Ditulis oleh Musfira Muslihat (PM BAKTI NUSA 9 Yogyakarta)
Anak merupakan hadiah tak ternilai dari Tuhan. Tidak bisa dipungkiri, anak yang sehat fisik dan psikis merupakan dambaan setiap orang tua. Anak autis memiliki perbedaan yang menonjol ketika berusia enam bulan sampai tiga tahun. Perbedaan dapat dilihat dari kemampuan anak yang belum dapat berbicara atau menyampaikan keinginan secara tepat, tidak mudah memahami sesuatu, tidak merespon ketika diajak berbicara, tidak menatap, atau melakukan kontak mata, serta terkadang diikuti gangguan sensoris dan motorik (Josephine & Ratna, 2015). Symptom tersebut dapat terlihat secara langsung dari observasi orang tua dan sekitar. Orang tua semakin gelisah dan khawatir. Adakalanya orang tua bersikap dengan menganggap ini bukan masalah (denial) atau orang tua memilih untuk memberanikan diri memeriksan keadaan anaknya (acceptance). Tentunya selalu ada harapan dibenak orang tua agar anaknya baik-baik saja.
Cerita diatas merupakan gambaran umum yang dialami 1 dari 68 keluarga di Amerika dari Data Centre of Disease Control (CDC) pada bulan Maret 2014. Sedangkan, diperkirakan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2010 ada 112.000 jiwa menderita autis di Indonesia (Priherdityo, 2016). Hal tersebut masih perkiraan karena belum ada data resmi mengenai prevalensi penyandang autis di Indonesia. Di sisi lain, kita tidak boleh menutup mata jika ada anak-anak Indonesia yang menderita autis. Hal ini sebagai pemahaman jika ada anggota keluarga yang menderita autis maka dapat membuat anggota keluarga lainnya menjadi stress. Lebih lanjut akan menganggu kualitas hidup keluarga. Oleh sebab itu, untuk menindaklanjuti hal tersebut maka tingkat kesadaran harus diasah untuk memahami mereka, baik dari segi skill maupun pengetahuan saat mengahadai penyandang autis.
”Satu-satunya keterbatasan dalam hidup adalah perilaku yang buruk,” Scott Hamilton.
Kasus keluarga dengan penyandang autis banyak di Indonesia, salah satunya yaitu seorang ibu yang bernama LS dengan anak bernama G (Priherdityo, 2016). LS sangat shock ketika G berusia satu tahun divonis autis. Walau seperti itu LS cukup terbantu dengan Yayasan Autisme Indonesia. Dalam hal ini LS dapat memahami anaknya karena mendapat pengetahuan dari yayasan tersebut. Melihat kasus ini maka dapat mendeskripsikan jika ada saat-saat orang tua berduka mendalam. Namun, harus ada fasilitas yang disediakan untuk memberikan jalan keluar dengan memberipakan pemahaman dan solusi mengatasi persoalan tersebut, dalam hal ini Yayasan Autisme Indonesia.
Pemaparan kasus di atas akan berhubungan dengan pentingnya memahami penyandang autis. Penyandang autis mempunyai kebutuhan (primer, sekunder, tersier) dan pengakuan eksistensi kemanusiaan yang sama dengan anak normal. Autis bukan hanya permasalahan untuk si penyandang tapi juga untuk seluruh keluarga. Mengapa seperti itu? Kesejahteraan psikologis (psychological well being) seseorang akan dipengaruhi oleh orang lain, orang lain tersebut adalah orang yang selalu berinteraksi dengannya, yaitu keluarga. Keluarga yang terdiri dari beberapa generasi seperti kakek, nenek, ibu, ayah, saudara, sepupu, dan lain sebagainya adalah orang-orang yang harus pertama sadar dan memahami anggota keluarganya yang lain. Dalam hal ini anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus seperti autis.
Efendi menuturkan bahwa keluarga merupakan lingkungan utama yang mengambil peran dalam hal mengasuh anak yang termasuk di dalamnya segala tata aturan dan norma yang berlaku di masyarakat dan warisan budaya yang harus diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya (Efendi, 1995). Oleh sebab itu, peran keluarga khususnya orang tua sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. Spesifikasi kemampuan tersebut diantaranya memperbaiki sosialisasi, meningkatkan keterampilan mandiri, meningkatkan kemampuan komunikasi verbal mau pun non verbal, dll. Dengan adanya upaya orang tua yang mengawali intensif intervensi pendidikan anak, social support yang dibutuhkan penyandang autis akan terbangun lebih awal.
Apa yang dibutuhkan penyandang autis? Memanusiakannya. Pada usia nol hingga lima tahun merupakan fase awal kehidupan manusia yang dianggap sebagai golden age (fase penting) dalam pembentukan kepribadian anak. Hal tersebut disebabkan fase anak memiliki urgensi untuk membentuk perilaku pada fase selanjutnya (Josephine & Ratna, 2015). Selain itu, Mudjiono mengungkapkan “Manusia Indonesia yang berkualitas hanya akan lahir dari remaja yang berkualitas, remaja yang berkualitas hanya akan tumbuh dari anak yang berkualitas.” (Mudjiono, 1996). Menindaklanjuti hal tersebut maka dibutuhkan penanganan sedini mungkin untuk mengoptimalkan potensi setiap anak termasuk penyandang autis.
