Kerja Mengungguli Bakat
Oleh: M.Atiatul Muqtadir, Ketua BM KM UGM
“Kerja Mengungguli bakat” begitu tulisan Richard St. John dalam bukunya 8 To Be Great. Delapan hal itu adalah kesimpulan dari penelitian dan wawancaranya dari lebih dari lima ratus orang sukses dunia.
Dalam perjalanan menuju Jakarta, aku menemukan sebuah paragraf menarik yang mengembalikan kesadaran kita tentang bakat selama ini.
Pernahkah dalam proses kerja keras kita, sesekali terpikir “coba saja aku punya bakat di sini, aku ga harus kerja sekeras ini”? Ya, kita terkadang menganggap, bakat sebagai satu-satunya modal yang harus dimiliki untuk mencapai kesuksesan di bidang itu.
Padahal Mozart, seorang pianis ternama dan ‘berbakat’ harus menghabiskan waktu dua belas jam sehari selama lebih dari satu dekade untuk menghasilkan masterpiece pertamanya. Pun begitu dengan Michaelangelo, seorang seniman dunia, dalam wawancaranya ia justru berterimakasih pada kerjanya dibandingkan dengan bakatnya. “Jika orang-orang tahu betapa keras aku bekerja untuk ini,” katanya yakin, “semuanya mungkin tak nampak menakjubkan lagi”.
Tidak semua orang berbakat mendapatkan kesuksesan. Bakat yang tidak disertai dengan kerja keras adalah harta karun yang disia-siakan. Mutiara yang tidak diasah. Emas yang tidak ditempa.
Mereka yang berpikir hanya dengan bakat ia dapat berjalan menuju sukses, sehingga tidak mengutamakan kerja, justru orang yang sedang mengikis bakatnya untuk lama-lama menghilang. Michael Jordan misalnya, merasa bakatnya cukup baik lantas permainannya mengendur saat berada di Tim universitasnya, hingga sang pelatih pun mengeluarkannya.
Syukurlah ia tersadar, bahwa permainannya tak bergantung pada bakat semata. Orang malas itu telah bertaubat dan menjadi salah satu pemain basket yang bekerja paling keras. Dan saat ini, siapa yang tidak mengenalnya?
“Kita terlalu memuja bakat,” kata Richard memulai paragraf terkahir di sub bab ini, “menandang rendah kerja karena kita tidak melihat segala usaha dibalik suatu kesuksesan. Yang kita lihat adalah ketenaran selama lima belas menit dari penari ‘berbakat’ dan bukannya usaha selama lima belas tahun untuk meraihnya. Kita melihat dua ratus halaman buku, dan bukan 20.000 jam penuh keringat yang dihabiskan oleh penulis ‘berbakat’.
Anda, saya, kita semua, mungkin telah memiliki percikan bakat untuk memulai, tapi kerjalah yang mengubah percikan tersebut menjadi nyala api yang bergelora. Ketahuilah, bakat memang merupakan suatu karunia, tetapi yang lebih besar dari itu adalah karunia berupa kemauan untuk bekerja keras.