Etika Bisnis Dalam Perspektirf Islam

Sebagai seorang yang beragama, lillaahi ta’aala harus selalu menjadi landasan kita. Adapun memandang dan menjalankan seluruh sisi kehidupan harus didasari dasar yang jelas, Qur’an dan Hadist.

Nike. Inc[1] merupakan perusahaan multinasional terkemuka yang menghasilkan produk sepatu dan perlengkapan olah raga ternama di dunia. Perusahaan ini menyerahkan semua pengerjaan produksinya ke pihak ketiga termasuk Indonesia. Hal ini dimulai pada akhir 1980-an dengan adanya pergolakan buruh di Korea Selatan. Nike lantas memindahkan operasi mereka ke Thailand Selatan dan Indonesia, dalam mencari tenaga kerja lebih murah dan tidak merepotkan. Upah di kedua negara tersebut disebut-sebut sebagai salah satu yang murah karena hanya memakai seperempat tarif dari yang dibayarkan di Korea Selatan.

Adapun dua dari beberapa kasus Nike berasal dari PT Hardaya Aneka Shoes Industri (HASI) dan PT Naga Sakti Paramashoes (NASA) yang adalah dua pabrik yang selama ini memproduksi sepatu Nike yang tiba-tiba diputuskan kontraknya tanpa alasan. Sejumlah 14.000 orang pegawai merekapun gelisah karena terancam PHK yang tiba-tiba berakhir setengah tahun pasca surat pemutusan kontrak. CEO HASI, Ibu Hartati beranggapan Nike hanya mengada-ada tentang pemutusan kontrak karena HASI termasuk 15 besar pabrik Nike dengan performa terbaik yang bahkan return produknya hanya 2% tidak sebesar pabrik Nike lain (11-12%).

Semua tuntutan Nike terhadap kinerja HASI dan NASA tidak masuk akal. Setelah masalah pemutusan kontrak secara sepihak, keluhan tentang manajemen Nike juga terjadi di Sukabumi, Jawa Barat. Pou Chen Group, perusahaan asal Taiwan yang memproduksi Converse karena telah diambil Nike ini sangat tidak memperhatikan hak-hak pekerja. Pekerja sering ditendang oleh supervisor saat salah memotong sol sepatu. Hal ini menjadi dilema karena jika diam mereka terus disiksa, namun jika membawa berita ini keluar, mereka akan dipecat dengan tidak hormat.

Pabrik ini memiliki 10.000 orang pekerja yang didominasi oleh perempuan. Mereka menerima bayaran 50 sen per jam, makanan, dan barak untuk menginap. Pada Maret dan April lalu pekerja dipukul hingga lengannya terluka, bahkan sampai berdarah. Ketika pekerja mengeluhkan tindakan tersebut, tanpa pertimbangan apapun akan langsung dipecat. Hampir di seluruh pabrik Nike di Indonesia melakukan pelanggaran jam kerja dan lain-lain, fakta di lapangan menunjukkan bahwa:

a. 50% hingga 100% buruh Nike, jam kerja melebihi yang ditentukan oleh Code of Conduct.

b. 25% hingga 50% pabrik Nike, buruh bekerja selama 7 hari dalam seminggu.

c. 25% hingga 50% pabrik Nike, jam kerja buruh melebihi jam kerja yang diatur secara hukum.

d. 25% pabrik Nike, pekerja dihukum ketika menolak bekerja lembur.

Fakta lain yang mengejutkan adalah mengenai upah para buruh yang tidak sebanding dengan harga sepasang sepatu yang dibandrol oleh Nike. Gaji sebulan dari buruh pabrik HASI (tidak termasuk lembur) yang sudah bekerja selama 10 tahun sebesar Rp 900.000,- atau sama dengan $97,8 (dengan kurs Rp 9.200/ $1) yang berarti mereka hanya mendapatkan RP 30.000,-/harinya atau setara dengan $ 3,3. Dengan pendapatan harian sebesar $3,3 terebut mereka bisa membuat sejumlah sepatu Nike yang dijual oleh pabrik ke Nike di kisaran $11-$20. Sedangkan untuk satu pasang sepatu Nike bisa dijual seharga $60 (Rp 552.000,-). Berdasarkan gambaran tersebut, Nike sudah dipastikan tidak menghargai buruh dengan sepantasnya. Mengingat dengan gaji Rp 900.000,-/bulan bagi buruh pabrik yang tinggal di Tangerang adalah jauh dari cukup karena harga kebutuhan maupun ongkos transportasi semakin meningkat.

