Gelombang Perubahan dari Dapur

Gelombang Perubahan dari Dapur
Karya : Hani Fajrah

Dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia adalah negera dengan tingkat budaya literasi terendah berada pada peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Tentu ini adalah suatu keadaan yang tidak membanggakan sama sekali. Mirisnya angka minat baca yang rendah ini merupakan salah satu gambaran dari buruknya kualitas pendidikan di Indonesia.

Masalah lain jika kita melihat dalam perspektif yang lebih luas, maka rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tergambarkan oleh bagaimana kondisi pelajar-pelajar kita hari ini yang notabenenya mereka adalah kaum terpelajar atau terdidik. Dari observasi dilapangan penulis menemukan fakta sosial, bahwa pelajar kita sedang tidak baik-baik saja.

Disatu pulau tidak jauh dari pulau Bali, ada satu kondisi dimana para remaja mengkonsumsi obat batuk “komix” disalahgunakan sebagai minuman oplosan, bahkan sampai menelan korban. Kondisi tidak jauh berbeda juga dipaparkan oleh salah seorang rekan Bakti Nusa 9 di Pontianak, dimana candu akibat penyalahgunaan lem yang biasa disebut “Ngelem” juga marak terjadi dikalangan pelajar. Hal yang sama juga menimpa pelajar-pelajar di Sumatra Barat, Tepatnya dikecamatan Batang Kapas. Kasus penyalahgunaan bahan bakar pertalite, dikonsumsi untuk “ngefly”.

Dari hasil wawancara dengan kepala sekolah disalah satu SMP negeri di Kecamatan Batang Kapas, beliau menaparkan bahwa, “siswa kita ini tidak bisa diproses oleh pihak berwajib, karena bahan bakar pertalite maupun lem yang digunakan tersebut bukanlah termasuk bahan-bahan narkotika, sehingga tidak ada aturan untuk menyerahkan mereka pada pihak berwajib”.

Dari hemat penulis kondisi diatas tidak lain akarnya adalah karena rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini berbanding lurus dengan kondisi kualitas literasi masyarakat termasuk juga kaum pelajar itu sendiri.

Literasi jika kita maknai dalam pandangan yang lebih luas, ternyata bukan hanya sebatas perkara membaca dan menulis saja. Melainkan literasi adalah tentang bagaimana ilmu yang kita miliki, pengetahuan yang kita peroleh dan keterampilan yang kita punya bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang-orang disekitar kita atau bagi masyarakat masyarakat luas.

Pelajar atau remaja kita bukan tidak punya potensi untuk kembangkan. Hanya saja mereka sedang butuh uluran tangan dari orang-orang dewasa disekitarnya agar potensi itu menggeliat. ketika potensi atau bakat yang mereka miliki tidak terekspos maka konsekuensinya adalah mereka mencari pelarian lain untuk mencari perhatian. Dari teori Behavioristik, tentang reward dan panishman, maka individu akan mau belajar ketika terus diarahkan dan diberikan reward dan panishmen.

Dalam perkembangannya Albert Bandura mengulas teori tersebut menjadi lebih dalam. Dalam Social learning teory Albert Bandura memaparkan bahwa individu akan tergerak untuk belajar jika lingkungan sosialnya mendorong individu tersebut untuk belajar.

Berangkat dari permasalahan sosial itu berdirilah sebuah komunitas literasi bernama Dapur Literasi. Filosofi dari penamaan komunitas tersebut pun tidak jauh dari harapannya. Dapur yakni tempat mengolah segala bahan mentah menjadi hidangan yang istimewah. Tergantung pada keterampilan orang yang mengolahnya dan campuran bahan pendukungnya. Agar bisa menyajikan hidangan istemewah. Begitu juga dengan potensi pelajar kita. Harapan kita melalui komunitas Dapur Literasi dapat perlahan memperbaiki kualitas literasi dan mendorong potensi pelajar untuk berprestasi. Beberapa program utama Dapur Literasi adalah menggelar Taman Baca Masyarakat, Melakukan Aktivitas Pemberdayaan Masyarakat (Keterampilan), Program Rawat Budaya (Rabu), Mengadakan Forum Group Discussion (FGD), dan Mengangkatkan Festival Generasi Milenial.


Harapannya melalui komuitas Dapur Literasi dapat menjadi wadah untuk menumbuhkan sosial movement dan juga budaya literasi dilingkungan masyarakat di Kecamatan Batang Kapas. Inilah gelombang perubahan yang dimulai dari dapur. Salam Literasi, Dapur Literasi.