Matahari sedang bersinar terang dengan panas yang terik hari Rabu, 26 Mei 2021. Aku memacu motorku dari Keputih, Surabaya menuju Banyuwangi. Aku pergi untuk melaksanakan program Marching For Boundary (MFB), sebuah program pengabdian masyarakat dari BAKTI NUSA. Aku dan tiga temanku lainnya dari Penerima Manfaat BAKTI NUSA 10 Regional Surabaya merencanakan akan melaksanakan MFB di Dusun Merak, Situbondo dari tanggal 27-29 Mei 2021, sebenarnya ada satu lagi teman kami, Fitra, tetapi ia sedang berada di luar Jawa Timur dan mempersiapkan diri dalam seleksi Pasca Sarjana di Universitas Padjajaran. Ketiga temanku, Atikah, Aulia (Aul) dan Madya, akan berangkat dari Surabaya dengan kereta dan akan transit di Stasiun Ketapang, Banyuwangi. Aul mengajak dua temannya dari SUN Foundation, yaitu Olaf yang sedang berkuliah di Universitas Jember dan Tining yang merupakan junior Aul di Universitas Airlangga tetapi merupakan warlok (warga lokal) di Ketapang, Banyuwangi. Akses menuju Dusun Merak hanya dapat ditempuh menggunakan perahu atau motor, oleh karena jarak yang jauh tentu akan sulit langsung naik motor dari Surabaya. Akhirnya kami akan berangkat dari rumah Tining dan akan menggunakan motor milik Olaf dan Tining ditambah aku yang berangkat dari Surabaya. Kereta mereka bertiga dijadwalkan berangkat jam setengah enam pagi di hari Kamis, tetapi karena aku takut ketinggalan menjemput mereka, akhirnya aku putuskan berangkat sehari sebelumnya.
Selama perjalanan, aku cukup mengalami kesulitan, pertama menerjang aspal di tengah hari dari Surabaya hingga Probolinggo cukup membuat diriku mandi keringat. Hal ini diperparah dengan banyaknya debu di jalanan yang lengket di badan. Kemudian aku harus kehujanan sekitar waktu Ashar di Klakah, Lumajang. Aku hampir menyerah untuk pergi ke Banyuwangi, karena pasti sampai di sana kemalaman jika menunggu hujan reda. Langit saat itu mendung pekat, seolah-olah hujan ini akan awet hingga waktu Maghrib. Bukan berarti aku sengaja baru berangkat dari Surabaya sekitar waktu Dzuhur, akan tetapi di pagi hari aku masih perlu ke Gadung, Gresik untuk mengambil satu tas travel yang berisi buku untuk didonasikan di MFB. Aku takut buku dalam tas ini basah jika aku memaksakan berangkat sebelum hujan benar-benar mereda. Akhirnya setelah memutar otak cukup lama, aku mengambil plastik yang cukup besar untuk melapisi buku di dalam tas dan aku pun melanjutkan perjalanan menggunakan mantel. Tantangan belum berakhir, ketika di jalan raya Jember menuju Banyuwangi, saat itu sudah masuk waktu Maghrib dan pada hari itu terjadi Gerhana Bulan. Jalanan diliputi kegelapan yang sangat pekat, hingga diperlukan lampu yang terang dari masing-masing kendaraan. Sayangnya waktu itu lampu ‘dekat’ motorku rusak sehingga hanya bisa menggunakan lampu ‘jauh’. Aku sangat berhati-hati dan selalu berusaha dekat dengan barisan kendaraan yang ‘mengular’ menembus Hutan Gumitir. Setelah hampir tujuh jam berkendara dan dua jam istirahat, aku berhasil sampai di Banyuwangi pada pukul setengah sembilan malam dan menginap di kos senior dahulu di kampus.
