Apa yang terpikirkan dalam pikiranmu jika dikatakan sebuah frasa ‘pengabdian masyarakat mahasiswa’? Apakah yang terbayangkan dalam pikiranmu adalah mahasiswa yang bepergian ke desa-desa? Atau apakah bayanganmu adalah mahasiswa yang mengajar anak-anak yang kurang mendapatkan pendidikan? Hari ini, definisi pengabdian masyarakat (pengmas) telah menyempit tidak jauh dari pertanyaan-pertanyaan saya di atas. Bukannya saya mengatakan bahwa hal-hal itu buruk, namun ada suatu masalah yang terjadi karena definisi pengmas mahasiswa terlalu tersempitkan hanya kepada bentuk-bentuk tersebut: kurangnya partisipasi massa dan dampak ke masyarakat. Apa hubungannya?
Pengabdian masyarakat adalah tridharma perguruan tinggi. Artinya, pengmas adalah salah satu kewajiban yang dimiliki oleh seluruh civitas akademika di perguruan tinggi, termasuk mahasiswa, tanpa terkecuali. Perlu saya tekankan lagi bahwa tidak ada pengecualian sama sekali bagi mahasiswa manapun untuk melakukan pengmas—semua wajib melakukan ini. Sayangnya, muncul stigma ‘anak pengmas’ yang cenderung dirujukkan kepada orang-orang yang baik, suka memberi, suka membangun desa, dan suka mengajar anak-anak. Stigma ini menyebabkan munculnya kubu ‘bukan anak pengmas’, yaitu orang-orang yang tidak merasa memiliki hati yang bersih, tidak suka pergi ke desa, tidak suka mengajar anak-anak, dan orang-orang lain yang di luar ‘anak pengmas’ tadi. Akhirnya, kubu ‘bukan anak pengmas’ ini tidak melakukan pengmas sama sekali, yang mana telah melanggar kewajiban yang diamanahkan kepada kita, mahasiswa, lewat tridharma perguruan tinggi. Namun, disini muncul pertanyaan, kalau bukan mengajar dan bina desa, memangnya bentuk pengmas apa lagi?
Mari kembali ke tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Jika kita telisik lebih dalam lagi, tridharma ini adalah sebuah urutan yang dilakukan secara seri, bukan paralel. Awalnya kita dididik sehingga kita mendapatkan pemahaman ideal terhadap suatu aspek. Kedua, kita melakukan penelitian terhadap fenomena-fenomena di masyarakat untuk melihat kondisi aktual yang terjadi. Pada poin ini, kita bisa menabrakkan kondisi aktual yang kita lihat di masyarakat dengan pemahaman ideal yang kita dapatkan dari proses pendidikan sehingga kita dapat melihat gap diantara kondisi ideal dengan kondisi aktual di masyarakat. Saat itulah terbentuk sense of crisis dalam diri kita dan membuat hati kita tergerak untuk melakukan aksi. Pada akhirnya, barulah kita melakukan aksi untuk menanggapi gap di masyarakat, atau bisa disebutkan sebagai tridharma ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Mari ambil contoh yang bisa dilakukan oleh mahasiswa jurusan farmasi: kita memiliki pemahaman ideal bahwa merokok memiliki dampak kepada kesehatan yang cukup buruk, lalu kita melihat bahwa sangat banyak masyarakat yang merokok, akhirnya kita aksi di masyarakat berupa drama ‘dampak rokok untuk kesehatan’ yang ditunjukkan di acara besar masyarakat. Sekarang, muncul pertanyaan lagi: apakah pengmas harus sesuai keilmuan jurusan kita?
Keilmuan tidak terbataskan pada jurusan-jurusan formal yang ada di kampus kita. Saya sebagai mahasiswa teknik tenaga listrik yang memiliki ilmu lebih tentang public speaking bisa mengambil topik pengmas ‘skill public speaking para ketua RT dan RW di masyarakat’. Mahasiswa tambang yang memiliki pemahaman ideal tentang ‘hidup dalam solidaritas’ dapat mengambil topik pengmas ‘peningkatan hubungan sosial antara mahasiswa ITB dengan satpam dan karyawan di kampus ITB’. Setiap perkumpulan mahasiswa pasti memiliki keilmuannya masing-masing. Perkumpulan mahasiswa yang saya maksudkan di sini tidak hanya terbatas pada jurusan yang sama, tetapi juga mencakup basis minat yang sama, basis daerah asal yang sama, dan lain-lain. Maka dari itu, pengmas sebagai perwujudan dari keilmuan masing-masing perkumpulan tersebut seharusnya memiliki bentuk yang berbeda-beda sebagai konsekuensi logis dari keilmuan yang berbeda-beda pula. Pada poin inilah penyempitan definisi dari pengmas (mengajar dan bina desa saja) menjadi suatu stigma yang toxic untuk mahasiswa. Kenapa begitu?
