Tembang dolanan Gundhul-Gundhul Pacul, lagu ini tidak asing lagi di telinga orang-orang Jawa dikarenakan sewaktu kecil selalu dinyanyikan bersama kawan lainnya. Tembang ini sebenarnya tidak hanya difungsikan sebagai sarana untuk hiburan dan permainan, tetapi terdapat nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau teladan dalam kehidupan.
Berikut lirik tembang dolanan Gundhul-Gundhul Pacul:
Gundhul-gundhul pacul-cul
‘gundul-gundul cangkul-kul’
Gembelengan
‘kepala bergelang-geleng’
Nyunggi nyunggi wakul-kul
‘memikul-mikul bakul-kul (tempat nasi tradisional dari bambu)’
Gembelengan
‘kepala bergelang-geleng’
Wakul glimpang segane dadi sak latar
‘bakul terguling nasinya jadi sehalaman (tumpah)’
Wakul glimpang segane dadi sak latar
‘bakul terguling nasinya jadi sehalaman (tumpah)’
Makna dari tembang tersebut sebagai berikut:
Gundhul-gundhul pacul-cul
Gundhul berartikan tidak memiliki rambut. Sedangkan pacul berarti cangkul atau dalam keratabasa berarti papat kang ucul. Dapat diartikan bahwa kemualiaan dan kehormatan seseorang itu tergantung dari apa yang ada dan diperbuat oleh kepala atau pikirannya. Otak adalah isi kepala yang paling vital, di sana tempat bersemayam akal yang mempengaruhi seluruh gerak dan perbuatan manusia. Selain itu, masih ada empat organ lain di kepala yang menjadi prajurit akal, yaitu mata, hidung, telinga, dan mulut, yang jika lepas (ucul) dari kontrol akal maka (rasionalitas) akan berbuat semaunya. Maka, pikiran dan perilaku manusia haruslah sejalan dalam berbuat hal-hal baik.
Gembelengan
Pada kata Gembelengan ini memiliki makna manusia besar kepala, keras kepala, dan kepala batu. Sebagai manusia kita dilarang bersifat seperti hal-hal tersebut. Jadi, “gembelengan” ini merupakan sikap seseorang yang kepalanya tidak memiliki akal, atau akalnya tidak mampu mengendalikan keempat indra yang ada di kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).
Nyunggi nyunggi wakul-kul
Menaruh atau membawa barang di atas kepala dengan menggunakan wakul atau baki ini. Wakul ini melambangkan harta, kekuasaan, atau keduniawian yang diagung-agungkan. Padahal suatu hal yang berbau-bau dunia tidak akan berguna di akhirat kelak.
Wakul glimpang segane dadi sak latar
Wakul atau baki yang ditaruh di atas kepala itu tumpah dan berserakan di mana-mana. Ini bermakna apa-apa yang diagungkan tadi tidaklah kekal, akan ada masanya manusia berada di titik terendahnya. Kehidupan juga diibaratkan sebagai roda yang berputar. Maka, Kesombongan dengan membanggakan harta kekayaan pada akhirnya hanya menghancurkan harga diri dan kehormatan. Harta dan benda yang dibanggakan justru akan menghancurkan hidupnya.
REFERENSI:
Khalim, Samidi. 2009. Tradisi Lisan Masyarakat Jawa. Semarang: Primamedia Press.
Khalim, Samidi. 2011. Etika Islam Jawa dalam Tembang Gundul-Gundul Pacul, Ibda. Jurnal Kebudayaan Islam. Volume 9 Nomor 1.
Sudarto. 2001. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.