Oleh Faris Hafizh Makarim
Institut Teknologi Bandung
Kamu mahasiswa? Berarti kamu pasti pernah mendengar istilah ‘pengabdian masyarakat’, ‘pengmas’, atau ada juga yang menyebutnya ‘sosmas’. Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung, penulis mengenal istilah ini pertama kali saat ospek awal universitas. Katanya mahasiswa itu melakukan pengabdian masyarakat sebagai perwujudan dari tridharma perguruan tinggi poin tiga. Ya, katanya itulah yang membedakan ‘mahasiswa’ dengan ‘siswa’, bahwa ada suatu tanggung jawab besar dibalik kata ‘maha’ tersebut.
“Mahasiswa itu ga belajar doang!” Saat itu, penulis banyak ditanamkan bahwa mahasiswa memiliki kesempatan lebih untuk merasakan perguruan tinggi dibandingkan dengan mayoritas rakyat Indonesia. Menurut laporan kinerja Kemenristekdikti tahun 2017, angka paritisipasi kasar perguruan tinggi Indonesia pada tahun tersebut adalah 33.37%. Kita mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu pengetahuan lebih dalam, menjaring relasi lebih luas, serta kesempatan-kesempatan emas lainnya yang memang benar sangat tersedia fasilitasnya di kampus. Ya, kesempatan emas yang diberikan seluruh rakyat Indonesia kepada kita karena Uang Kuliah Tunggal (UKT) kita disubsidi oleh negara, yang mana artinya disubsidi oleh rakyat Indonesia. “Selamat datang putra-putri terbaik bangsa!” Itulah tulisan-tulisan yang digantung di sesaat setelah melewati gerbang depan ITB untuk diperlihatkan kepada mahasiswa baru. Kakak tingkat penulis sering melakukan penyorotan bahwa untuk masuk Institut Teknologi Bandung sendiri, satu orang telah mengalahkan ratusan orang sehingga kami bisa duduk di bangku universitas ini. Lalu apakah kesempatan besar ini akan kita pakai untuk terus memperkaya diri atau apakah akan kita manfaatkan sebagai ajang giving back to society?
With Great Power Comes Great Responsibility
-Uncle Ben (Spiderman)-
Sebuah Pilihan yang Bukan Pilihan
Apa lagi jawaban kita semua selain untuk setuju dengan hal tersebut. Toh, ide besar untuk berkontribusi kepada masyarakat merupakan kebaikan universal yang merupakan ketabuan untuk ditolak. “Mahasiswa adalah agent of change, guardian of value, dan iron stock.” “Mahasiswa seharusnya melakukan pengabdian masyarakat sesuai tridharma perguruan tinggi.” “Mahasiswa seharusnya kembali ke masyarakat.” Jelas narasi-narasi ini sangat sulit ditolak, apalagi oleh mahasiswa baru sekaligus sebagai manusia normal yang fitrahnya adalah untuk melakukan kebaikan.
Lalu bagaimana cara mahasiswa bisa berkontribusi ke masyarakat? Kontribusi mahasiswa ke masyarakat sangat lekat dengan citra ‘aksi’ yang sebenarnya merujuk kepada demonstrasi ke pemerintah. Ya, mahasiswa itu demo, mahasiswa itu menjadi penghubung masyarakat ke pemerintah, mahasiswa itu mengkritisi kebijakan-kebijakan nasional—itulah citra mahasiswa. Citra ini selalu disangkutpautkan dengan sejarah bahwa mahasiswa lah yang katanya menjadi penggerak seluruh masyarakat Indonesia dalam mereformasi besar-besaran negara ini menjadi negara yang lebih demokratis dari sebelumnya. Terngiang-ngiang kisah-kisah bahwa mahasiswa menduduki gedung legislatif negara, mahasiswa ikut demo bersama rakyat Indonesia, mahasiswa menghimpun kekuatan-kekuatan dari seluruh negeri untuk meraih satu tujuan, yaitu reformasi itu sendiri. Katanya, perjuangan menuju reformasi ini juga telah dibangun belasan bahkan puluhan tahun sebelum 1998. Legendanya adalah dulu mahasiswa sampai melakukan long march ke desa-desa di tanah air ini untuk menggalang kekuatan dari desa-desa agar saat aksi di ibukota nanti mereka bisa datang dan ‘meramaikan.’ Sebuah pencapaian besar untuk bisa berhasil menurunkan rezim yang ada dan menciptakan negara yang demokratis. Fenomena ini terus diagung-agungkan sebagai bukti keberadaan ‘pergerakan mahasiswa’. Inilah legenda kita. Sekarang, apakah generasi kita hanya akan terus melihat legenda?
Bersambung…