Oleh : Satria Adhitama Sukma (PM BAKTI NUSA 9 Jakarta)
21-22 Mei 2019 bukanlah akhir dari rangkaian Pemilu Serentak 2019, melainkan bagian dari puzzle demokrasi Indonesia yang justru membuat hati semakin meringis melihat kondisi negeri ini. Belum selesai duka mendalam atas meninggalnya 527 orang anggota KPPS, kita sudah disuguhkan dengan kerusuhan yang terjadi akibat rasa ketidakpuasan dari sebagian pihak terhadap hasil pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU.
Alih-alih menyuarakan aspirasi dengan cara damai, justru pada malam harinya aksi ini ditunggangi oleh oknum yang justru mencederai proses penyuaraan aspirasi akibat kerusuhan yang disengaja. Tidak tanggung-tanggung, kerusuhan ini telah memakan 6 orang korban tewas dengan jumlah korban luka-luka mencapai angka 200 orang. Sebuah kenyataan yang membuat pemilu tahun ini mendapat predikat sebagai pemilu mematikan sepanjang berdirinya sistem demokrasi di Indonesia.
Kerusuhan yang semula merupakan proses menyuarakan aspirasi dengan damai ini dapat dilihat melalui sudut pandang konsep advokasi untuk mengubah kebijakan. Perubahan kebijakan melalui advokasi itu sendiri merupakan usaha yang dilakukan secara sistematik dan teroganisir untuk melakukan perubahan secara bertahap dan mendapatkan kemajuan yang pada akhirnya dapat mengubah sebuah kebijakan (Topatimasang et al, 2016: 51).
Dalam konsep tersebut, kerusuhan yang dimaksudkan untuk mengubah kebijakan melalui advokasi dapat masuk dalam proses sosialisasi dan mobilisasi. Proses ini sendiri merupakan proses yang meliputi semua bentuk kegiatan pembentukan kesadaran dan pendapat umum serta tekanan massa terorganisir yang akhirnya akan membentuk suatu pola perilaku tertentu dalam menyikapi suatu masalah bersama.
Proses ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk tekanan politik, mulai dari penggalangan pendapat dan dukungan (rangkaian diskusi contohnya), pengorganisasian (pembentukan basis-basis massa dan konstituen melalui pendidikan politik), sampai ke tingkat saat ini yang sedang terjadi, yaitu kerusuhan sebagai bentuk dari pengerahan kekuatan. Pengerahan kekuatan inilah yang sangat disayangkan, karena pengerahan kekuatan massa yang awalnya menyuarakan aspirasi dengan damai, justru diakhiri dengan kerusuhan.
Seharusnya, dalam kondisi pemilu yang terpolarisasi, tidaklah bijak jika strategi advokasi yang diutamakan justru pengerahan kekuatan massa. Slogan “people power” yang didengung-dengungkan bukan hanya meruntuhkan kepercayaan terhadap institusi demokrasi, melainkan juga menyulut amarah publik. Padahal ada acara lain yang juga tidak kalah penting, yaitu aspek terhadap isi hukum. Aspek ini diwujudkan melalui proses litigasi atau biasa kita kenal dengan proses yang beracara. Sehingga, advokasi berupa proses mobilisasi tidak saja cukup untuk akhirnya dapat mengubah kebijakan, apalagi mobilisasi yang semakin memperkeruh perpecahan hingga memakan korban jiwa. Karena dengan proses litigasi ini, maka upaya mengubah kebijakan dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Bagi pihak yang tidak menerima hasil dari Pemilu 2019, dapat memakai jalan litigasi dengan menggunakan hak konstitusinya untuk memperkarakan hasil Pemilu ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan Pasal 24C UUD NRI 1945. Karena disinilah peran litigasi yang jelas dapat dilakukan, yaitu MK dapat memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Peran litigasi di MK ini sesuai dengan Pasal 10 UU No. 24 tentang MK, yang menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap permohonan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dengan putusan yang diberikan adalah pada tingkat pertama dan terakhir, maka peran litigasi di MK ini menjadi efektif karena tidak akan menimbulkan korban dan juga putusan yang keluar adalah putusan yang tidak dapat diganggu gugat. Ditambah lagi dengan permohonan yang dapat diajukan hanya dalam jangka waktu paling lamba 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional, dapat membuat proses ini tidak akan buat masalah ini semakin berlarut-larut lagi.
Sehingga harapannya dengan Pemilu yang mematikan ini, kita tidak hanya berfokus kepada kerusuhan yang dilakukan karena adanya pengerahan kekuatan saja. Marilah menyadari bahwa kerusuhan sebagai bentuk pengerahan masa ini sudah banyak memakan korban. Dan silahkan bagi yang tidak menerima hasil pemilu ini dapat menggunakan proses litigasi ke MK karena telah dijamin oleh UUD NRI 1945.