Poin pertama adalah tentang partisipasi massa. Jika pengmas hanyalah mengajar dan membina desa saja, orang-orang dengan ketertarikan di luar mengajar, anak-anak, jalan-jalan, dan desa tidak akan berpartisipasi dalam pengmas. Pengmas dimulai dari ketertarikan massa itu sendiri. Mengajar dan bina desa sendiri adalah bentuk pengmas yang terkristalisasi dari basis ketertarikan atau basis minat. Mengajar akan diikuti oleh orang-orang yang memiliki minat kepada anak-anak dan mengajar. Bina desa akan diikuti oleh orang-orang yang memiliki minat kepada jalan-jalan dan desa. Sekarang pertanyaannya, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki minat yang lain? Hari ini, pengmas mahasiswa tidak mewadahi minat-minat yang lain. Memang apa saja minat yang lain itu? Minat massa KM ITB dapat dilihat pada gambar di bawah.
Minat mengajar dan jalan-jalan ke desa adalah minat yang terlingkupi pada bar ‘Turun ke masyarakat’. Kita dapat melihat bahwa masih banyak minat-minat lain yang belum banyak diwadahi pengmas di kampus. Contoh yang sangat baik diberikan dari Himpunan Mahasiswa Elektroteknik (HME) ITB dengan HME Midamel, dimana teman-teman HME dapat mewadahi minat keprofesian massa HME dengan pembuatan bel visual untuk SLB Cicendo. Konsepnya sangat simpel: SLB Tunarungu Cicendo memiliki bel suara. Namun, jelas bel tersebut tidak mungkin terdengan para siswa karena mereka tunarungu. Maka kenapa kita tidak membuat bel visual yang bisa menunjukkan waktu istirahat, jam pulang, dan lain-lain dengan warna lampu yang berbeda-beda. Dalam pelaksanaan pengmas ini, saya melihat partisipasi massa HME yang sangat beragam, terutama dari mereka yang ‘keprofesian banget’. Contoh baik lainnya dapat dilihat dalam Konser Angklung Rakyat (KAR) milik KPA. Idenya adalah bagaimana kita bisa membuat warga melakukan penampilan permainan angklung di atas panggung dengan anggota KPA sebagai orang-orang yang membimbing masyarakat dalam melakukan hal tersebut. Mahasiswa yang pengmas tidak perlu datang dengan harapan ingin berdampak ke masyarakat. Berikan wadah simpel kepada mereka untuk dapat menjalankan minat mereka (dalam contoh tadi: ingin membuat bel visual dan ingin main angklung) dan dalam prosesnya, mereka akan paham dengan sendirinya bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya telah memberikan dampak kepada masyarakat. Pada contoh-contoh ini, saya mengatakan bahwa pengmas yang baik adalah pengmas yang dapat mengaitkan minat massa dengan kebutuhan masyarakat.
Setiap kelompok mahasiswa memiliki minat serta keilmuannya masing-masing. Maka, pengmas yang dilakukan oleh setiap kelompok itu harus dapat menghubungkan antara minat dan keilmuan kelompok tersebut terhadap kebutuhan masyarakat. Konsekuensinya adalah seharusnya pengmas setiap kelompok mahasiswa memiliki bentuk yang berbeda-beda. Stigma sempit tentang pengmas yang selama ini ada menjadi penghambat berkembangnya pengmas di kampus karena setiap kelompok pada akhirnya akan memulai pengmas mereka dari bentuk yang selama ini tersedia, bukan mulai dari minat atau keilmuan kelompoknya sendiri. Pada akhirnya, partisipasi massa dalam pengmas menjadi minim karena mahasiswa tidak tertarik mengikuti pengmas yang ada (karena tidak sesuai minat) serta tidak capable menjalankannya (karena tidak sesuai dengan ilmu yang dimiliki). Minimnya partisipasi massa akhirnya mengurangi dampak yang bisa kita berikan kepada masyarakat.
Bentuk pengmas harus didiversifikasi. Pengmas harus dibuat beragam agar dapat mewadahi semua mahasiswa dari berbagai basis minat dan keilmuan. Maka dari itu, tahun ini Keluarga Mahasiswa (KM) ITB melakukan sebuah acara besar berbentuk pameran pengabdian masyarakat dengan nama Ekacita. Pameran ini memiliki target untuk mengangkat pengmas-pengmas yang memiliki identitas yang unik. Maksud dari identitas yang unik ini adalah pengmas yang mampu mewadahi minat dan keilmuan perkumpulannya sehingga jelas memiliki warna yang berbeda dengan pengmas-pengmas lainnya. Mau tau bagaimana pengmas-pengmas beridentitas unik ini? Dengan ini saya mengundang seluruh mahasiswa ITB, mahasiswa-mahasiswa dari kampus-kampus di Bandung dan sekitarnya, mahasiswa dari kampus-kampus di luar Bandung yang menyanggupi untuk ikut, serta masyarakat umum untuk hadir dalam Ekacita pada 22 November 2019 di Institut Teknologi Bandung, jalan Ganeca no.10.