“ Only two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people woud rather die than think” (George Benard Shaw)
Benarkah hanya dua persen dari sekian banyak masyarakat di dunia ini yang berpikir? Mungkin pendapat dari sastrawan George Bernard ada benarnya. Dibanyak negara, sebagian besar penduduk berprofesi sebagai pegawai, dan hanya kurang dari 2% penduduk yang membangun usaha dari nol menjadi pengusaha menengah dan besar. Dari ratusan profesional yang bekerja di sebuah perusahaan mungkin hanya kurang dari 2% yang menjadi eksekutif, pemimpin, duduk di jajaran tertinggi perusahaan atau menjadi pejabat eselon satu di pemerintahan. Diantara para pemimpin itu pun hanya sekitar 2% yang benar-benar melakukan perubahan. Selebihnya terbawa arus, memimpin dengan cara yang sama berulang ulang seperti para pendahulunya kendati zaman dan persoalan berubah seiring berjalannya waktu.
Lalu ke mana yang lainnya? Ya, banyak orang di dunia ini di mana mereka terperangkap dalam mentalitas penumpang yang memilih menunggu ketimbang berinisiatif, tak merasa perlu mencari jalan- jalan baru sehingga hanya tahu jalan yang itu-itu saja, tapi tak merasa perlu “merawat” kendaraan hidupnya, sehingga boleh “mengantuk”, bahkan “tertidur” selama perjalanan hidupnya itu.
Setiap manusia sudah memiliki kendaraannya masing-masing yang kita sebut dengan diri, dan dalam diri itu terdapat mentalitas atas jiwa pembawa diri itu. Maka itulah kita bisa membedakan ke dalam dua katagori mental: mentalitas penumpang atau mentalitas pengemudi.
Ibarat sebuah buku, dunia dan isinya ini sanggatlah kaya pengetahuan, bagi saya tidaklah cukup jika saya hanya belajar di dalam kelas dan mengurung diri tanpa mengenal dunia lebih luas. Itulah yang mendorong saya untuk menjadi wanita dengan mentalitas pengemudi yang berpikir keras sepanjang hari dan harus tahu peta perjalanan, peta hidupnya. Mungkin saya harus berani mencoba, mengeksplorasi jalan-jalan baru, kendati beberapa kali saya tersesat di jalan yang sempit, namun saya yakin lambat laun saya menjadi pribadi yang tangkas bergerak, cepat keluar dari setiap blokade atau kemacetan yang merintangi perjalanannya saya.
Saya adalah anak kedua dari 2 bersaudara yang mungkin bisa dibilang hidup dalam kondisi yang sangat nyaman sejak kecil, mungkin saya adalah generasi servis layaknya anak-anak lainnya di usia saya, karena saya dibesarkan dengan berbagai les yang bisa saya ikuti sejak kecil, didampingi guru-guru yang bisa dengan mudah disewa oleh orang tua, urus surat izin pakai yang instan, yang akhirnya saya merasa menjadi anak yang hidup dengan kondisi yang sangat nyaman. Rasanya jika saya terlambat menyadari hal ini mungkin saya akan memiliki mental penumpang, tapi alhamdulillah Allah selalu punya cara untuk menyadarkan hamba- hambanya.
Pertemuan pertama ketika saya SMA dengan anak-anak jalanan membuat saya sadar bahwa ada dunia di luar zona nyaman saya yang harus saya rubah, maka sejak saat itu saya tidak boleh lagi jadi penumpang, tapi saya harus menjadi pengemudi yang selalu berpikir untuk bisa melakukan perubahan terhadap lingkungan anak- anak jalanan itu. Berbekal mental tersebut maka ketika saya menginjak bangku perkuliahan yang sering orang bilang miniatur Indonesia, maka saya mencoba untuk aktif didalamnya dengan fokus pendidikan, baik itu untuk anak jalanan maupun anak-anak diseluruh Indonesia.
Ditahun pertama saya adalah anak ingusan yang mungkin masih excited dengan perkampusan, namun apalah daya ketika masa TPB berlangsung, ujian setiap minggu, remedial setiap minggu pula, rasanya seminggu waktu untuk belajar saja sudah tidak cukup apalagi buat menikmati kegiatan di organisasi, maka satu semester pertama saya dikuliah habis dengan sia-sia, hanya menjadi penumpang demi bisa bertahan di kampus ini. Satu hal yang membuat saya merasa makin sia-sia adalah ketika saya “iri” melihat teman saya yang sudah bisa aktif berorganisasi. Lagi-lagi yang menakdirkan rasa “iri” akan kebaikan adalah Allah maka signal itulah yang membuat saya semakin semangat.
