Miftakhul Huda Fadhlullah
Alumni BAKTI NUSA 9
“ini ya Le transfer bulan Maret.. “
“nggih, maturnuwun nggih Bu..”
“Ya.. hati hati ya Le (emot kiss)”
“Nggih, Bu.. (emot kiss)”
Kurang lebih begitulah percakapan antara seorang anak dan ibunya melalui pesan Whatsapp di awal bulan. Pesan yang sama, format yang sama. Menggambarkan kondisi sang anak yang tak kunjung hidup mandiri ditengah sekolahnya yang sudah diakhir fase Co-Assistant di sebuah rumah sakit.
Dulu, aku mengira makna hati-hati itu sebatas tidak ngebut saat naik motor, taat rambu-rambu lalu lintas, dan tidak melakukan hal-hal yang membahayakan jasad. Bertahun-tahun ibu selalu menasihatiku untuk berhati-hati. Dan selalu aku jawab –dengan tanpa mengerti makna yang sebenarnya, dengan jawaban “Nggih bu..”. Mengiyakan dengan selalu mengingat bahwa aku tak akan ngebut kalau jalanan ramai –beda cerita kalau jalanan sedang sepi.
Belakangan, aku baru mengetahui makna “hati-hati” yang sebenarnya. Makna yang lebih jauh daripada sekadar memakai helm dan tidak bermain gawai saat berkendara. Nasihat hati-hati itu ternnyata adalah nasihat takwa.
Seperti percakapan indah dua sahabat Nabi saw., Umar bin Khattab RA dan Ubay bin Ka’ab ini. Umar yang meriwayatkan cerita ini bertanya kepada Ubay, “Wahai Ubay, apa itu makna takwa?”
Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”
Umar menjawab, “Tentu saja pernah”
“Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya.
“Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar.
Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa”.
Ternyata, dibalik pesan hati-hati seorang ibu, terselip pesan untuk selalu bertakwa. Ia melebihi batas-batas jasadiyah. Ia menggariskan batas-batas yang tak sekadar tidak boleh dilangkahi oleh jasad, tapi juga tidak boleh dilangkahi oleh jiwa.
Sumber Gambar: pinterest.com