Pukul dua siang, aku, Atikah, Aul dan Olaf baru berangkat dari rumah Tining menuju Puskesmas Banyuputih, sedangkan Madya dan Tining baru berangkat hari Jumat sebab mereka masih ada kelas di hari Kamis. Sebagai informasi, Dusun Merak selain akses jalan yang sulit, di sana juga tidak terdapat sinyal untuk jaringan komunikasi dengan handphone, bukan hanya internet, telepon dan sms juga tidak bisa. Selain itu, dusun hanya dialiri listrik menggunakan genset dari jam lima sore hingga jam sepuluh malam. Jadi, Madya dan Tining memang tidak bisa berangkat bersama kami berempat langsung di hari Kamis. Kami perlu berkoordinasi lebih lanjut dengan kepala puskesmas terkait program pelayanan kesehatan di hari Sabtu nanti. Sayangnya kami terlambat, sehingga harus mendatangi salah satu pegawai puskesmas yang tinggal tidak jauh dari puskesmas untuk membantu kami dalam berkoordinasi dengan ketua puskesmas. Setelah berdiskusi cukup lama, kami berempat akhirnya baru mulai menuju Dusun Merak sekitar jam lima sore. Kami memacu dua motor kami menembus gelapnya malam di Taman Nasional Baluran (TNB) dengan bantuan cahaya bulan dan bintang.
Setelah ‘drama’ tersesat ke pantai serta sepatu yang basah akibat menyebrangi jalan yang terendam air laut yang sedang pasang, kami sampai di Dusun Merak mendekati waktu Isya. Kami disambut oleh salah satu warga yang memang sebelumnya sudah dikunjungi oleh Aul, Olaf dan Tining bulan puasa lalu. Kami disajikan berbagai makanan termasuk camilan lebaran serta ditawari beberapa minuman mulai dari air, kopi dan teh. Awalnya aku sudah mendengar dari Olaf, bahwa airnya sangat ‘berasa’, aku yang sudah terbiasa dengan air yang berasa besi pun menganggap hal ini bukan masalah. Namun ketika aku mencoba ketiga minuman yang disajikan, aku sadar ternyata air di sana benar-benar jauh dari standar air minum yang ada. Akhirnya, aku memutuskan besok pagi harus membeli air minum dalam kemasan yang benar-benar layak untuk kami semua. Bagiku makanan di sana meski terkesan sederhana rasanya tetap oke di lidah, tetapi untuk air aku tidak bisa berkompromi. Aku hanya ingin MFB segera selesai dan cepat kembali ke Surabaya.
Kami sudah bersiap di pagi hari untuk program pengajaran kami ke satu-satunya SD yang ada di Dusun Merak, SDN Merak yang merupakan SD filial. Berdasarkan informasi kemarin, akan ada kunjungan dari Bupati Situbondo di daerah pesisir TNB, termasuk Dusun Merak. Akhirnya, jika beliau mampir ke SD, kami harus mengalah dan mengurangi kegiatan kami di SD. Kami tidak keberatan dan menyanggupinya. Kegiatan pertama kami adalah motivasi terkait cita-cita. Para siswa diminta untuk menuliskan cita-citanya dan menempelkannya di karton yang telah kami siapkan. Cita-cita yang disebutkan memang tidak terlalu banyak yang menarik, tetapi fakta bahwa masih ada siswa kelas 3 dan 4 SD yang masih belum bisa membaca cukup membuat hati saya tersayat. Belum lagi siswa kelas 5 dan 6 SD masih ada yang belum lancar dalam menulis dan perhitungan dasar. Saat ditanya, adakah tempat yang ingin dikunjungi, mereka banyak yang bingung. Saat ditanya siapa yang ingin lanjut sekolah ke SMP, hanya sedikit yang ingin melanjutkan. Aku tidak tau harus berkata apa lagi, bahkan lebih parah dibandingkan saat diberi pertanyaan oleh dosen saat sidang skripsi.
