Oleh: Riza Agung Ismadi, PM BA 9 Palembang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah program yang dibentuk dan ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional JKN. Jaminan kesehatan ini sejatinya wajib diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia tanp[a terkecuali, hal tersebut berdasarkan pada UU No. 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sistem yang digunakan dalam JKN ini adalah sistem iuran atau pembayaran premi oleh masyarakat kepada pihak BPJS Kesehatan dengan besaran dana iuran dibedakan dalam tiga kelas, yaitu kelas I (Rp. 80.000/bulan), kelas II (Rp. 51.000/bulan) dan kelas III (Rp. 25.000/bulan). Paerbedaan kelas iuran tersebut akan membedakan pelayanan kesehatan yang didapatkan nantinya terutama fasilitas kesehatan yang diperoleh. Skema iuran ini dinilai oleh berbagai ahli sebagai skema yang hanya akan membebankan rakyat, Staf Riset dan Advokasi Isu Kesehatan dan Perburuhan Indonesia for Global Justice Muhammad Teguh Maulana berpendapat bahwa rakyat dituntut untuk bertanggung jawab akan akses kesehatannya sendiri. Pemerintah seakan lepas tangan akan tanggung jawabnya menyediakan fasilitas kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat dengan kualitas yang baik, parahnya langkah ini seakan menjadikan jaminan kesehatan sebagai suatu komoditas di bidang jasa yang dapat menjadi sumber uang.
Pada kenyataan di lapangan berbagai permasalahan muncul dalam pelaksanaan JKN ini seperti penolakan dan penelantaran pasien BPJS, kurangnya transparansi, penggelembungan dana atau kecurangan BPJS yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan rumah sakit, hingga puncaknya adalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan atas dalih pemerintah untuk menutupi defisit anggaran BPJS. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang disahkan pada tanggal 24 Oktober 2019 ini menyebutkan bahwa iuran BPJS Kesehatan naik mencapai 100% menjadi Kelas I (Rp. 160.000/bulan), Kelas II (Rp. 110.000/bulan) dan Kelas III (Rp. 42.000/bulan). Kenaikan tersebut tentunya memberatkan mayoritas rakyat Indonesia sebagai pengguna wajib layanan ini. Rakyat dituntut membayar jaminan kesehatan yang nilainya sangat besar bagi kebanyakan rakyat Indonesia, satu orang dikenakan Rp. 42.000 per bulan, lantas bagaimana dengan keluarga yang beranggotakan 5 orang atau lebih? tentunya nominalny akan sangat besar.
Defisit anggaran tersebut dianggap sebagai akibat dari skema pembiayaan BPJS yang sedari awal sudah berpotensi mengalami kerugian. Anggaran kesehatan dari pemerintah hanya 2,8% dari total APBN pada tahun 2018 yang idealnya adalah 10% dari APBN. Terdapat juga dugaan bahwa BPJS memang didesain untuk mengalami kerugian. Perhitungan premi yang dibayarkan sedari awal memang tidak akan mampu menutupi pembiayaan BPJS. Kerugian yang dialami pada tahun 2018 mencapai 16,5 T dan pemerintah menganggarkan dana talangan sebesar 9,2 T rupiah yang artinya masih terdapat sisa defisit yang membebankan pada anggaran dana tahun 2019. Langkah yang diambil oleh BPJS adalah dengan pengurangan pelayanan tanggungan obat-obatan bagi pasien BPJS. Padahal model BPJS yang mengacu pada Indonesian Case Base Group (INA-BSG) yang mana tarif yang dibayarkan BPJS meliputi biaya konsultasi, obat-obatan, pemeriksaan penunjang dan fasilitas akomodasi kamar dan perawatan dalam satu paket. Artinya, masyarakat pengguna BPJS yang pada ujungnya tetap dirugikan. Konsekuensi dari peningkatan iuran BPJS ini adalah lembaga dituntut untuk menyediakan pelayanan yang jauh lebih baik dengan peningkatan fasilitas dan akses kesehatan yang mudah, ramah, teratur, adil dan transparan.
Akibatnya terhitung sejak tanggal 01 Januari 2020 setidaknya terdapat 792.854 pengguna BPJS yang turun ke kelas III. Selain itu, kenaikan ini semakin mengurangi minat masyarakat untuk bergabung ke dalam BPJS yang notabenenya dianggap hanya menambah beban masyarakat.
Terlepas dari berbagai polemik yang menyelimuti BPJS Kesehatan sejatinya tetap yang menjadi prioritas utama adalah pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas baik bagi masyarakat. BPJS perlu mengadakan evaluasi komperhensif agar tidak terjadi lagi defisit yang pada ujungnya hanya akan menambah beban rakyat Indonesia. Adapun langkah-langkah yang dapat diambil oleh BPJS untuk mengatasi permasalahan tersebut dan untuk meningkatkan pelayanannya antara lain:
- Evaluasi total dari internal BPJS Kesehatan terkait dengan temuan adanya kecurangan yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit dan tenaga medis.
- Tinjauan terhadap pemodelan Case Base Group (INA-BSG) dan kapitasi yang berbasis kinerja serta pembuatan SOP yang jelas perihal penerimaan dan pemulangan pasien.
- Evaluasi kelembagaan dan kerjasama komperhensif antara pemegang mandat kesehatan rakyat antara Kemenkes, KPK dan BPJS untuk mewujudkan sistem yang bersih, adil, transparan dan mengutamakan kesehatan rakyat.
Sumber:
Rilis isu “Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bukan Solusi Atasi Defisit” oleh Indonesia for Global Justice, 04 September 2019.
“Kenaikan Iuran BPJS dan Isu Perbaikan Layanan” oleh Okky Asokawati dalam https://m.detik.com/news/kolom/d-4780180/kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan-dan-isu-perbaikan-layanan