Perlu diingat, bahwa isi batok kepala kita yang baunya amis ini, dapat digunakan untuk berpikir. Kadang-kadang orang luput memakainya. Paling banter, mayoritas muda mudi masa kini menggunakannya untuk berkhayal, ngelamun. Utamanya untuk perkara yang bukan-bukan. Apalagi ketika diterpa suntuk menghadapi kuliahan, sembari tak tahan ngempet rindu gak terbalas karena sedang di rantauan.
Nah, supaya agak ngintelek, coba sesekali mahasiswa itu membayangkan yang bukan-bukan untuk urusan agak berkelas. Urusan yang agak keren. Bukan remeh temeh. Ambilah satu, misalnya perkara kampus-kampus yang maha dahsyat kita cintai karena rekor MURI-nya ini.
Kalau berani, coba bayangkan jika kampus-kampus itu dijalankan seperti perusahaan. Rektormu itu adalah direktur. Mahasiswa adalah pelanggan, yang melanggan dengan setia jasa pendidikan. Kampus bercita-cita luhur untuk memuaskan pelanggannya. Sementara itu, perusahaan lain ikut mananam modal. PT ini membangun gedung, PT itu membikin menara, PT nya Pak Anu mendanai acara.
Kampus-kampus kemudian menata diri, mempromosikan prestasi-prestasi. Event-event tahunan diselenggarakan, bangunan dipercantik, ditambahi taman-taman. Hampir-hampir seperti taman rekreasi. Jargon-jargon coba disusun. Mengklaim diri kampusnya paling bergengsi, paling hijau, paling kelas dunia dan paling-paling lainnya. Sementara itu, di beberapa meter seberang tembok kampus, orang banyak belum bisa membaca. Pemuda ramai menganggur. Anak kecil merengek tak sekolah.
Lalu harga jual pendidikan kian tahun ditinggikan, sebab kebutuhan perusahaan semakin bengkak. Atau karena permintaan pasar terlampau besar. Terlihat dari angka besarnya pendaftar di ujian masuk yang diumumkan tiap Ospek, yang sering kita tepuk tangani itu lho. Lantas membangun citra baik, supaya makin si kaya mau melanggan dan investasi banyak berdatangan. Demo dan tulisan kritis mahasiswa adalah perusak citra usaha. Semua digiring untuk sebesar-besar gengsi institusi.
Ada yang lebih jorok lagi, lebih esek-esek. Kalau gak jijik, coba bayangkan kampus ini seperti barak militer. Guru besar adalah Jenderal, yang darinya terpilih siapa Rektor sebagai panglima. Dekan-dekan itu mayor, komandan kompi, yang seiya sekata dengan mulut panglimanya. Kampus-kampus dipagari tinggi-tinggi. Semua tenang, hanya sesekali terdengar teriak komandan pasukan. Warga jelata minder, tak semua bisa bebas keluar masuk gerbangnya.
Tidak ada kebebasan berpikir, semua perkara manut atasan. Kelas-kelas begitu hening. Dosen berceramah seakan memberi arahan perang. Mahasiswa takut membantah. Takut-takut diberi nilai buruk. Ribut sedikit dikeluarkan. Berani protes dipukuli, dipenjarakan. Buku-buku dilarang, semua harus sesuai doktrinan. Mahasiswa dilarang berserikat, berpendapat, berkumpul. Ormawa ditekan diancam. Mahasiswa disibukkan dengan kebanggaan dan kepatuhan kepada institusi secara semu.
Ngeri lagi kalau kita mengkhayal, kampus dijalankan seperti partai politik. Rektormu itu ketua umum. Fakultas adalah DPC. Sementara petinggi kampus menyusun jaringan kepentingan di jurusan-jurusan, untuk menghalau siapa saja yang tak sesuai koalisi. Kampus menyatakan diri sepakat dengan narasi penguasa, lewat video profil misalnya. Seakan mengatakan, “ini lho kampus saya berada di kubu Pak Pres”.
Rektor-rektor pun mulai naik jabatan, beberapa kebagian menteri, satu dua duduk di kursi komisaris BUMN. Mahasiswa diawasi, jangan sampai melawan rekan politik. Semua yang protes dianggap oposisi, dituduh antek partai ini dan itu. Sementara di halaman rektorat malah terparkir mobil DPC partai pemenang pemilu. Tokoh-tokoh politik banyak didatangkan, diberi panggung kuliah umum atau di-honoris causa-kan, lalu berseloroh “ini lho, saya mentri, kerjanya banyak, enak, ayo jadi seperti saya”. Dilanjutkan membagi hadiah khas kampanye di alun-alun kota.
Tapi santai saja, semua itu hanya khayalan. Rekaan, hanya fiktif belaka. Sama kaya film porno yang kamu tonton di malam-malam sepimu. Dan seperti kebanyakan khayalan, ia hanya muncul sepintas lalu, jauh dari fakta. Juga tidak pasti, penuh misteri. Mirip-mirip seperti akun berkirim pesan yang kita gak tau siapa orang-orangnya, yang lucu tapi kadang getir untuk ditertawakan.
Malahan, kampus-kampus kita ini adalah ruang bagi seluas-luas ilmu pengetahuan. Semua yang kiri mentok hingga kanan pol diadu di podium ilmiah, untuk dicari kebenarannya. Bapak ibu rektor adalah orang tua yang asih asuh. Pengabdi setia ilmu pengetahuan. Senyumnya di baliho-baliho seakan perhatian bertanya “gimana nak? sudah diisi quesioner SIAKAD-nya?”
Paling banter rasa jengkel mahasiswa hanya karena tertipu gerbang belakang tutup di hari minggu. Selebihnya kampus seperti rumah warisan mertua, begitu melegakan. Alih-alih didemo, pimpinan kampus malah mendahului datang. Menanyakan apa pasal ada mahasiswa yang gak bisa bayar UKT, lalu dicarikan alternatif keringanan atau penundaan. Semua begitu memerdekakan. Rektorat begitu hangat, mahasiswa tak canggung jogging di dekat rerumputannya. Tak ada pengekangan dan militerisme. Juga nirlaba, tak ambil keuntungan. Apalagi politik kepentingan. Haram itu di kampus kita ya akhi.
Jadi santai, jangan tegang, apalagi sampai dilaporkan. Tulisan ini tak berniat sedikitpun untuk menyindir. Kalau tersindir, itu beda cerita, berarti pertanda. Terlalu mulia bagi tulisan sekelas hik emperan toko ini. Malah-malah niatnya hendak mengajak bersyukur. Entah bersyukur kepada Dzat yang ada di isi kitab suci. Atau yang ada di isi acara TV. Atau di isi buku kiri. Atau juga di isi dompet. Pokoknya yang manapun lah sesuai taraf keimanan masing-masing.
Mari kita bersyukur karena masih bisa mengkhayal tentang kehidupan kampus. Sebab, bagi banyak anak muda di negaranya Pak Jokowi ini, jangankan berkhayal tentang kampus, untuk berkhayal bisa masuk kampus saja sudah gak berani. Bukan begitu Pakdhe?
“Ya, betul. Ini diambil sepedanya”
Faith Silmi
Masih ecek-ecek, tapi gak esek-esek