Kemudian setelah sesi cita-cita, kami melanjutkan dengan sesi mendongeng atau membaca bersama. Saat sesi ini sebenarnya aku melihat secercah harapan. Mereka sangat antusias bahkan berebut untuk dapat membaca buku-buku yang kami bawa. Maklum, sangat sedikit bacaan yang ada di sana. Akhirnya ungkapan ‘Buku adalah Jendela Dunia’, dapat aku pahami di tengah perkembangan globalisasi dengan internet. Jika tidak ada internet, buku pun dapat menjadi penghubung untuk mempelajari berbagai hal di dunia meski memang tidak sebanding dengan fasilitas yang ditawarkan internet. Hingga program kami selesai, Bupati tak kunjung datang. Namun, Kepala Dinas Pendidikan Situbondo dan beberapa pejabat lainnya datang ke SD dan sempat berdialog sebentar dengan kami. Pada sore hari, Madya dan Tining sudah sampai dan ikut dalam program pengajaran di Pesantren tetap kami menginap. Sasaran kami kali ini adalah anak RA (setingkat TK), sehingga kami lebih banyak mendongeng serta mewarnai bersama.
Besoknya, kami melanjutkan dengan program pelayanan kesehatan. Namun ada miskomunikasi antara kami dengan puskesmas. Ada obat dan beberapa pemeriksaan yang berbayar. Belum lagi, warga masih ‘kelelahan’ akibat menunggu Bupati mengunjungi dusun. Walhasil, tidak terlalu banyak warga yang datang untuk pemeriksaan kesehatan selain dari ibu hamil dan ibu-ibu para balita. Meski begitu, ada lebih dari lima puluh warga yang terlayani. Saat pelayanan berlangsung, salah satu Ketua Seksi TNB, menawarkan sekaligus mengizinkan kami untuk berkunjung ke beberapa pantai yang ada sebelum pulang. Kami mengiyakan dan berangkat setelah selesai pelayanan kesehatan. Kami terus melewati beberapa pantai hingga akhirnya mencapai Bukit Kakapa. Meski harus melewati track bebatuan di tanjakan yang sangat curam serta terluka akibat tanaman berduri di sepanjang jalan, setidaknya kami merasa cukup puas dengan pemandangan lautan yang disajikan.
Matahari mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Kami akan pulang kembali menuju Ketapang, Banyuwangi. Kami berencana untuk berwisata dahulu selama hari Ahad, sebab kereta untuk Atikah, Aul dan Madya baru berangkat Senin sore. Kami berkunjung ke Pantai Sijile, Bekol Savana, Pantai Bama dan Waduk Bajulmati. Ibaratnya setelah menjalani tugas berat, kami memerlukan penyegaran. Setelah hari berganti, begitupun dengan hatiku. Awalnya hanya ingin sekadar menggugurkan kewajiban MFB, tetapi sekarang malah jadi semangat dan mau menambah waktu pengabdian (bukan buat liburan kok, hehe). Aku menyadari bahwa masih banyak hal yang harus dituntaskan dalam pemerataan pembangunan di Indonesia dan tentu itu tugas besar yang diemban para pemuda Indonesia.
Banyak hal yang aku pelajari dari program MFB, salah satunya dari para siswa SD di Dusun Merak. Mereka tidak kecanduan dengan handphone apalagi game online seperti para bocah seumuran mereka di kota. Meski dengan keterbatasan pengajar dan fasilitas, mereka masih ada yang semangat untuk terus belajar. Ketika melihat mereka sangat antusias dalam membaca buku, aku merasa mereka memang hanya haus ilmu pengetahuan semata. Sedangkan, aku masih sering mengeluh ketika dihadapkan tugas perkuliahan atau pekerjaan yang mengharuskan aku untuk membaca berbagai jurnal dan literatur lainnya. Motivasi belajar menjadi diikuti oleh ingar bingar uang dan prestise. Memang benar, hikmah kadang tidak hanya dapat diperoleh dari mereka yang memiliki usia sepuh, dari kepolosan dan ketulusan para siswa SD di Dusun Merak, mengingatkan aku untuk ‘Belajar Sepenuh Hati’ yaitu ikhlas dalam belajar dan belajar untuk ikhlas. Ikhlas dalam belajar, hendaknya kita memurnikan niat kita dan dengan tulus sepenuh hati mencari ilmu tanpa ada beban dan paksaan. Lalu belajar untuk ikhlas, dengan ilmu dan pengalaman yang kita peroleh hendaknya menguatkan kita untuk senantiasa beramal baik karena Allah semata.