Dua tahun yang lalu, seseorang pernah bertanya kepada saya. Pertanyaannya cukup mengejutkan dan membuat saya mengambil jeda beberapa detik untuk berpikir.
Pertanyaannya adalah,
”Apakah agama yang kamu anut saat ini adalah pilihanmu atau pilihan keluargamu?”.
Saya adalah seorang muslimah. Jika pertanyaan itu datang dari seorang muslim, maka saya tidak akan sekaget itu. Namun, masalahnya adalah pertanyaan ini datang dari dosen saya, seorang perempuan non-muslim yang berusia sekitar 30-40an tahun, di kelas Japanese Culture Osaka City University, tempat saya melaksanakan program student mobility saat semester 7. Saat itu, kami sedang membahas sebuah buku mengenai perkembangan Jepang dalam berbagai bidang, termasuk aspek keagamaan. Saya sadar bahwa apapun jawaban yang keluar dari mulut saya yang notabene adalah representatif muslim di mata beliau, sedikit banyaknya akan mempengaruhi penilaian beliau terhadap muslim di Indonesia, terutama pada aspek kebebasan beragama.
Pertanyaan di atas mungkin terdengar agak tidak sopan mengingat Jepang adalah negara yang sangat menghormati privasi orang lain. Tapi, saat itu kebetulan situasinya sedang dalam diskusi akademik yang sesuai dengan konteks pertanyaan tersebut. Redaksi kalimat beliau pun tidak sefrontal itu. Lebih jelasnya, beliau bertanya, “Bagaimana kebiasaan di Indonesia? Apakah keluarga membebaskan anak-anaknya dalam memilih kepercayaan mereka? Apakah agama yang kamu anut saat ini adalah pilihanmu atau pilihan keluargamu?”.
Berdasarkan buku yang kami bahas saat itu, dikatakan bahwa mayoritas masyarakat Jepang cenderung didefinisikan sebagai mushūkyō atau “without religion” karena mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok agama tertentu. Meskipun begitu, mereka aktif berpartisipasi dalam banyak kegiatan keagamaan dan festival tahunan. Hal ini terjadi karena tidak ada ketentuan yang mutlak mengenai definisi dan penggunaan konsep “agama” atau shūkyō di Jepang. Meskipun para akademisi menyadari bahwa agama di Jepang memiliki banyak dimensi – misalnya institusional, doktrinal, dan ritual -, namun semuanya tidak dapat dianggap memiliki tingkat kepentingan yang sama. Peran dari kepercayaan, atau dimensi doktrinal dari agama, dianggap tidak terlalu signifikan oleh sebagian besar masyarakat Jepang, yang mana menjadi alasan kenapa mayoritas masyarakat Jepang fokus pada “primary of action” atau praktek ritual atau keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sependek pengetahuan saya yang belum seujung kuku ini, poin terakhir mengenai peran dimensi doktrinal dari agama tersebut sangat bertolak belakang dengan konsep Islam, dimana Islam adalah agama yang dibangun di atas pondasi akidah yang kuat. Apalah arti dari banyaknya praktek-praktek keagamaan yang dilakukan bila tidak dilandasi dengan kepercayaan yang kokoh?
Sebelum pikiran saya sempat menghakimi masyarakat Jepang dengan kebiasaan hidup beragamanya yang demikian, saya sadar bahwa sebenarnya di Indonesia pun banyak penganut mushūkyō yang terselubung. Tidak percaya? Di agama yang saya anut ini saja sudah banyak contohnya. Salah satunya adalah di balik ramainya perayaan Idul Fitri setiap tahun, ada sekelompok bapak-bapak yang konsisten makan siang selama Ramadan di balik tirai-tirai warung makan. Istilah sederhananya, ‘Islam KTP’. Dampak dari banyaknya ‘Islam KTP’ ini berbahaya sekali. Umat Islam akan kelihatan banyak tapi hanya seperti buih di lautan, – seperti yang pernah dikatakan oleh Rasulullah-, alias tidak ada kualitasnya
Fakta ini membuat saya memikirkan pertanyaan lain. Orang-orang ini mungkin sudah memeluk Islam sejak lahir karena terlahir dari keluarga yang beragama Islam pula. Mereka mungkin juga sudah melewati belasan atau puluhan Ramadan. Tapi kenapa konsep dan nilai-nilai puasa saja mereka belum paham? Sebuah riset kecil-kecilan membawa saya pada sebuah kesimpulan bahwa hal ini terjadi karena mereka menjadi orang Islam bukan karena pilihan, namun karena keadaan. Istilahnya, mereka adalah muslim by chance.
Terlahir dalam keluarga muslim adalah anugerah yang tidak ternilai. Meskipun pada awalnya kita menemukan diri kita yang tiba-tiba sudah memeluk agama Islam, namun seiring bertambahnya usia, kita diberikan kemampuan untuk berpikir, belajar, memilih, dan memastikan bahwa kepercayaan yang kita anut adalah yang terbaik. Oleh karena itu, pilihan mengenai agama seharusnya merupakan pilihan dari hati, terlepas dari kapan pun kesadaran itu datang.
Nah, kembali ke pertanyaan dosen saya tadi. Setelah beberapa detik kesunyian merayapi kelas, saya akhirnya menjawab, “Pilihan saya, tentu saja.”.
oleh : Puti Berkah Azurah – PM Bakti Nusa 10 Padang