Kita terbiasa dengan narasi perdamaian mungkin karena tak pernah merasakan perang. Hingga rasanya perang begitu menyeramkan, padahal tanpa sadar setiap harinya kita sedang diperangi. Kata perang menjadi menakutkan dan rasanya tak perlu lah ada keributan. Persatuan selalu digaungkan namun tetap saja upaya saling menjatuhkan tetap berjalan, tak banyak yang terbuka dan tergerak mencari jalan tengah.
Mengutip perkataan Pak Anies Baswedan, “Kedamaian bukan berarti tidak ada kekerasan, namun ketika keadilan sosial dapat terpenuhi”. Terkadang kita mungkin terlalu naif untuk berkorban dan memahami cara orang lain berjuang, seolah “diam saja” adalah jalan keluar. Padahal dalam proses pembelajaran hidup yang seharusnya dinamis, perdamaian tak melulu lewat jabat tangan dan persetujuan, bisa pula berbentuk protes untuk mengingatkan kepada yang berwenang.
Seorang plegmatis pun tak mungkin selamanya diam dan menjaga ketenangannya jika memang ada kedzaliman yang terjadi lalu berdalih memilih damai karena “tidak enakan”. Orang-orang justru menjadi apatis, lebih memilih mendiamkan, tak perlu ambil peran, berlagak netral tak ingin punya lawan. Padahal tak selamanya kebenaran ada pada jalan yang ramai, seringkali ia menjadi pihak yang dijatuhkan.
Bukankah kita dicipta untuk menjadi penyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran? Hidup ini kan tentang keseimbangan. Tak mungkin hanya mengajak kebaikan tanpa mengingatkan akan kesalahan. Namanya juga manusia, makhluk banyak salah; mengapa kita tidak saling menguatkan dan mengingatkan saja? Belajar dewasa dengan saling menerima walau tak semuanya mengenakkan, tanpa kecurigaan.
#randomthought by @aliyanurarifa