Mempertanyakan Kembali Definisi Zona
Jangan takut untuk keluar dari zona nyaman. Kalimat ini sering kita dengar baik dalam seminar motivasi, career coaching, hingga posting media sosial. Pada awalnya, penulis mendapati nasehat ini sangat rasional dan konstruktif. Pasalnya, nasehat ini mengajarkan kita untuk dapat memiliki hidup yang lebih menantang dimana kita dianjurkan melangkah ke zona yang dianggap belum pernah kita lakoni sebelumnya. Ini dianggap penting, karena dengan melakukan sesuatu yang rutinitas normal, kita akan dapat mengembangkan potensi diri, melalui pengalaman, pengetahuan dan kemampuan baru yang didapat.
Lama narasi ini beredar pada dalam ruang publik, belakangan penulis kembali mempertanyakan konsep yang sangat populer ini. Sebetulnya, apa yang dimaksud keluar dari zona nyaman? kepada apa kata zona itu merujuk? Apakah keluar dari kenyamanan adalah satu-satunya cara untuk mengeksplorasi diri dan potensi yang ada?. Melalui tulisan singkat ini, penulis akan mencoba membahas narasi keluar dari zona nyaman dari perspektif penulis sebagai upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pertanyaan paling dasar dari narasi keluar dari zona nyaman adalah belum adanya konsep yang begitu jelas tentang apa itu zona dan seperti apa konteks dari kata zona, ketika diasosiasikan dengan kata sifat nyaman. Merujuk pada definisi kamus Oxford, comfort zone atau zona nyaman diartikan sebagai suatu situasi dimana seseorang merasa aman dan nyaman.[1] Sedangkan menurut Alasdair A. K. White pada jurnal From Comfort Zone to Performance Management, zona nyaman adalah keadaan psikologis seseorang yang merasa tentram karena adanya kontrol terhadap pada lingkungan sekitarnya sehingga mengalami tingkat stres atau perasaan asing yang rendah.[2] Disamping itu, dalam beberapa seminar penulis juga sering mendengar bahwa zona nyaman juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang telah menjadi rutinitas bagi seseorang. Contohnya, menjadi karyawan untuk sebuah perusahaan atau menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Dari 3 definisi di atas, tanpa memberturkan gagasan masing-masing perspektif, dapat disimpulkan bahwa secara umum zona dalam konteks zona nyaman dapat merujuk pada tiga hal yakni tempat, kondisi psikologis, atau sebuah kegiatan.
Relasi Zona dan Rasa Nyaman
Pertanyaan selanjutnya yang harus diurai yaitu dari mana rasa nyaman dapat muncul pada sebuah zona, baik dalam defenisi zona sebagai tempat, kondisi psikologis, atau sebuah pekerjaan. Pertama, nyaman dalam definisi tempat. Penulis lahir dan juga besar di Kota Padang, Sumatera Barat. Mulai dari bangku sekolah dasar penulis tidak pernah berdomisili di kota lain dalam waktu yang relatif lama hingga menyelesaikan S-1. Tentu saja dengan demikian sudah hampir semua macam karakteristik Kota Padang penulis pahami. Seperti kultur sosial, budaya, dan bahkan seluk belok area kota. Melanjutkan hidup di Kota Padang tidak akan menyulitkan bagi penulis. Sebab, penulis telah menguasai atau memiliki kontrol yang memadai mengenai lingkungan Kota Padang. Ini berarti Padang, berdasarkan definisi Alasdair A. K. White, adalah zona nyaman penulis.
Dengan latar belakang seperti diatas, mayoritas pembicara publik normalnya akan menyarankan penulis untuk keluar dari zona nyaman (Padang). Pada tahun 2018 penulis juga berfikir demikian, dan kabar baiknya, penulis mendapatkan kesempatan untuk keluar dari Padang melalui sebuah program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional di Vietnam Selatan. Melalui program ini, penulis berkesempatan untuk melakukan sejumlah kegiatan di 2 Provinsi Vietnam Selatan selama kurang lebih 1 bulan dengan bonus perjalanan transit di Kuala Lumpur, Malaysia. Akan tetapi, perjalanan ini justru membuat penulis berfikir ulang tentang nasehat “keluar dari zona nyaman”. Pasalnya, sepanjang perjalanan di 2 negara tersebut, penulis tidak menemukan rasa tidak nyaman. Baik Padang ataupun Long Xuyen (Nama Kota yang penulis kunjungi), memiliki rasa nyaman yang sama (walaupun dalam hal yang berbeda). Memang, dalam bahasa, budaya, kuliner,dll antara Long Xuyen dan Padang memiliki banyak perbedaan. Namun, Vietnam masih terasa sebagai rumah bagi penulis. Begitu juga dengan Kuala Lumpur, dimana penulis bahkan menemukan keluarga angkat yang hingga saat ini selalu seperti keluarga sendiri setiap kali penulis kembali berkunjung. Hingga penulis meninggalkan Long Xuyen, kota ini masih terasa dalam kontrol dan tingkat stress yang juga relatif sama dengan Padang. Terkadang memang terdapat masalah, namun kebanyakan momen dilalui dengan kebahagiaan.
