang memahami sejarah dan dasar negara ini, sehingga dianggap jauh dari corak Islam dan kurangnya sikap toleransi dalam memahami perbedaan.

Muslim dan nonmuslim. Pribumi dan asing. Terjajah dan dijajah. Perubahan dan konservatif. Narasi klasik dalam perjalanan pencarian identitas bangsa ini kembali terulang. Ada pihak yang sudah berjuang, namun pihak yang lain merasa tak diuntungkan. Maksud awal untuk mendayagunakan kekayaan alam dan insan, berbelok menjadi kerusakan dan penindasan. Dengan alasan mengatasnamakan rakyat, akhirnya muncul golongan atas dan bawah; kesenjangan kian terlihat.

Ketika umat Islam disibukkan dengan perdebatan tentang benar dan salah, itulah awal dari kemunduran yang sesungguhnya. Fiqih haruslah diimbangi dengan kesadaran untuk mengamalkan kebenaran yang telah ditetapkan, lalu menyelesaikan urusan umum dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bagaimana beliau bermuamalah dengan profesional dan memberikan hak-hak mendasar kepada seluruh warga negara, bahkan umat nonmuslim sekalipun.

Untuk mewujudkan negara yang kuat, hal yang perlu diterapkan adalah keadilan. Sesuai dengan sila kelima dari Pancasila sebagai penyempurna, sesuai pula dengan firman Qur’an.

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Maidah: 8)

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S Al-Mumtahanah: 8)

Menukil Sekapur Sirih dari buku karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, besar sekali peran kepemimpinan ulama dan santri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara dalam menjawab serangan imperialis Barat dan Timur. Simbol identitas Indonesia sebagai bangsa juga tak lepas dari corak Islam yang begitu kental. Hanya saja, kita, umat muslim masa kini, hanya memahami sejarah sebagai catatan di atas kertas, tanpa mampu menginterpretasi menjadi sebuah perjuangan baru untuk mempertahankan para pendahulu kita dalam mengenyahkan segala bentuk penjajahan.

Maka, akankah kita mengulang narasi kerusakan yang sama, atau bangkit untuk merangkai keadilan bersama?