Kita yang Tak Pernah Selesai dengan Diri Sendiri

Oleh: Bagas Pratama (PM Baktinusa 10 Regional Palembang)

Tiba-tiba aku tenggelam dan hanyut dalam lamunan panjang sore itu. Aku memang biasa menyendiri ketika kejenuhan menghampiri. Entah jenuh karena kesibukan, ke-hectic-an, keramaian atau bahkan kepura-puraan seisi dunia yang fana. Kuakui aku memang tengah dalam fase ‘sefutur-futurnya’ kala itu, dengan sadar dan sengaja aku mengakhirkan salat ashar hingga lewat pukul lima sore. Usai menunaikan shalat ashar, aku memilih berdiam sejenak di masjid untuk dialog batin yang rutin aku lakukan ketika sedang dalam puncak kejenuhan.

Ya, kira-kira dalam dialog batin sore itu, kira-kira aku menyimpulkan begini: manusia tak pernah usai dengan dirinya. Pernah dulu aku disuapi pemikiran bahwa seorang insan yang disebut –dan menyebut dirinya– pelayan ummat (baca: aktivis) harus sudah selesai dengan dirinya sendiri sebelum mengurus hajat hidup orang banyak. Setelah kenyang meneguk anggapan itu, akhirnya aku sampai pada asumsi berikutnya yang bertolak belakang dengan anggapan pertama itu: kita tak kan pernah selesai dengan diri sendiri. Alasannya sederhana. Kalau kita selesai dengan diri sendiri, kita mati.

Pasca fase itu juga aku tiba-tiba merasa dituntun oleh Allah untuk mengonfirmasi sekelebat pikiran itu. Agenda Future Leader Challenge (FLC) sebagai orientasi penerima manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara (Bakti Nusa) beberapa bulan sebelumnya menghadirkan coach Darmawan Aji untuk menyampaikan materi tentang Life Plan, dan bukunya berjudul Life by Design baru aku beli Juni 2021 saat dalam fase pemikiran tentang diri yang tak pernah selesai. Singkatnya, dalam salah satu kalimat di buku itu, coach Darmawan mengatakan proses menemukan arti hidup adalah sepanjang hidup. Semuanya akan terus berubah dan masih sangat dinamis sesuai perubahan iklim kehidupan. Maka setelah mendapat pembenaran atas pemikiran itu, aku dihadapkan pula pada situasi yang menyadarkan bahwa aku masih teramat ‘kosong’.

Momentum menjadi penerima manfaat Bakti Nusa adalah anugerah yang sampai kini masih aku elu-elukan dan tak putus-putusnya aku syukuri. Sedari menjadi mahasiswa baru aku sudah dibuat tertegun oleh kharisma sosok Presiden Mahasiswa yang kini menjadi manajer Bakti Nusa regional Palembang sekaligus menjadi mentor kami; Khairunnas atau sapaannya Kak Han. Perjumpaan intens dengannya telah banyak mengubah cara pandang yang usang tentang banyak hal, juga sekaligus mendobrak seabrek kebiasaan yang kontradiktif dengan sematan luhur –aktivis.

Mulai dari manajemen dan disiplin waktu, kepastian dan ketetapan janji, cara pikir, dan perencanaan hidup. Semua hal itu, di samping mengonfirmasi bahwa aku memang masih belum selesai dengan diri sendiri, juga sekaligus menyisakan tanya: apakah aku yang berputar-putar di zona fixed-mindset atau lingkungan sebelumnya yang tak memacu growth-mindset. Beruntungnya Bakti Nusa didesain sebagai wadah pembinaan yang menempatkan penerima manfaatnya sebagai subjek alih-alih objek pembinaan. Sehingga segala kemauan berubah ke arah yang lebih baik muncul atas kesadaran pribadi.

Barangkali bukan rahasia umum lagi bahwa fase perjalanan seorang aktivis amatlah banyak persimpangan di tengah jalannya. Ada yang kemudian menyerah di tengah jalan, ada yang berbalik arah, ada juga yang akhirnya memusuhi jalan ini. Yang berbeda dari Bakti Nusa adalah mencegah segala kemungkinan itu, serta menjauhkan orientasinya dari melahirkan aktivis yang mengharap balas –apalagi sekadar ucapan terimakasih. Tak ada pula tempat bagi kepura-puraan di jalan ini. Jalan yang begitu benderang bagai terik siang, dan senantiasa mengajarkan arti diam saat berkarya besar. Dan semua yang kusebut di atas adalah apa yang sempat dan hampir aku alami dalam proses pembentukan diri –semoga saja tak terulang.

Dari Bakti Nusa pula aku mengenal sederet rekan-rekan yang hingga kini masih berusaha menutup lubang mereka sembari mengisi lubang yang lain. Bukan lagi hal yang baru bagiku ketika disodorkan fakta bahwa banyak di luar sana rekan yang senantiasa berkarya meskipun belum usai dengan dirinya. Yang aku tangkap dan garis bawahi adalah fakta bahwa menjadi pejuang hal-hal baik tak mensyaratkan keparipurnaan, namun tetap bergerak.

Pada akhirnya aku ingin menenkankan kembali bahwa menyadari bahwa kita belum selesai dengan diri sendiri bukanlah alasan untuk berhenti berjuang. Setiap jengkal kita akan selalu dihadapkan pada dua pilihan; berhenti berjuang lalu tenggelam dalam pemenuhan diri yang tak pernah usai atau memaksakan perjalanan dengan tetap pincang. Mengapa tidak kita tempuh dua-duanya untuk imbalan yang ganda?

Jalan pengabdian kita memang berbeda-beda, namun aku berkeyakinan kita akan bersama-sama ‘panen raya’ menikmati jerih payah untuk segala kesungguh-sungguhan kemarin, hari ini dan esok hari pada suatu saat nanti, entah ketika kita masih ada di dunia ini atau di dunia berikutnya.

Jalan kita amatlah panjang, terjal, berliku dan berbatu, dan aku sangatlah bangga berada di jalan ini, selain rindu menantikan kemenangan, aku merasa selalu dikelilingi ketenteraman dan keberkahan waktu saat meniti jalan bersama kalian. Sebagaimana salah satu penggalan lirik Mars Juang Bakti Nusa: Jiwa kami tenang dalam berjuang ketika gugur dalam keridho’an, menuju bahagia keabadian, karena kami hamba milik Tuhan.