Kasus yang mirip, juga terjadi pada saat penulis memilih dari jurusan Hubungan Internasional (HI) dimana sebelumnya penulis adalah siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di bangku SMA. HI yang notabenenya mempelajari politik internasional, membuat penulis harus banyak membaca jurnal dan menulis tulisan ilmiah. Akan tetapi, tetap saja, bagi penulis antara IPA dan HI, memiliki tingkat stress yang setara. Tsidak ada perbedaan tingkat stress yang signifikan hingga penulis menamatkan kedua jurusan ini. Disamping itu, seingat penulis kondisi psikologis penulis dalam merasakan nyaman juga relatif sama ketika di bangku SMA maupun di PTN. Terkadang terdapat masalah, namun kebanyakan momen dilalui dengan kegembiraan. Ini berarti, berubahnya rutinitas penulis dari jurusan IPA (yang dapat dikatakan merupakan zona awal penulis) ke jurusan HI juga tidak serta-merta membuat penulis merasa tidak nyaman. Keduanya terasa berada pada keadaan psikologis yang sama.
Berangkat dari pengalaman diatas, penulis menyimpulkan bahwa zona nyaman hanyalah sebuah konsep. Kita tidak pernah benar-benar diubat nyaman oleh sesuatu diluar diri seperti tempat, orang-orang sekitar, ataupun kegiatan yang kita lakukan. Dengan kata lain, tidak terdapat suatu hubungan atau relasi antara tempat dan rasa nyaman yang kita rasakan. Atau, dapat dikatakan zona nyaman dapat dikatakan inexist (tidak ada).
Asal-Usul Rasa Nyaman Suatu Zona
Disebut inexist atau (tidak ada) karena tidak ada sejatinya tempat, keadaan psikologi, maupun kegiatan yang dapat dikategorikan nyaman atau tidak nyaman. Setiap tempat, keadaan, maupun kegiatan memang menawarkan pengalaman yang berbeda. Akan tetapi, rasa nyaman pada suatu hal tidak tergantung oleh tempat, keadaan psikologi, maupun kegiatan yang dilakukan. Misalnya, apabila sedari awal kita menetap pada kota kelahiran dan menganggap kota tersebut membosankan, maka kota yang dihuni selama ini juga tidak akan menjadi zona nyaman. Atau dalam kasus kedua, apabila suatu kegiatan yang kita telah kita lakukan bertahun-tahun dinilai sebagai kegitan yang menyebalkan, maka kegiatan tersebut juga tidak akan menjadi zona nyaman walaupun, segala hal telah berada pada kontrol individu dengan tingkat stress paling minim.
Menurut penulis, rasa nyaman pada zona apapun, berasal dari alam pikiran individu. Alam pikiran inilah yang menjadi penentu apakah suatu tempat, keadaan, atau kegiatan dapat dikatakan zona nyaman atau bukan. Apabila diawal penulis berfikir Long Xuyeng ataupun HI merupakan bukan zona nyaman bagi penulis, maka disaat yang sama, semua kegiatan yang penulis lakukan saat itu pasti akan terasa berbeda dengan di Padang maupun jurusan IPA. Mungkin, Long Xuyeng dapat terasa sebagai kota yang asing, berbeda, atau penuh dengan stres (setidaknya diawal). Namun sebaliknya, semua terasa nyaman karena segala hal dipersepsikan sama. Artinya, semua zona pada hakikatnya bersifat netral hingga kita membentuk persepsi-persepsi tertentu tentang zona tersebut. Adanya istilah keluar dari zona nyaman, sebetulnya disebabkan oleh kebanyakan orang mempersepsikan tempat, keadaan psikologi, maupun kegiatan yang akrab dengan kita saat ini sebagai kenyamanan. Sedangkan tempat, keadaan psikologi, maupun kegiatan apapun yang belum akrab, dianggap sebagai zona tidak nyaman yang harus dituju.
Padahal, semua zona pada dasarnya sama. Kita tetap dapat bertumbuh menjadi orang yang lebih baik kendati tetap berada pada zona yang sama. Begitu pun dengan orang yang berpindah-pindah zona. Mengapa? Karena, dimana pun manusia berada, selama manusia hidup akan selalu ada masalah. Masalah demi masalah ini akan menguji kehidupan manusia dan membuatnya lebih baik. Tentu saja selama invidu tersebut menjalani segala dinamika dengan tekun dan pantang menyerah.
Epilog
Kendati demikian, bukan berarti penulis ingin mengatakan bahwa pergi ke suatu tempat atau melakukan aktivitas yang berbeda adalah hal percuma. Karena setiap pengalaman di lain tempat akan membentuk kreativitas, kritisisme, dan juga kedewasaan. Akan tetapi, esai ini dimaksudkan untuk mengemukakan sebuah gagasan baru yakni kemanapun kita pergi, alam pikiran kitalah yang lebih menentukan kenyamanan. Pertanyaan yang menarik disini yaitu mengapa kita harus melangkah ke zona yang tidak nyaman, padahal ketidaknyamanan itu sendiri lahir dari persepsi kita sendiri. Bukankah perjalanan lebih menyenangkan jika kita mendapatkan semua pengalaman baru tanpa harus merasakan stress, asing, dan tidak nyaman? Karena kita dapat selalu ada dalam zona nyaman- pikiran kita sendiri.
Referensi
[1]Lexico powered by Oxford, “Comfort Zone Definition” https://www.lexico.com/en/definition/comfort_zone (diakses 2 Desember 2019)
[2] Alasdair A. K. White “From Comfort Zone to Performance Management” http://www.whiteandmaclean.eu/from-comfort-zone-to-performance-management/ (diakses pada 2 Desember 2019)