Menghadang Cinta dengan Dalil Agama: Sebuah Kesia-siaan (?)

Oleh: Aditya Nurullahi Purnama (PM BA 8 Semarang)

Akhir minggu ini saya memutuskan untuk membatasi aktivitas. Menolak beberapa undangan acara dengan dalih menghadiri janji yang sudah saya buat. Saya memang tidak berbohong.Toh, saya memang membuat janji dengan diri saya sendiri untuk menghabiskan waktu bersama (red-seorang diri). Saya merasa lingkaran sekitar saya perlahan mulai menyebalkan. Bukan karena karakter mereka, tetapi nuansa pembicaraan yang kami bangun akhir-akhir ini kerapkali menyasar atau sengaja menyangkut dengan wacana pernikahan. Saya sejujurnya tidak membenci wacana itu sendiri. Hal yang membuat saya jengkel adalah ketika wacana pernikahan dibebankan terlalu banyak lelucon, angan-angan, kesenangan delusif, keyakinan teologis yang sempit, dan sederet beban yang akhirnya mengikis kemuliaan dan martabat dari wacana pernikahan itu sendiri.

Selama tumbuh dan berkembang di kampus, saya tumbuh dalam lingkungan pergaulan para aktivis dakwah kampus (ADK). Bukan, saya bukan bagian dari ADK itu sendiri. Saya bahkan tidak pernah mengafirmasi bahkan sampai mengonfirmasi diri saya sebagai ADK. Adalah beban moral menerima tanggungjawab nama tersebut. Sebagian ADK, bisa dibilang, adalah kelompok yang relatif puritan dalam memandang wacana asmara. Mereka begitu kering dalam hal ini dan memiliki pandangan kaku dalam mendefinisikan asmara. Mungkin bagi mereka, hubungan asmara adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan melalui pernikahan. Tidak ada cara lain merayakan asmara selain dengan merawat jarak dan memberi kepastian. Bagi saya hal ini tidaklah salah. Namun, sebagaimana saya amati, saya melihat bahwa ketika hak merayakan asmara mereka terkekang oleh norma puritan yang sudah lama terbangun, hal ini hanya menciptakan arus bawah yang semakin deras.

Saya yakin, ada sebagian ADK yang cukup malu, gengsi atau bahkan akan merasa teralienasi ketika mereka merayakan asmara dengan cara yang di luar kebiasaan. Sebut saja untuk aktivitas berbicara dengan lawan jenis tanpa hijab, menyebut lawan bicara dengan sebutan nama, (bukan diawali dengan kata ukh atau akh), duduk berdampingan dan bicara berdua, atau bahkan sekadar berbalas pesan di atas jam 9 malam. Sejujurnya saya tidak mempermasalahkan isu ini. Ini kembali pada keyakinan teologis atau prinsip masing-masing. Namun, saya melihat ada sebuah lubang besar yang menganga dalam suasana puritan tersebut. Lubang menganga -yang saya pikir secara potensial hampir sebagian dari kita tahu namun pura-pura tidak mengetahui- yang membuat sebagian ADK ini “tersiksa” secara batin dengan penerapan “norma puritan” tersebut sehingga mereka memutuskan mengambil jalan sunyi yang membuat kita bahkan sulit mengetahui sejauh mana mereka melampaui batas toleransi -yang secara agama- kita sepakati. Jelas, jalan sunyi ini layaknya sebuah persekongkolan yang bahkan kita tidak pernah mengerti apakah pada akhirnya hanya memberi dampak bagi satu dua orang semata atau sialnya bisa berdampak kepada banyak hal. Sial sekali bukan?

Asmara sebagai bagian dari fase hidup manusia adalah keniscyaan. Itu juga hal yang manusiawi dimana bisa menimpa mereka, dari para bedebah sampai para orang suci. Perkara hati adalah hal yang kompleks dan tidak bisa dipahami hanya berdasar pendekatan teks agama atau bahkan ilmu humaniora. Kadang kita juga perlu merasa dan mengalami agar benar-benar mengerti fase hidup tersebut.