Disemester kedua saya mulai bertanya pada sahabat saya yang sudah mulai melangkah, bagai mana saya bisa mengikuti organisasi Kabinet KM ITB sedangkan saya sendiri nggak mengikuti tahapan magang, lalu dia sempat bilang bahwa kemungkinan saya sudah tidak bisa lagi ikut disana, dan karena mental pengemudi saya yang mulai berjalan lagi akhirnya saya berpikir, seharusnya tanpa lewat tahap magang di Kabinet KM ITB saya tetap bisa masuk. Maka cara berikutnya yang saya lakukan adalah ikut kepanitiaan ad hoc, kepanitiaan pertama yang saya ikuti adalah AMI (Aku masuk ITB) sebuah kegiatan buat menyebar keseluruh Indonesia akan pentingnya perguruan tinggi, disini saya adalah staf Fundraising, alhamdulillah dunia organisasi perkampusan semakin terbuka dan saya baru tahu bahwa bukan hanya Kabinet KM ITB yang bisa mendidik orang-orang menjadi hebat tapi di AMI saya melihat orang orang hebat dengan hati yang luar biasa.
Tahun kedua saya lagi-lagi Allah menakdirkan amanah yang lebih dari sebelumnya, alhamdulillah Allah menakdirkan saya mendapat amanah sebagai kepala divisi humas di AMI (Aku masuk ITB). Pada awalnya divisi ini adalah divisi yang tak lebih memiliki jobdeskmenjadi penyambung lidah ke masa kampus, penyambung lidah ke sekolah-sekolah, dan penyambung lidah ke para petinggi kampus ini. Tapi menjelang hari H banyak tuntutan masa kampus yang menginginkan akan adanya perbedaan dari AMI yang dulu dengan AMI yang sekarang ketika saat itu saya menjadi panitianya, Maka ketuanya berpikir kalau ada tour laboratorium mungkin AMI ini akan lebih berwarna dengan menyebarnya anak-anak ke seluruh ITB layaknya Tour sesungguhnya. Ketika itu ada kendala besar yaitu bagaimana caranya bikin Tour dalam waktu dua minggu dan ada bagian acara yang memegangnya. Maka dengan mantap ketua tersebut memberikan mandat kepada divisi saya dengan pertimbangan divisi saya sudah banyak kenal dengan massa kampus, dan alhamdulillah akhirnya saya mampu membawa perubahan dalam kepanitiaan ini. Dan Tahun itu menjadi tahun pertama acara AMI berjalan dengan lebih hidup.
Setelah beres menjabat di AMI alhamdulillah, innalilahi amanah baru datang dan tantangan baru menanti, saya dipercaya menjadi Sekretaris Jendral OSKM ITB 2014. Itulah loncatan kedua saya di kampus ini, karena amanah Sekjen selalu setingkat dengan Ketua, tapi disini saya adalah adik tingkat, maka mau tak mau saya harus memiliki performa yang bagus, saya harus bisa berlari lebih cepat lagi, dengan kepanitiaan sekitar 2000 panitia dan 3000 peserta, semua amanah tak pernah salah memilih tuannya, maka berkali kali saya terjatuh, berkali kali saya sudah tak kuat lagi untuk berlari, tapi satu hal saya yakin amanah tak pernah salah memilih tuannya.saya juga bukan penumpang tapi saya tetap harus jadi pengemudi selelah apapun.
Akhirnya ditahun ke 3 terjawablah keinginan saya pada tingkat satu, saya bisa masuk di Kabinet KM ITB tanpa harus mengikuti magang. Karir pertama saya di Kabinet adalah saya menjadi Wakil Menteri Konservasi Relasi Masyarakat, disitu saya menjadi jembatan untuk kabinet dan masyarakat. Ternyata mungkin bayangan saya akan tantangan di Kabinet ternyata tak banyak yang saya dapat dibandingkan akan kepanitiaan. Tapi dari sana saya sadar bahwa ternyata organisasi itu bukanlah tujuan, tapi organisasi adalah tool akan peran apa yang akan kamu ambil ketika suatu hari kamu lulus. Setelah beres menjadi wakil menteri saya menjabat menjadi Menteri relasi media, awalnya saya berpikir dengan mencari hal yang belum pernah saya kerjakan saya tidak akan merasa semua datar-datar saja. Ternyata tidak karena tetap tak banyak yang bisa saya ambil dibandingkan kepanitiaan. Untuk itu di tahun keempat saya membuat loncatan baru yaitu membuat suatu komunitas bernama Rumah langit.
Rumah langit adalah komunitas untuk tempat belajar anak anak di Rusunawa sadang serang, tujuan rumah langit itu sederhana, agar anak nyaman di Rusunawa, agar anak anak bisa memiliki semangat belajar dan terus meningkatkan potensi. Saya disitu berusaha membuat hal baru.dari mulai sosialisasi, koordinasi, pembuatan kurikulum dan sampai mengajar. Dan dari situ saya mendapat banyak pelajaran, jatuh bangunnya pun sangat terasa. Ternyata mengambil peran yang berbeda itu keistiqomahan yang paling utama.
Setelah saya lulus saya semakin yakin bahwa saya harus menjadi bagian dari 2% itu, hal yang pertama saya lakukan adalah menentukan peran. Peran yang saya impikan adalah “menjadi wanita yang menginspirasi, dan pencetak generasi Rabbani”. maka tak lupa saya harus menentukan prioritas-prioritas agar saya bisa membuat loncatan-loncatan hebat sebagai pengendara.