FEMINISME, Perlukah?

Pembahasan tentang perempuan dan tuntutan hak-haknya merupakan topik yang tidak ada habisnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa stigma negatif terkait hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa bidang menjadi topik yang hangat dibicarakan. Sudah cukup sering mendengarkan kalimat, “Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Namun apakah benar seperti itu? Dari mana pemikiran ini berasal? Ditambah lagi dengan sejarah ibu Kartini yang tidak boleh menuntut ilmu karena dia seorang perempuan. Namun apakah itu merupakan norma budaya atau agama? Maka mari kita mulai dengan melihat fakta sejarah tentang perjalanan perempuan secara global.

 

 

Sebelum peradaban Islam telah ada peradaban besar yang di mulai dari zaman Yunani, Romawi, China, dan India. Semua peradaban tersebut membawa perkembangan ilmu pengetahuan. Namun perkembangan itu tidak mengubah perlakuan mereka terhadap perempuan. Di kalangan elit, wanita-wanita hanya disimpan dalam istana, yang lain di bawahnya dianggap sebagai kalangan kelas kedua. Bahkan istri bisa diperjualbelikan dan bisa dialihkan kepada orang lain, serta dapat diserahkan dengan hanya wasiat. Di mata mereka, wanita sangat mudah dilecehkan dan diejek. Sampai-sampai mereka mengklaim kalau wanita sebagai najis dan kotoran dari hasil perbuatan setan. Bagi mereka, wanita sama rendahnya dengan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan di pasar-pasar. Wanita boleh dirampas haknya, tidak perlu diberikan hak bagian harta pusaka dan juga tidak berhak menggunakan hartanya sendiri sekalipun (Asmanidar, 2015).

 

 

Kemudian pandangan dan kebijakan para tokoh agama pada saat itu mendukung tindakan yang diluar rasa kemanusiaan. Dikutip dari diktat Islam, Gender dan Keluarga karya Dr. Henri Shalahuddin, Perempuan adalah sumber dosa (Tertullian (150M), Bapak gereja I), Wanita sama saja dengan setan, kejahatan, bencana yang abadi dan menarik (St. John Chrysostom, 345 – 407M, Bapak gereja Yunani). Kemudian T. Aquinas mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang cacat. Bagaimana perempuan dalam pandangan agamawan Kristen? Tertullian seorang ahli teologi Kristen (155-245), berpendapat bahwa setiap perempuan itu membawa kutukan, pintu gerbang iblis, sumber godan, melanggar pokok terlarang, orang pertama yang mendustai hukum Tuhan, berani menggoda Adam di mana Iblis saja tidak cukup berani melakukannya, perusak image Tuhan dalam bentuk laki-laki, dan penyebab kematian anak Allah (Shalahuddin, 2018).

 

 

Kemudian dapat ditemukan juga di dalam teks-teks bible yang membenci kaum perempuan, salah satunya adalah wanita harus menutup mulut di dalam gereja, tidak ada hak untuk bersuara dan bertanya dalam suatu jamaat. Jika ingin bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami, dia harus bertanya pada suaminya di rumah. Hal ini dapat ditemukan di dalam Alkitab yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1976 di Jakarta (Shalahuddin, 2018). Kemudian Aristoteles seorang ilmuwan yang sudah cukup sering kita dengarkan, berpendapat bahwa Perempuan itu merupakan laki-laki yang gagal, setan dan sumber dosa. Pada abad ke-16 di Barat juga timbul pertanyaan, “apakah perempuan itu manusia atau bukan?” Raja James 1 dan Elizabeth 1 mengatakan bahwa perempuan adalah nenek sihir dan dibakar hidup-hidup. Kejadian dan fakta yang telah disebutkan sebelumnya adalah gambaran bagaimana perlakuan perempuan di Barat.

 

 

Di Indonesia dengan karakteristik norma, budaya, agama, historis yang berbeda dengan barat, apakah masih perlu feminisme di impor ke Indonesia? Sejarah bukan hanya berawal dari zaman kegelapan Barat sampai satu per sekon detik yang lalu. Namun sesudah peradaban Yunani dan Romawi hadirlah peradaban besar lainnya, yaitu peradaban Islam. Pada catatan sejarah mengungkapkan bahwa sebelum turunnya Alquran, kondisi masyarakat jahiliyah di Mekkah, memperlakukan perempuan kurang lebih sama dengan peradaban Barat lakukan. Kemudian Islam hadir dan mengangkat derajat perempuan, memperlakukannya dengan mulia. Misalnya saja Aisyah ra, istri Rasulullah saw. yang bisa menuntut ilmu, memiliki binaan laki-laki dan perempuan, sehingga menjadi wanita yang cerdas. Tak jarang juga banyak wanita yang turun ke medan perang untuk membantu Rasulullah ataupun sebagai tenaga medis. Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki fitrah yang berbeda namun bukan untuk dibenturkan tapi untuk keserasian.

 

Sudah sewajarnya Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar memandang seorang perempuan dengan perspektif Islam. Sejarah perempuan di Indonesia dalam lingkup regionalnya sangat berbeda dengan sejarah perempuan di Barat. Maka masih dengan pertanyaan yang sama, perlukah gerakan dan ideologi feminisme ini di impor ke Indonesia? Jika gerakan fenimisme di Barat digerakkan oleh wanita-wanita di Barat yang memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Yang lama kelamaan memperjuangan freedom dan equality. Feminisme adalah sebuah ideologi atau pemikiran yang memiliki keberagaman paham. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan tujuan. Setiap aliran feminis mempunyai karakter, fokus perhatian, pandangan  serta arah perjuangan yang berbeda.

 

Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah feminisme perlu dikembangkan di Indonesia? Dan suara perempuan mana yang diperjuangkan oleh kaum feminis? tentu tidak, karena norma-norma agama dan masyarakat di Indonesia berbeda dengan sejarah kelam perempuan di Barat. Kita perlu curiga, kaum feminis hanya menyuarakan suara segolongan orang saja, para kaum LGBT misalnya. Maka sudah sepatutnya kita harus tetap berhati-hati menyikapi opini dan gagasan yang sudah masuk dalam politik, budaya, agama, dan sosial.