Pada titik ini saya mulai berpikir bahwa tidak bijak untuk terlalu banyak mengatur tata pergaulan para sebagian ADK yang dimabuk asmara ini. Mereka sudah besar dan akan terus mendewasa seiring dengan bertambahnya pengalaman. Bagi saya, kemuliaan sebuah pengalaman terletak dari proses pergulatan yang dibangun, proses jatuh bangun, kekecewaan, terabaikan, patah hati, sampai pengucilan. Mereka, para sebagian ADK ini perlu mengalami hal ini ketika kita bicara dalam konteks belajar merayakan asmara. Mereka darah muda, mereka pernah, sedang, atau akan mengalami mabuk cinta, bucin atau sejenisnya. Mereka punya hak merayakan perasaan cinta lawan jenis dengan versi mereka masing-masing sekaligus hak untuk menerima konsekuensi dari jalan cinta yang mereka ambil. Konsekuensinya pun bisa beragam; bahagia dalam pernikahan, patah ditinggal, dikucilkan, dikecewakan, bahkan sampai dibuat merana seumur hidupnya. Pada akhirnya, mereka akan bertanggungjawab atas pilihan yang mereka ambil di awal. Dan hal ini mendasar ini sepatutnya sudah mereka mengerti.

Celakanya, terlalu sering memvonis sebagian ADK yang tengah dimabuk asmara dengan dalil agama hanya membuat mereka semakin jauh atau bahkan mengambil jalan sembunyi untuk menyalurkan hasrat mereka sehingga sulit diawasi. Dalil agama menjelma menjadi sumber ketakutan bagi mereka. Pada akhirnya yang mereka ingat tentang Tuhan adalah Tuhan Maha Penyiksa, bukan lagi tentang Tuhan Maha Penyayang.

Menurut hemat saya, untuk menghadapi sebagian kawan ADK seperti ini adalah dengan memberi nasihat sewajarnya. Dampingi sepatutnya tanpa perlu secara arogan masuk ke wilayah privasi mereka kecuali memang mereka yang menunjukan itikad keterbukaan. Jika mereka hendak “bermain api”, maka ingatkan konsekuensi yang akan diterima. Jika akhirnya mereka terbakar, jadilah orang bisa dijadikan rumah untuk mereka pulang dan berobat. Menjadi pendengar rasa sesal mereka yang baik tanpa sedikitpun terlintas untuk menghakimi. Ajarkan kepada mereka bahwa segala sesuatu memiliki harga yang pantas untuk dibayar, begitupun soal mempertanggungjawabkan rasa.

Dengan mengalami, segala pelajaran maupun nasihat akan lebih membekas di hati.

Pada akhirnya saya percaya bahwa wacana pernikahan tidak akan lagi menjadi hal yang menjengkelkan untuk didengar ketika percakapan tersebut dibangun dari pengalaman yang penuh kehati-hatian, bukan angan-angan pendek kebahagiaan. Perkataan yang penuh kebajikan adalah pikiran yang dibutuhkan untuk memenuhi ruang pembicaraan tentang pernikahan. Kebajikan ini hanya bisa diperoleh dari pergulatan sengit di masa lalu maupun nilai (value) yang berhasil kita petik dari proses mengalami itu sendiri. Saya percaya bahwa, secara sedehana, pandangan seperti ini bisa dimulai dengan tidak terlalu mengekang para sebagian ADK ini untuk merayakan asmara ketika tiba masa mereka untuk jatuh kepada lawan jenis mereka, apalagi menghadang dengan membawa dalil-dalil agama. Saya sedikit mengerti bagaimana pengalaman rasa itu mempengaruhi mereka; semakin rasa itu dilawan, semakin rasa itu menguat. Jika memang ingin menghadang mereka, silakan mengedepankan nalar dan rasionalitas. Jika memang tidak mampu, maka biarkan mereka seraya memberi nasihat yang sewajarnya.