Mengenal Autis Lebih Dalam
Sesungguhnya autis merupakan term yang pertama kali digunakan untuk menunjukkan symptom pada penderita skizofrenia, term ini digunakan oleh psikiater dari Swiss (Bleuler, 1911). Setelah itu, dalam dunia riset autis pertama kali digunakan oleh Kanner (1943) yang melaporkan sindrom psikiatri pada usia 11 tahun. Sindrom ini menunjukkan perilaku yang kekanak-kanakan dan disebabkan karena adanya penolakan dari orang tua. Sementara itu, menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders pada tahun 1987 menggolongkan autis pada DSM III. Hal ini menunjukkan autis sebagai gangguan medis. Sementara untuk sekarang autis tergolong pada DSM V oleh American Psychiatry Association tahun 2013 sebagai kriteria gangguan perilaku.
Perkembangan terbaru autis menggunakan term Autism Spectrum Disorder. Autism Spectrum Disorder, spektrum menunjukkan bahwa penyandang autis memiliki penggolongan tersendiri berdasarkan spektrumnya. Ada penyandang autis ringan, sedang, dan berat. Dengan kata lain, kategori tersebut memiliki penanganan yang berbeda-beda. Berikut level dari penyandang autis yaitu:
Level | Karakeristik Sosial | Indikasi Perilaku |
Level 3
Requiring very substantial support
|
Kekurangan dukungan. Tidak mampu memulai bersosialisasi dengan orang lain, kemampuan komunikasi yang buruk, dan menanggapi sangat terbatas saat berinteraksi. | Tidak mampu mengontrol perilaku secara ekstrim, dan pengulangan perilaku berkali-kali. Kesulitas fokus pada sesuatu yang dilakukan. |
Level 2
Requiring substantial support |
Terbatas dalam berkomunikasi verbal dan nonverbal dengan orang lain. Mampu menanggapi respon orang lain secara sederhana. | Perilaku yang tidak fleksibel, tertekan saat berperilaku. |
Level 1
Requiring support |
Tanpa dukungan sosial. Sama sekali tidak mampu merespon interaksi sosial dari orang lain | Memiliki gangguan perilaku yang signifikan dan kesulitan berkativitas. |
Level pada Autism Spectrum Disorder
Sumber : https://www.autismspeaks.org/what-autism/diagnosis/dsm-5-diagnostic-criteria
Dokter mendiagnosis autism dengan cara mengobservasi perilaku dan melihat perkembangan pada anak. Diangnosis dapat dilakukan sedini mungkin yaitu saat berusia dua tahun atau bahkan saat enam bulan. Hal tersebut dapat ditinjau dari aktivitas sehari-hari seperti saat bersosialisasi, berkomunikasi, atau saat bermain. Dilain sisi, mendiagnosis autis saat dewasa lebih sulit. Hal ini dipengaruhi karena adanya kesamaan symptom dengan gangguan mental, seperti skizofrenia atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) (nimh.nih.gov, 2016).
Sederhana tapi Berdampak
Autism Spectrum Disorder menyaratkan jika penyandang autis memiliki spektrum yang berbeda-beda. Lihat, dengarkan, dan pahami begitulah kita mengenal bahwa autis memiliki keberagaman tersendiri antar individunya. Maka kita harus memahami adanya keberagaman ini dan harus mencari tahu secara spesifik tipe autis yang diderita. Menindaklanjuti ini maka dibutuhkan diagnosis yang tepat pada setiap individu yang terindikasi autis. Setelah itu, caregiver pun dapat merawat penyandang autis sesuai kebutuhan yang diperlukannya secara spesifik. Hal ini akan berkaitan dengan metode berkomunikasi dan jenis pendidikan yang diberikan.
Inilah solusi yang dapat diberikan untuk memahami penyandang autis. Memahami mereka tidak hanya membantu mereka tapi juga membantu mewujudkan kualitas hidup keluarga yang lebih baik. Upaya ini sebaiknya dilakukan secara terintegrasi dari pemerintah dan dukungan masyarakat Indonesia secara berkesinambungan.
Referensi:
Bleuler. (1911). Dementia praecox oder gruppe der schizophrenien schizophrenien. Leipzig und Wien: Franz Deuticke.
Efendi, d. (1995). Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Josephine. & Ratna. (2015). Penanganan Dini 7 Tahun Pertama Bagi Anak dengan Autisme. Retrieved from http://himpsi.or.id/43-semua-kategori/non-menu/pengumuman/56-hari-peduli-autisme-2015.
Kanner. (1943). Autistic disturbances of affective contact. Nervous Child , 217–250.
Mudjiono, d. (1996). Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nimh.nih.gov. (2016). Autism Spectrum Disorder. Retrieved from https://www.nimh.nih.gov/health/topics/autism-spectrum-disorders-asd/index.shtml?utm_source=rss_readersutm_medium=rssutm_campaign=rss_full.
Priherdityo, E. (2016). Anak Autisme Punya Citra Trouble Maker. Retrieved from http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160407153904-255-122401/anak-autisme-punya-citra-trouble-maker/