Usia muda, adalah usia di mana seseorang sedang mengalami banyak proses pendewasaan. Baik itu disebabkan faktor lingkungan yang memaksanya untuk dewasa lebih cepat, atau karena kepo terhadap diri sendiri yang sering disebut dengan proses pencarian jati diri. Di proses ini, pemuda dan pemudi sering mengalami kebingungan dengan tingkat ambigu yang tinggi, masa di mana rasa khawatir dan cemas datang dengan kapasitas yang berlebih sehingga tidak jarang yang mengalaminya merasakan tekanan atau stress yang berlebih. Serta, tak jarang yang menjalaninya memutuskan tali juangnya di awal tengah atau bahkan sedikit lagi sampai ke ujung tali itu tetapi karena tidak sabar terpaksa memutuskannya di akhir. Itulah dia, Quarter Life Crisis.
Quarter Life Crisis atau krisis seperempat abad adalah periode saat seseorang berusia 18–30 tahun merasa tidak memiliki arah, khawatir, bingung, dan galau akan ketidakpastian kehidupannya di masa mendatang. Menurut Wood (2018) ada yang namanya masa emerging adulthood yaitu masa ketika individu mulai mengeksplorasi diri dan lingkungannya. Atau dengan kata lain ini adalah masa ketika seseorang udah menyadari bahwa dia mulai dewasa dan memiliki banyak pilihan-pilihan hidup yang harus dia pilih demi masa depan. Nah karena banyaknya pilihan ini, sering kali kita merasa kebingungan untuk memutuskan mana pilihan yang paling tepat dan kondisi ini cenderung mendorong timbulnya rasa stres. Ada dua kondisi yang memantik seseorang terkena quarter life crisis ini, pertama adalah enjoy dengan diri sendiri karena senang mengeksplor diri karena sudah memiliki kuncinya yaitu passion. Kondisi kedua, sering merasa kebingungan dengan passion dan bakat yang kita miliki, maka perasaan yang akan muncul adalah cemas, rasa tertekan sampai dengan merasa hampa. Dan kondisi kedua inilah yang dinamakan dengan Quarter Life Crisis. Alexander Robbins dan Abby Wilner, orang yang pertama kali mengemukakan istilah Quarter Life Crisis pada tahun 2001. Mereka memberikan sebutan tersebut kepada remaja sebagai “twentysomethings” yaitu remaja yang baru aja meninggalkan kenyamanan hidup dan mulai memasuki dunia yang nyata.
Proses pencarian jati diri adalah proses yang wajib dilewati oleh setiap orang. Mencarinya dengan berbagai macam cara, ada yang mendatangi konsultan untuk membantunya menemukan passion-nya, ada juga yang mengikuti berbagai macam tes uji kepribadian dan banyak lagi macamnya. Dan proses ini menurut Robinson (2015), ada empat tahapan yang dilalui setiap pribadi. Pada tahap pertama, terjebaknya perasaan karena terlalu banyaknya pilihan. Kedua, adanya dorongan kuat untuk mengubah situasi atau keadaan saat itu. Tahapan ketiga, mulai mencoba-coba pengalaman atau hal-hal baru yang mana setiap individu dapat mengendalikan arah tujuan hidupnya. Dan tahapan keempat, terbentuknya komitmen kuat pada kehidupan baru yang terfokus kepada hal-hal yang memang karena sesuai dengan passion, dan prinsip-prinsip yang menjadi nilai yang dianut oleh individu itu sendiri. Menurut The Guardian dalam penelitiannya bahwa, 86% milenial mengalami quarter life crisis. Dilakukan juga survei oleh badan riset dari Linkedln, diperoleh bahwa quarter life crisis yang terjadi pada generasi milenial banyak dialami perempuan sebesar 61%. Pemicu quarter life crisis sangatlah bervariasi, diantaranya 57% merasa kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion, 57% mengalami tekanan lantaran belum memiliki rumah, dan 46% mengaku tertekan akibat belum memiliki pasangan. Keadaan inilah diakibatkan permasalahan keuangan pada individu,sehingga membuat milineal merasa insecure, kecewa, kesepian sampai depresi.
Faktor lainnya, yang menyebabkan quarter life crisis ini adalah PERFEKSIONIS. Tidak bisa dipungkiri, semua orang punya keinginan ini itu dan harus sempurna alias ideal. Seperti karir di masa mendatang, impian hidup yang harus semuanya tercapai dan kebutuhan kehidupan harus terpenuhi. Sehingga, ketika sempurna yang kita inginkan itu jauh dari harapan maka tindakan yang biasa dilakukan terutama di kalangan muda-mudi melampiaskan kekecewaannya dengan menyerah, tidak berani lagi mencoba sehingga timbul mental looser. Perfeksionis ini timbul karena terlalu sering membandingkan pencapaiannya dengan pencapaian orang lain terutama pemicunya berasal dari sosial media. Dengan mudah, orang-orang mengakses, mengekspos kehidupan pribadinya sehingga orang lain yang melihatnya ingin memiliki apa yang dimiliki oleh si pengekspos. Hal ini dapat menciptakan peperangan pada mental individu, bahkan krisis emosional yang terbentang pada individu untuk membandingkan hidup dengan orang lain. Beragam sikap diambil terutama kalangan milenial, ada yang menghadapinya degan serius da nada yang tidak. Sehingga tidak sedikit yang mengambil tindakan serius ini punya kecemasan lebih dalam dirinya karena terus-terusan melihat kesuksesan yang orang lain raih dan akhirnya tidak menghargai proses hidupnya dan akan membahayakan masa depannya disebabkan tujuan hidup yang tidak jelas. Sedangkan, yang menyikapinya dengan tidak serius, menjadikan pribadinya lebih professional. Sehingga pencapaian orang lain dijadikannya sebagai pemacu dan motivasi bahwasanya setiap orang punya kesempatan dan pencapaian masing-masing dan setiap individu punya pencapaian yang istimewa.
Oleh karena itu, cara menghadapi masa quarter life crisis ini adalah dengan senantiasa bersyukur, berusaha meningkatkan kemampuan dan potensi yang kita miliki. Sebab, setiap insan itu memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh insan yang lainnya. Tingkatkan spiritualitas diri dengan senantiasa beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, peran Pencipta atas keberhasilan yang kita capai merupakan hal mutlak yang tak dapat diganggu gugat. Manusia dituntut untuk selalu berusaha, berdoa, serta berserah dengan apa yang sudah digariskan. Dengan demikian tidak akan ada kecemasan, kebingung, rasa takut, sedih dalam diri individu saat mengahadapi karir, asmara, keuangan, serta tujuan hidup.