Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengawasi Dana Desa

Gerakan antikorupsi di Indonesia tidak lepas dari amanat pencegahan korupsi dan partisipasi masyarakat yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 bahwa pemberantansan tindak pidana korupsi dilakukan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah juga mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Baik UU No. 30 Tahun 2002 dan PP No. 45 Tahun 2017, keduanya memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan data dan informasi terkait kebijakan pembangunan, membuka akses bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan, dan memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk memonitor dan mengevaluasi hasil dari pembangunan.

Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang salah satu pasalnya pada ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2) menyebutkan salah satu sumber pendapatan desa berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan  Belanja Negara yang selanjutnya di atur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) lalu diubah dengan Peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2015 lalu diubah melalui perubahan kedua yakni Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016. Anggaran yang dikucurkan APBN bagi desa setiap tahunnya dapat mendorong pembangunan dan peningkatan kualitas hidup di desa, sebagaimana peruntukan yang diperintahkan dalam pasal 1 Ayat (2) PP No. 8 Tahun 2016 Dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksananaan pembangunan, pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat.

​​Data ICW (Indonesia Corruption Watch) yang diwartakan DetikNews.com bahwa penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017 terdapat 110 kasus dengan nilai kerugian negara 30 Miliar Rupiah, dengan 139 aktor, 107 diantaranya merupakan kepala desa. Penyebab dari kondisi ini dipicu oleh dua sebab, pertama lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam mengawasi penggunaan dana desa oleh pemerintah desa, kedua karena pengetahuan masyarakat desa tentang korupsi sangat minim, karena mayoritas masyarakat desa berprofesi sebagai petani dengan tingkat pendidikan sebagian besar hanya sampai Sekolah Dasar dan SLTP sehingga tidak mempunyai pengetahuan dasar tentang seluk beluk korupsi sehingga tidak tahu apa yang harus diperbuat baik ketika mengetahui permainan maupun adanya dugaan praktek korupsi oleh pemerintah desanya. Menjawab permasalahan ini upaya yang dilakukan ialah memutus rantai ketidaktahuan dengan pencerdasan tentang dana desa kepada masyarakat, yaitu memberdayakan masyarakat untuk turut mengawasi penggunaan dan pengalokasian dana desa, dengan mendesak pemerintah desa secara berkelanjutan melibatkan masyarakat dalam pembahasan APBDesa dan publikasi penggunaan dana desa secara berkala agar masyarakat dapat membandingkan dana desa yang dialokasikan dengan program dan pembangunan desa yang terealisasikan, menginisasi monitoring berkala dengan bersinergi bersama masyarakat atas penggunaan dana desa setiap semesternya melalui forum musyawarah desa, dalam hal ini secara tidak langsung akan mencegah terjadinya korupsi dana desa sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat desa tentang hak mereka dan prinsip anti korupsi untuk mewujudkan penggunaan dana desa yang transparan, sehingga penggunaan dana desa memenuhi peruntukan yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.