Oleh Faris Hafizh Makarim
Institut Teknologi Bandung
Apakah boleh kita kecewa dengan pemimpin kita? Pasti ada kalanya ketua kita di suatu komunitas atau kepanitiaan tidak memenuhi ekspektasi kita. Bisa jadi alasannya adalah karena kita memiliki ekspektasi tertentu terhadap apa yang ingin kita rasakan di organisasi tersebut. “Aku ingin kepanitiaan kita punya rasa kekeluargaan yang tinggi.” “Aku ingin organisasi kita ga kerja-kerja doang, kan di sini kita relawan.” Biasanya ekspektasi tersebut terbentuk karena kita pernah merasakan sesuatu yang kita sukai di kepanitiaan atau kepengurusan sebelumnya. “Tahun lalu kepanitiaan acara ini udah bonding cuma selama satu bulan aja, sekarang kita dingin banget.” “Mungkin tahun ini kalian bisa dapat uang lebih banyak, tapi tahun lalu kami bisa dapet kekeluargaan dan itulah yang lebih penting. Emang ketua tahun lalu mantap banget lah bonding-nya.” Pada akhirnya kita menyalahkan pemimpin kita karena kebetulan pemimpin kita ini tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Namun, pertanyaannya adalah kenapa kita harus menyandarkan semua ekspektasi kita ke pemimpin kita tadi?
Setiap pemimpin memiliki cara memimpin mereka masing-masing yang jelas sangat dipengaruhi oleh karakter dirinya. Maka dari itu, pemimpin yang baik di organisasi A belum tentu menjadi pemimpin yang baik di organisasi B. Jelas, karena organisasi A dan B memiliki kultur yang berbeda sementara pemimpin yang disebut tadi hanya memiliki kultur yang kebetulan sama dengan organisasi A. Si pemimpin ini pastinya akan dianggap gagal sebagai pemimpin di organisasi B. Pemimpin adalah orang yang tepat pada tempat yang tepat. Selain itu, organisasi selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Tantangan yang dihadapi organisasi itu sudah pasti terus berubah. Cara yang harus diterapkan pada setiap zaman selalu berbeda. Anggap saja pada tahun 2018, cara paling cocok untuk mengembangkan organisasi ini adalah dengan cara X sementara pada 2019, cara paling cocok untuk diterapkan di organiasi ini adalah cara Y. Maka, pemimpin dengan cara X hanya akan menjadi pemimpin yang baik pada tahun 2018, sementara cara dia tidak akan relevan saat dia harus menjabat dua periode. Pemimpin adalah orang yang tepat pada waktu yang tepat. Maka dari itu, pemimpin yang baik adalah dia yang bisa menyesuaikan cara dia sesuai dengan wadah dan zamannya untuk mencapai tujuan besar organisasi tersebut. Maka, kita sama sekali tidak bisa men-judge pemimpin kita adalah pemimpin yang absolut buruk karena bisa jadi dia hanya tidak cocok dengan wadah kepemimpinan dia sekarang serta zamannya. Saat kita paham bahwa pemimpin kita ini memang simpelnya kurang bisa menyesuaikan diri saja dengan wadah dan zamannya, kenapa kita tidak membantu dia menyesuaikan diri?
Inilah yang biasanya tidak terpikirkan oleh orang-orang yang hanya memiliki mental dilayani. Ya, karena biasanya kita dilayani dengan cara X, maka jika ada pemimpin dengan cara Y hadir, kita langsung banyak mengeluh. “Ah, dia mah begini, begitu…” “Aku nyamannya kalau begini, tapi yang dia bentuk begitu.” Ya, itulah yang dimaksud dengan mental dilayani. Karena selalu ingin nyaman dan segala keinginannya terpenuhi oleh ketua tadi, kita banyak mengeluh. Kita ingin dilayani oleh ketua kita. Maka saat ada kondisi tidak sesuai dengan keinginan kita, kita mengeluh. Dibalik itu, ada orang-orang yang memiliki mental melayani. Dengan kondisi yang sama—pemimpin yang hadir tidak sesuai ekspektasi—orang dengan mental melayani ini akan membantu si ketua ini untuk bisa menyesuaikan diri. “Oke, kepanitiaanku emang ga ada atmosfer kekeluargaannya, yasudah aku aja yang membuat atmosfer itu.” “Ketuaku gabisa deket sama orang-orang jadinya mereka ga nyaman ada di sini. Yasudah kalau begitu aku yang harus bisa menjadi orang yang dekat dengan mereka.” Kenapa si mental melayani ini hadir? Karena dia benar-benar memikirkan apa yang baik untuk organisasi tersebut, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri dan kenyamanannya. Selain itu, si mental melayani ini juga memiliki rasa empati—dia mampu memahami kondisi ketua dia dan memikirkan cara untuk membantunya. Ada orang yang ingin terus dilayani, dan ada juga orang punya mental melayani. Kamu yang mana?