Hal ini sangat miris mengingat pekerja juga memiliki hak yang seharusnya dipenuhi oleh pihak perusahaan. Upah dan jam kerja saja sudah tidak sesuai dengan keseharusan dan aturan di CoC (Code of Conduct) itu sendiri. Ditambah pula dengan kekerasan supervisor pada pekerja hanya karena mereka mencoba menyuarakan hak-haknya. Laknatullah. Sesuai dengan prinsip yang mendasari etika Islami, seharusnya tidak seperti ini pemuliaan Nike terhadap pekerjanya.

Adapun menurut Ketua STEI Yogyakarta[2] terdapat empat prinsip ketenagakerjaan dalam Islam. Bagian keempat, yakni kelayakan upah pekerja menjadi batasan kuat yang krusial dan menjadi kewajiban bagi yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.

Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadist Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari ‘proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya’.

Di masa sekarang, proporsionalitas tersebut terbahasakan dengan sistem UMR (Upah Minimum Regional). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan agar pihak yang mempekerjakan orang lain mengindahkan akad atau kesepakatan mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan, antara majikan dengan pekerja. Jika adil dimaknai sebagai kejelasan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan, sandang serta papan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).

 


[1] Novina Eka S. 2012. Analisis Kasus Sumber Daya Manusia Pada NIKE, Inc di Indonesia. Bogor.

[2] Prof. Muhammad. 2013. Tenaga Kerja dan Upah dalam Perspektif Islam. https://pengusahamuslim.com

 

Simpulan

Penjelasan di atas memperjelas bahwa Islam adalah way of life yang tak bisa dipungkiri lagi karena Islam adalah ajaran yang lengkap dan universal. Ia memiliki aturan yang jelas dan aplikatif. Tak ada satupun sisi kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam, termasuk dalam dunia bisnis. Sayangnya banyak perusahaan yang belum menerapkan etika dalam bisnisnya sehingga yang salah satunya terjadi pada kasus ini adalah perampasan hak-hak pekerja yang bahkan sudah diatur di Code of Conduct (CoC) mereka sendiri.

Saran

Adapun seharusnya Nike memperbaiki hubungan dan kesalahannya tehadap pekerja/buruh yang ia pekerjakan di Indonesia. Mengembalikan hak mereka sesuai dengan keharusan yang ada. Bagi pebisnis muslim, perlu diingat bahwa pengintegrasian etika ke dalam dunia bisnis wajib adanya. Apalagi banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara etika bisnis dengan kinerja perusahaan. Dengan demikian, penting bagi pebisnis muslim untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bisnisnya. Dalam Islam juga dikatakan bahwa siapapun yang ingin selamat dunia akhirat maka ikutilah sunnah Rasulullah shallaahu alaihi wa sallam. Apalagi fakta menunjukkan bahwa dengan etika bisnisnya yang Islami menjadikan Nabi sebagai pedagang yang sukses.

 

Sri Nawatmi, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, Fokus Ekonomi (FE) Hal 50 – 58 Vol. 9, No.1 April (2010)

Novina Eka S, Organisasi dan Sumber Daya Manusia, Analisis Kasus Sumber Daya Manusia Pada NIKE, Inc di Indonesia, (2012)

Siske Amelie F Deil, (2014), Nike Dikecam Gara-gara Kasih Upah Rendah ke Buruh RI, liputan6.com

Prof. Muhammad, (2014), Tenaga Kerja dan Upah dalam Perspektif Islam, https://pengusahamuslim.com

Achmad Kholiq, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, Pesantren Virtual.com

Achyar Eldine, Etika Bisnis Islam, www.uikbogor.ac.id

Adiwarman Karim, (2002), Ekonomi Islam-Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT, Jakarta

Agustianto, (2009), Etika bisnis Dalam Islam, agustianto webblog

Akhmad Mujahidin, Etika Bisnis Dalam Islam (Analisis Terhadap Aspek Moralitas Pelaku Bisnis), Hukum Islam Vol.IV No.2 Desember (2005).