Islamophobia dalam Hegemoni Media

Sumber Gambar: youtube.com 

Tulisan ini merupakan bentuk review buku berjudul “Faith and the City” yang merupakan sebuah karangan fiksi oleh penulis sepasang suami istri, Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Buku ini menceritakan konflik yang tejadi pada Hanum tatkala dihadapkan pada dua pilihan, antara meraih ambisinya sebagai seorang jurnalis di Kota New York, Amerika Serikat atau pergi ke Wina, Austria untuk menemani Rangga melanjutkan disertasinya. Ketika hendak berangkat ke bandara menuju Wina, Harnum didatangi oleh seorang pihak dari perusahaan jurnalistik bernama GNTV untuk memberi Harnum kesempatan magang di GNTV selama tiga pekan, atas prestasinya yang telah mengubah pandangan Barat mengenai Islam, terlebih ketika terjadi Serangan 9/11 di mana Muslim dalam pandangan media Barat kemudian dikenal sebagai teroris. Maka, Hanum dan Rangga memutuskan untuk membatalkan perjalanannya ke Wina dan berencana menetap tiga pekan lebih lama di Kota New York.

Selama berada di GNTV, Hanum dihadapkan dengan seorang produser GNTV bernama Andy Cooper, yang terbilang akan melakukan apa pun demi membuat program-programnya mendapat rating and share yang tinggi, karena dia menganggap bahwa apa yang dilakukannya hanyalah urusan bisnis. Hanum dipercayakan untuk mengisi konten pada program berjudul “Insight Moslem” dengan melakukan wawancara kepada Muslim-muslim yang tinggal di New York. Hanum selalu melakukan tugasnya sesuai dengan keinginan Cooper, walaupun seringkali permintaan Cooper tersebut bertentangan dengan isi hati Hanum. Bertepatan dengan peringatan tragedi Serangan 9/11, Cooper memaksa Hanum untuk mewawancari Azima dan Phillipus Brown yang merupakan keluarga dari pihak yang terlibat dalam Serangan 9/11 sekaligus sebagai sahabat Hanum. Hal ini memberatkan hati Hanum karena dia sudah mengetahui bahwa Azima dan Phillipus Brown sudah tidak mau untuk diwawancari oleh stasiun TV mana pun. Hal yang mengejutkan adalah ketika Azima dan Phillipus Brown bersedia untuk menghadiri undangan wawancara tersebut, yang justru malah membongkar semua keburukan Andy Cooper. Hingga akhirnya Brown membeli 70% saham dari perusahaan GNTV dan membuat Cooper kehilangan posisinya di GNTV. Akhir dari cerita ini, Hanum memutuskan untuk berhenti melanjutkan kesempatan magangnya di GNTV dan mengikuti Rangga untuk menyelesaikan gelar Ph.D-nya di Wina, Austria.

Tema dari buku ini mengenai kedilemaan seseorang untuk memilih mengejar ambisi atau mempertahankan iman dan keyakinan. Tujuan dari penulis membuat buku ini adalah untuk menunjukkan kepada pembaca seperti apa yang sebenarnya terjadi pada dunia media yang gelap, yang mengutamakan dunia rating dan sharing yang manis namun menjebak. Buku ini telah difilmkan pada tahun 2018 dengan judul yang sama. Sebagai referensi tambahan, dalam film tersebut terdapat scene Andy Cooper mengatakan, “Kita berikan apa yang mereka suka, bukan apa yang mereka butuhkan. Dan Islam memang objek yang sangat seksi untuk dijadikan berita, karena semua sumber konflik muncul dari situ. This is how the media still works. This is how it works. Okay? Dan kita harus berpihak pada mayoritas. Mayoritas menanyakan satu hal, ‘what the world be better place without Islam?’” (Andy Cooper, 2018).

Sudut pandang penulis terhadap isu yang didiskusikan, yaitu isu Islamophobia. Penulis ingin melawan stereotip yang diberikan media Barat kepada Islam. Islam dan umat Muslim di Amerika berada di dalam situasi yang paradoks. Di satu sisi terjadi Islamophobia, di sisi lain kasus-kasus kekerasan pada komunitas Muslim cukup meninggi. Tendensi phobia semakin meninggi ketika di bawah pemerintahan Donald Trump yang menyebabkan puluhan ribu warga non-Muslim hadir pada sebuah demonstrasi besar-besaran di Time Square, jantung kota New York. Demo yang dihadiri oleh Walikota New York dan pembesar lainnya itu mengusung tema “Today I am a Muslim too (hari ini saya juga Muslim)”.

Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya, yang mana kemajuan teknologi dan informasi berkembang dengan begitu pesat. Liberalisasi dan sekularisasi yang terjadi di Amerika diakibatkan adanya sistem kapitalisme. Sebagai negara liberal yang menjadikan kebebasan menjadi pilar bernegara dan berbangsa, Amerika Serikat mengajarkan freedom (kebebasan) sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar (basic human rights). Kebebasan ini tidak dibatasi oleh sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Karakter keterbukaan yang dimiliki warga Amerika menjadikannya begitu terbuka dengan hal-hal yang datang dari luar, termasuk dari media. Tidak mengherankan jika media kerap kali menentukan warna persepsi dan juga perilaku orang-orang Amerika.

Hubungan antara Amerika Serikat dan Austria sebagai bagian dari Dunia Barat menjadi salah satu tujuan peradaban kebanyakan orang-orang saat ini, khususnya dalam aspek ilmu pengetahuan dan informasi. Dunia Barat adalah mesin mimpi, baik untuk Hanum yang ingin mewujudkan impiannya sebagai seorang jurnalis di New York, Amerika Serikat, maupun Rangga yang ingin meraih mimpinya untuk menyelesaikan disertasinya di Wina, Austria. Bahkan saking tergila-gilanya Hanum untuk mewujudkan mimpinya, orang-orang di sekitarnya menjuluki dia sebagai ‘korban ambisi dari Kota New York’.

Berbicara mengenai kapitalisme yang terjadi di Dunia Barat, maka tidak akan jauh untuk membicarakan hegemoni. Hegemoni tidak hanya menunjukkan kontrol ekonomi dan politik, melainkan juga menunjukkan kemampuan kelas dominan dalam menampilkan cara pandangnya terhadap dunia, sehingga dengan berbagai macam cara kelas subordinat (kelas yang dikuasai Marx) menerimanya sebagai “common sense” atau cara pandang yang benar (Eni Maryani, 2011: 53). Pada era modern, proses hegemoni dari kaum kapitalis telah berjalan dengan sempurna melalui pembudayaan, fashion, film, dan media. Media akan senantiasa mempersuasi agar mengikuti ideologi kapitalis, media juga akan senantiasa menjaga kelompok yang berkuasa untuk tetap memegang kontrol atas masyarakat, sementara mereka yang tidak mempunyai kuasa akan menerima apa saja yang disisakan oleh kelompok yang berkuasa. Namun, media tidak selalu dianggap kuat dalam membentuk opini publik karena individu mempunyai wewenang sepenuhnya untuk menerima atau menolaknya, inilah yang disebut sebagai teori resistensi atau teori penolakan.

Hegemoni media dalam hal ini mengenai kapitalisme tidak berbicara lagi apa kebutuhan publik tetapi berbicara apa keinginan publik yang telah dimanipulasi sesuai dengan kepentingan dan sasaran kapitalisme. Seperti apa yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hegemoni media selalu mencari keuntungan terkait ekonomi pemiliknya bukan lagi sebagai penyebar informasi kepada publik. Hegemoni yang terjadi dalam buku ini adalah hegemoni ideologi, yaitu Islam dan kapitalisme.

Agaknya, kemudahan akses informasi yang kita dapatkan saat ini harus diimbangi pula dengan kemampuan kita dalam memilah dan memilih informasi. Bagaimana pun juga, informasi-informasi yang kita dapatkan itulah yang akan menentukkan seperti apa persepsi dan perilaku kita.

Referensi:

Ali, Shamsi. (2018). Islam di Amerika: Tantangan dan Peluang. https://kumparan.com/shamsi-ali/islam-di-amerika-tantangan-dan-peluang- 1pc4xNJskcx (diakses pada 01/04/2022).

Faith and the City. Disutradarai oleh Benni Setiawan. Diperankan Acha Septriasa dan Rio Dewanto. MD Pictures, 2018.

Hadi, Ariansyah. (2014). Hegemoni Media terhadap Budaya. https://berita.upi.edu/hegemoni-media-terhadap-budaya/ (diakses pada 01/04/2022).

Rais, Hanum Salsabiela., dan Almahendra, Rangga. (2015). Faith and the City. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.