Oleh : Fahrudin Alwi (PM BAKTI NUSA VII Jakarta, Ketua Puskomnas FSLDK 2017-2019)
Sebuah manifesto ishlahul afrad muncul sejak 622 M tak jauh setelah diangkatnya manusia dengan akhlak terbaik, Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul Allah SWT. Nilai luhur tersebut diwariskan dan terus diterapkan hingga diperbaharui dengan bahasa semi-post-modern menjadi sebuah terminologi “self-upgrading”. Terminologi ini bermanifestasikan konsep muwasshafat, sebuah konsep turunan dari arkanul baiah yang disarikan oleh tokoh pemikir Islam modern abad-20, Imamusyahid Hasan al-Banna –semoga Allah ampuni dosa beliau dan berkahi ilmu yang ditinggalkan berwasilahkan beliau–.
Ishlahul afrad menjadi sebuah tangga dasar bahwa memperhatikan kualitas diri wajib dilakukan bersamaan dengan kita memperbaiki kondisi keluarga hingga masuk tahapirsyadul mujtama’, memperbaiki masyarakat dan pemerintahan. Karena keluarga terdiri dari individu, maka ketika masing-masing individu berada pada kualitas yang optimal, maka keluargapun akan menjadi keluarga yang berkualitas. Begitupula masyarakat akan menjadi sebuah perkumpulan yang kokoh ketika masing-masing keluarga sebagai pilar masyarakat memiliki kekokohan kapasitas. Dan seterusnya hingga terbentuknya pemerintahan yang kokoh dengan dasar masyarakat yang cerdas, tasamuh, berkompeten serta mandiri.
“Dulu, saya punya cita-cita, di umur 30 tahun sudah mandiri secara keuangan. Terbebas dari hutang, dan memiliki perusahaan yang keuntungannya mampu menghidupi dakwah. Bukan saya hidup dari dakwah atau amanah dakwah.”, kata Murabbi –red, guru saya. Dan benar, atas izin-Nya, beliau mampu tidak mengambil keuntungan materi dari dakwah, namun justru menghidupi dakwah. Kisah Murabbi saya itu menggugah sebuah ‘hasrat’ untuk kembali hidup dengan dimensi yang lebih kaffah, komprehensif. Memikirkan dan mencontoh kemandirian finansial sebagaimana keuletan kanjeng Nabi Muhammad SAW ketika menjadi saudagar di usia belia hingga diangkat menjadi Rasul.
Memiliki pemikiran yang luas juga perlu disiapkan dalam rangka memenuhi perintah‘iqra’ serta menghindari tumbuhnya chauvinism dalam diri tanpa disadari: merasa paling benar dengan sempitnya keilmuan yang kita miliki. Dan kecerdasan otak perlu diiringi dengan keluhuran hati, hingga terbentuk akhlak yang kokoh untuk menghindari sifat sombong atas segala yang mungkin dirasa masuk diakal. Selain hal yang sifatnya non-fisik, qawwiyul jism –kekuatan fisik menjadi syarat sebuah pemikiran dan cita bisa lebih mudah tergapai. Maka menjaga kesehatan pun menjadi suatu hal yang menjadi wasilah terpenuhinya cita.
Dengan tools kemahiran mengelola urusan dan mengatur waktu, niscaya hal-hal yang sudah kita rencanakan akan lebih mudah terwujud. Secara praktis, setidaknya kita bisa menurunkan menjadi beberapa poin yang lebih mudah sebagai berikut:
- Pertama, adanya plan jangka menengah-panjang untuk menyukseskan muwashafat.Semisal: di umur 30 tahun kita harus sudah memiliki pendapatan berapa dan dari mana, sehari saya wajib membaca berapa halaman buku dalam rangka meningkatkan mutsaqaful fikr, berapa menit harus digunakan untuk olahraga harian, hingga kitab ulama siapa yang harus saya habiskan bersama majelis ilmu dalam satu bulan untuk memastikan aqidah dan ibadah saya “lurus”, dan selainnya.
- Kedua, ada kelompok usrah yang kokoh (kawan yang serasa keluarga) untuk saling mengingatkan tentang pentingnya ishlahul afrad, termasuk saling mengingatkan dalam rangka plan jangka menengah-panjang.
- Ketiga, mencatat segala perencanaan dalam note yang mudah terlihat atau setidaknya dapat sering dilihat, seperti dipasang pada dinding kamar, wallpaper ponsel pintar, atau note kecil yang sering kita bawa.
- Keempat, langitkan doa terbaik dan adukan pada Allah bahwa kita memiliki cita-cita tersebut. Minta juga agar orang tua dan orang terdekat kita membantu dalam doa dantirakat kebaikan kita.
Menjadi manusia berparadigma “lakukan yang terbaik di posisi kita” akan sangat membantu keluarga dalam saling memotivasi, meng-upgrade kualitas masyarakat, hingga terjaminnya penerus pemerintahan yang berkapasitas mumpuni untuk melanjutkan estafet perjuangan. Mari menjadi mukmin yang kuat, karna Allah lebih mencintainya daripada yang lemah. Sekaligus menjadikan diri sebagai bukti atas manifestasi kalam, “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” [8:65]. Semoga Allah menjadikan kita sebagai generasi Rabbani yang tangguh. Allahu yubaarik fiikum!
sumber : fsldk.id